Mohon tunggu...
Inem Ga Seksi
Inem Ga Seksi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Jadilah air bagi ragaku yang api

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tentang Rasa yang Kikuk dan Lelah

27 November 2014   21:22 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:41 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa yang dapat di tuliskan, jika sebuah rasa lelah pada akhirnya datang bersamaan dengan rasa menginginkan.

Ibarat tengah menekan sebuah luka. berdarah-darah menahan rasa sakit namun harus menuangkan beberapa tetes alkohol di ruas lukanya.

Sekarang aku terlalu kikuk untuk memikirkanmu. Karena dalam hatiku yang berdengung adalah kita bukan apa-apa.

Namun aku juga terlalu tahu, bahwa sebenarnya rasa rindu kita gemuruhnya sudah menyakiti terlalu dalam.

Hari-hariku kini menjadi lusuh dan kumal. Tak ada lagi warna ceria yang kerap menghiasi perjalanan waktu.

Entah dirimu.

Yang kutahu, rasa kikukmu tak terbilang jumlahnya. Sampai-sampai kau menjadi lupa dari arah mana matahari terbit kemudian tenggelam.

Bisa jadi, ketika kau asik sedang mengikatkan tali kedua sepatu bolamu, kau tak menyadari bahwa namaku masih tertinggal di rak sepatumu.

Bisa jadi, padasaat kau asik menikmati sop hangat kemarin sore, kau tak menyadari bahwa namaku ada terselip di antara sayuran pelengkap sopmu. Dan nahasnya, ternyata ketika namaku berada di sela-sela gigi gerahammu, kau masih belum juga menyadari bahwa jauh disana, ribuan mil tempatmu menikmati sop soremu, seorang perempuan tengah memegangiujung jari manisnya yang tersayat pisau ketika hendak memotong wortel.

Dan pada pelupuk mata perempuan itu, ada air yang menggantung, sesuatu yang ragu-ragu untuk luruh. Seperti ada rasa yang aneh yang tertumpuk.

Ah,

Masih saja tentang sebuah lelah dan kikuk.

Apakah kedua hal tersebut hadir karena kita terikat pada jarak yang jauh ? Sebuah rentang keberadaan yang tak memungkinkan kita untuk saling menjangkau sesuka hati. Sesuka waktu. Sesuka denyut nadi di arteri besar kita.

Padahal, dulu, kita pernah mentasbihkan bahwa jarak adalah kado terindah. Ketika jantung berdebar kencang, saat sebuah pesan masuk di telepon genggam kita masing-masing.

“Aku di sini, menunggumu”

Dan seingatku, dari sebuah jaraklah kita pernah merajut mimpi-mimpi. Dan dari setiap mimpi yang terucap, ada amin terlafaz dari bibir kita.

Tapi kini, ketika rasa lelah mulai menari-nari di antara jarak yang jauh ini. Telur-telur kikuk menetas begitu banyak. Ribuan asa yang hebat dirusak kerikil prasangka dan ego diri. Padahal jika kita mau mengingat dengan rasa yang tenang. Kisah kita sesungguhnya lebih dahsyat dari rasa lelah dan kikuk.

Tentang kamu dan tentang kita. Apakah harus rusak, dan hancur karena perihal remeh dusta, tidak bisa menerima masalalu atau terhujam angkara yang setajam sembilu. Bukankah katamu sebuah maut pun butuh ribuan tenaga untuk memisahkan kita.

Duh sayang.

Apakah kisah kita harus menjelma sebagai hantu yang penasaran. Yang bergentanyangan dari satu hati ke hati yang lain. Mencoba hati yang ini dan itu. Mencari jawaban dari tanda tanya yang bergantungan di dinding otak ibarat kelelawar. Padahal masing-masing dari kita sudah sangat tahu, bahwa tanda tanyamu membutuhkan aku sebagai jawabannya begitupun sebaliknya.

Sebuah jarak yang jauh selalu mempunyai kesempatan merusak kebijaksanaan di hati kita. Hingga tak jarang, kita selalu mencari siapa yang salah. Dan semua berahkir dengan ucapan “Ya sudahlah dan terserah.” Padahal dari kedua ucapan itu, tak ada objek yang disalahkan dan dibenarkan.

Jadi, apa yang bisa dituliskan jika sebuah rasa lelah pada akhirnya hadir bersamaan dengan rasa tetap menginginkan.

Yang aku tahu, beberapa detik setelah kau tak menyadari kehadiranku, aku tenggelam dalam bayangan frustasi.

Entah kamu.

Bisa jadi, ketika kau membaca tulisan ini, kau masih tak menyadari bahwa sesungguhnya ada yang belum usai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun