Mohon tunggu...
Novi Ardiani (Opi)
Novi Ardiani (Opi) Mohon Tunggu... Administrasi - Ibu dua anak yang senang menulis. Mantan dosen dan wartawan yang sekarang bekerja sebagai karyawati BUMN di Jakarta. Ngeblog di www.opiardiani.com. IG @opiardiani. Email: opiardiani@gmail.com.

Ibu dua anak yang senang menulis. Mantan dosen dan wartawan yang sekarang bekerja sebagai karyawati BUMN di Jakarta. Ngeblog di www.opiardiani.com. IG @opiardiani. Email: opiardiani@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

“Institutional Memory” untuk Perspektif Kepemimpinan yang Inovatif

4 Mei 2016   14:30 Diperbarui: 4 Mei 2016   14:35 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Prof. Dr. Boediono memberikan kuliah umum di BULOG, 4 Mei 2016| Sumber foto:  Agung Rohman (Perum BULOG) 

                                                                

Institutional memory penting bagi setiap organisasi bahkan suatu bangsa, untuk memberikan perspektif dan wawasan bagi pengambil keputusan dan pelaksana kebijakan.  Perspektif dan wawasan yang cukup akan memunculkan inovasi implementatif yang berbasis hikmah pengalaman masa lalu.

Demikian benang merah dari kuliah umum yang disampaikan Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada Prof. Dr. Boediono M.Ec., yang pernah menjabat Wakil Presiden RI pada tahun 2009 sd. 2014.  Pada momen peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke 49 BULOG, beliau berkesempatan memberikan ulasan bertema “Menumbuhkembangkan Kepemimpinan yang Inovatif Menuju BULOG yang Solid, Unggul, dan Bermartabat”  di Jakarta, pada hari ini Rabu, 4 Mei 2016. 

Prof. Boediono menekankan, kelemahan yang sering terjadi dalam sebuah kepemimpinan adalah terabaikannya perspektif dan wawasan pada saat pengambilan keputusan dilakukan.  “Perspektif seringkali absen dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan kebijakan. Padahal sebuah keputusan yang arif hendaknya didasari perspektif dan wawasan yang cukup tentang pengalaman di masa yang lampau,” paparnya.  Dengan memahami hal-hal yang telah dialami organisasi atau suatu bangsa di masa sebelumnya, dapat ditarik pelajaran sehingga mendorong untuk ditemukannya inovasi yang bermanfaat serta implementatif dalam keputusan dan kebijakan yang dibuat. 

budiono2-5729a49fb27e6191073e8e2d.jpg
budiono2-5729a49fb27e6191073e8e2d.jpg
Sumber foto: Novi Ardiani

Catatan sejarah dan pengalaman masa lalu dari sebuah organisasi atau bangsa yang dirangkum ke dalam sebuah rekam jejak adalah yang dimaksud dengan “institutional memory” oleh Prof. Boediono.  Menurut beliau, semua organisasi sebaiknya mempunyai “institutional memory” dan “institutional knowledge”, sebagai basis inovasi.  Inovasi tidak selamanya sesuatu yang benar-benar baru, namun inovasi dapat saja berupa cara-cara lama yang dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan sebuah organisasi atau bangsa dalam dinamikanya.  Di sini, dibutuhkan peran dari generasi muda yang memiliki kapabilitas memadai.

“Sejarah mengajarkan bahwa suatu bangsa dapat maju apabila generasi penggantinya memiliki kemampuan yang lebih baik daripada generasi yang digantikan, itu tak dipungkiri lagi.  Jika tidak, maka organisasi atau bangsa tersebut akan hilang dari sejarah,” ujar Prof. Boediono.  Generasi pengganti akan lebih baik apabila sejak janin dikandung ibu telah tercukupi kebutuhan gizi serta mendapat lingkungan yang baik untuk mengembangkan karakternya.  Saat ini, menurut beliau, memang belum ada integrasi antara kebijakan ketahanan pangan dengan kebijakan gizi masyarakat. Padahal intisari dari ketahanan pangan itu sendiri adalah pemenuhan pangan bagi komunitas (bangsa) secara kolektif maupun individu baik secara kualitas maupun kuantitas.  Gizi yang baik dan cukup sebenarnya masuk ke dalam kualitas dari pangan itu sendiri. Namun kebijakannya masih berjalan sendiri-sendiri.

Terhadap upaya mencapai dan memelihara ketahanan pangan, Prof. Boediono menekankan bahwa mutlak perlu adanya intervensi negara.  Saat ini intervensi negara masih terfokus pada beras yang merupakan basic staple food di Indonesia.  Tidak tertutup kemungkinan intervensi berlaku bagi komoditas lainnya, tergantung dari seberapa besar komoditas tersebut dibutuhkan untuk membangun kualitas fisik dan mental generasi penerus. Beliau berpendapat, fokus pada pembangunan manusia ini belum tertangani dengan baik dan perlu mendapat perhatian. 

Peran BULOG sebagai BUMN dan organisasi pangan nasional, menurut Prof. Boediono, harus lekas mentransformasi dirinya menyiapkan kapasitas internal untuk menyambut era ke depan di mana integrasi kebijakan gizi dan ketahanan pangan akan mengemuka sebagaimana di negara-negara yang lebih maju.  BULOG wajib mengantisipasi dengan menyiapkan model bisnis yang tepat, mengatur proporsi Public Service Obligation (PSO) dan non PSO, serta perbaikan kapasitas internal termasuk SDMnya (Opi).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun