Mohon tunggu...
Novi Ardiani (Opi)
Novi Ardiani (Opi) Mohon Tunggu... Administrasi - Ibu dua anak yang senang menulis. Mantan dosen dan wartawan yang sekarang bekerja sebagai karyawati BUMN di Jakarta. Ngeblog di www.opiardiani.com. IG @opiardiani. Email: opiardiani@gmail.com.

Ibu dua anak yang senang menulis. Mantan dosen dan wartawan yang sekarang bekerja sebagai karyawati BUMN di Jakarta. Ngeblog di www.opiardiani.com. IG @opiardiani. Email: opiardiani@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

3 Sebab Ibu Perlu Berkomunitas

5 September 2016   15:47 Diperbarui: 6 September 2016   08:28 368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menceburkan diri dalam komunitas itu penting bagi para ibu. Baik ibu yang dominan berkiprah di ranah domestik (ibu rumah tangga), maupun ibu yang dominan bergelut di ranah publik (bekerja di luar rumah dengan beragam profesi). Keduanya butuh eksistensi dalam komunitas. Kenapa bukan hanya ibu rumah tangga yang butuh komunitas di luar tugas kesehariannya untuk mengaktualisasikan diri?  Sebab,  tidak selamanya ibu yang dominan di ranah publik itu bekerja pada wilayah passionnya. Sehingga, ia tetap membutuhkan komunitas lain di luar bidang kerja yang mampu mewadahi luapan dirinya.

Ibu -baik yang dominan bekerja di ranah domestik maupun di ranah publik-  adalah makhluk sosial.  Keduanya butuh komunitas di luar tugas kesehariannya untuk menjaga keseimbangan dan harmoni diri. Keseimbangan pemenuhan kebutuhan sebagai makhluk sosial akan membuat ibu tetap “waras” dalam menjalani kesehariannya.  Berimbang di ranah “domestik-publik-wilayah passion” membuatnya merasa dihargai sebagai manusia seutuhnya. 

Komunitas yang dimaksud di sini adalah kumpulan personil yang memiliki kesamaan minat terhadap sesuatu.  Ada komunitas yang murni non profit, tetapi ada pula yang sifatnya secara tidak langsung juga memberikan profit baik materi maupun non materi kepada anggotanya.

Saya mengamati setidaknya ada tiga sebab perlunya ibu berkomunitas, yang saya sebut sebagai 3R. Recycle Bin, Recharger,dan Refill the MomentYuk kita tilik satu persatu.

Recycle Bin

Ini hasil pengamatan saya terhadap beberapa komunitas ibu yang ada.  Para ibu butuh keranjang sampah untuk membuang emosi negatif yang muncul dari kelelahan mengurus rumah tangga atau bekerja di kantor.  Saya tidak hendak mengatakan bahwa kelelahan pekerjaan ranah domestik itu lebih berat dari pekerjaan ranah publik, atau sebaliknya.  Keduanya sangat bergantung ada supporting system rumah tangga yang terbentuk. Jumlah anggota keluarga, jumlah anak dan kegiatannya, ada asisten rumah tangga atau tidak, fasilitas mobilitas, jenis pekerjaan ibu, jarak sekolah anak-anak, jarak tempat kerja, dan kepadatan aktivitas turut mempengaruhi kadar lelah ibu.   

Singkat cerita, ibu butuh recycle bin.  Bukan semata-mata keranjang sampah, tetapi suatu wadah yang menjadi wahana untuk mentransformasi emosi negatif yang muncul menjadi sebuah energi baru yang lebih bermanfaat. Emosi negatif ibu direcycle di dalam komunitas.  How?... Dengan bergabung bersama ibu-ibu lain yang memiliki minat yang sama dalam komunitas, mereka saling menuangkan perasaan-bicara-dan merasa senasib. 

Berkumpul dengan peer yang senasib, lalu saling bertukar bercerita seringkali menjadi resep yang ampuh untuk mengolah emosi negatif. Dengan sendirinya kesadaran bahwa ada sekian banyak ibu yang mengalami kelelahan yang mirip, lalu berbagi tips menghadapi berbagai persoalan yang mirip, akan mengubah emosi negatif menjadi penerimaan yang luas. 

Ibarat sampah, emosi negatif itu lalu didaur ulang di dalam komunitas sebagai recycle binnya. Jika komunitas itu komunitas crafting, para ibu akan mengolah emosi negatifnya sambil melakukan kegiatan crafting yang disukai seluruh anggota komunitas, dan berjejaring.  Jika komunitas itu komunitas menulis, para ibu akan mengolah emosi negatifnya sambil melakukan pernak pernik writing activities bersama.  Melihat dan mengamati sudut pandang yang berbeda dari tiap anggota komunitas, menyelami berbagai peristiwa yang dialami anggota komunitas, dan menyikapi perbedaan-perbedaan dalam persamaan, akan menjadi pernik yang berharga bagi para ibu dalam mengelola perasaannya. 

Recharger

Ibu yang lelah, bisa jadi sudah kehabian energi untuk melakukan aktivitas. Energi habis kadang bukan karena terlalu banyak hal yang harus dikerjakan, tetapi terlalu banyak perasaan yang bermain di setiap aktivitas. Bagaikan baterai yang sudah melemah, ibu butuh recharge untuk mengembalikan vitalitasnya. Butuh pengembalian energi dalam makna sesunguhnya, sekaligus butuh semangat baru.

Recharger yang jitu adalah komunitas yang pas dengan passion ibu.  Passiona dalah sesuatu yang diminati ibu, yang membuatnya berbinar binar ketika menggelutinya, dan rela bahkan bila tak dibayar untuk melakukannya. Beberapa ibu mungkin beruntung ketika ia bekerja di ranah publik pada bidang yang memang merupakan passion dalam hidupnya.  Misalnya pencinta kuliner yang bekerja sebagai chef. Atau penggemar seni disain yang berprofesi sebagai desainer grafis.  

Namun, tidak semua orang bisa begitu.  Ada beberapa guru SD yang kebetulan memiliki passion di dunia tulis menulis tetapi belum tereksplorasi postensinya karena kurang berkumpul dengan sesama yang minat menulis.  Ada pula beberapa ibu rumah tangga yang memiliki passion di dunia financial planning dan digital marketing tetapi belum terakomodir karena minim jejaring dengan orang yang satu minat.   

Di lain sisi, tidak tertutup kemungkinan para ibu yang telah bekerja di ranah publik pada wilayah passionnya ternyata tidak seluruhnya dapat menuangkan semua buncah rasa di sana. Ada bagian-bagian yang tak terungkapkan karena batasan batasan sebuah organisasi.  Mereka pun akhirnya butuh komunitas. Apalagi para ibu rumah tangga yang sehari-hari pun kadang tidak menemui kesempatan untuk menggeluti minat dan berkumpul dengan sesama yang seminat.  

Hal serupa dihadapi para ibu bekerja di ranah publik yang bukan wilayah passionnya, yang aktivitasnya sehari-hari menggerus keinginan untuk berekspresi.  Berkumpul dengan sesama dalam komunitas mampu merecharge kembali semangat dan energi ibu. Bahkan kadang merasa jadi lebih punya energi untuk menuangkan ide-ide baru setelah berkumpul dengan sesama seminat.  Jadi lebih bersemangat untuk menjalani hari-hari. Jadi lebih merasa berwarna dan bercahaya. Jadi lebih hidup.

Recharge tidak hanya berpengaruh pada energi, tetapi juga pada rasa dan warna hidup ibu.  

Refill the Moments

Dalam kondisi lelah, moment untuk diri sendiri kadang lenyap, kalaupun ada hampa tak terisi.  Moment itu antara lain mendapatkan apresiasi dari diri sendiri atau rekan seminat atas prestasi, mendapat kepercayaan memimpin atau menjadi koordinator, dan meraih kesempatan untuk melakukan hal-hal lama dengan cara berbeda.  Kenapa?... Karena lelah itu membuat ibu cenderung lebih sensitif.  Akhirnya kebutuhan untuk memanjakan diri sendiri dan mengisi kebutuhan pada saat itu menjadi terlupakan.  Sebab, ibu terfokus untuk mengejar tugas-tugas yang belum terselesaikan.  Padahal, mengisi moment bagi diri sendiri itu penting. Bergabung dalam komunitas seminat untuk refill the moments bagi diri sendiri membuat ibu lebih harmoni, lebih seimbang. 

Tidak sedikit ibu yang merasa jenuh dan tersiksa karena kehilangan kesempatan untuk refill the moments. Ibu jadi cepat marah, dan celakanya para pasangan dan anak-anak menjadi tempat pelampiasan.  Sebelum berkelanjutan dan berdampak negatif, sebaiknya memang ibu punya wadah sehat untuk refill the moments.  Berkomunitas dengan rekan seminat adalah salah satu caranya.    

Walaupun kelihatannya komunitas telah menjadi kebutuhan bagi ibu, saya tidak merekomendasikan ibu untuk terlalu banyak mencemplungkan diri di banyak komunitas dalam satu waktu. Cukup satu atau dua komunitas yang betul-betul mewadahi dan yakin memberikan dampak positif bagi diri, keluarga, dan masyarakat saja sepatutnya yang ditekuni.  Alih-alih mau berkeseimbangan, terlalu banyak berkomunitas akan membuat ibu jadi tidak fokus. Bisa jadi ada yang akan terbengkalai. Mungkin anak-anak, pasangan, atau pekerjaan. 

Menurut saya, semua yang dijalani ibu sebaiknya dipertanyakan, apa manfaatnya bagi diri sendiri-keluarga-dan masyarakat?... Jika komunitas itu sendiri banyak merebut waktu bersama pasangan dan anak-anak, nampaknya harus dipikir ulang.  Ibu yang bijak paham benar, ke arah mana harmoni harus dilengkungkan, agar indahnya menyerupai lengkung pelangi.  Berwarna warni namun proporsional. Selamat berkomunitas ibu. (Opi)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun