[caption id="attachment_414389" align="aligncenter" width="300" caption="Foto Ayah 2012, oleh Noverius Laoli (Arsip)"][/caption]
Pagi itu, udara di Jakarta terasa hangat. Aku memaksa diri bangun karena hari sudah siang. Jarum jam menunjukkan pukul 07.00 WIB, Hari Selasa 14 April 2015. Aku langsung menyalakan HP yang sepanjang malam aku matikan. Sambil mencuci muka ke kamar mandi aku mendengar ada bunyi SMS. "Bang Ayah sedang sakit," bunyi SMS yang dikirimkan adikku Yustinus menggunakan ponsel mama. Seperti biasa aku sedikit panik.
Namun karena penyakit ayah sudah sering kambuh, aku menduga sakit kepala yang mendera ayahku seperti biasa saja. Meskipun begitu aku sempat menyarankan untuk membawa Ayah ke Rumah Sakit (RS). Tapi seperti biasa, Ayahku selalu menolak ke rumah sakit. Paling banter kalau mau, Ayah hanya mau dibawa ke puskesmas. Biasanya ayah mengarang banyak alasan agar tidak dibawa ke rumah sakit. Mulai dari tidak ada uang, sampai tidak kuat naik angkutan umum. Padahal aku sudah mengurus BPJS nya.
Ayah takut ke rumah sakit. Ia takut disuntik dan diimpus berhari-hari. Bukan sekali dua kali ayah masuk rumah sakit selama seminggu sejak ia mulai sakit tahun 2008 lalu. Ia beberapa kali dirawat di ruang UGD. Ayah paling tidak nyaman eberada di rumah sakit. Ia selalu meminta pulang ke rumah, meski sakitnya masih parah. Sakit parah pernah menyerang ayahku pada pertengahan Januari 2014 lalu. Penyakit itu menyerang pada pukul 02.00 dini hari. Ia sampai tak sadarkan diri dan kemudian dibawa ke rumah sakit masuk UGD di Sibolga.
Waktu itu penyakitnya tak menunjukkan tanda-tanda membaik kendati sudah diberi obat. Tekanan darahnya tinggi mencapai 280. Ia dinyatakan menderita struk, dan komplikasi. Kondisi ini kerap menakutkan kami. Bila panas atau pun dingin menyerangnya bisa membuat kami sangat khawatir. Pernah ketika dirawat di RS Sibolga ayah mengigil begitu hebat sampai tubuhnya seperti es. Pada tahun 2010, ayah juga pernah dirawat di RS Pandan. Tiap kali dirawat di RS dalam waktu lama, aku biasanya pulang menjeguk ayah.
Baik waktu dirawat di RS Pandan maupun di RS Sibolga aku tetap datang dari Bandung dan terkahir aku tinggal di Jakarta untuk melihat ayah. Aku dan andik-adikku sangat mencintai dan menyayangi ayah kami yang merupakan tulang punggung keluarga dan pahlawan kami. Ia merupakan pribadi yang sangat kami kagumi dan hargai dalam hidup kami anak-anaknya sejak kecil. Sakit yang menyerangnya pada Januari 2014 itu sempat membuat kami takut ia akan meninggalkan kami. Adik-adiku yang tengah menjaganya diujung telepon menjerit dan menagis mengira ayah akan meninggal. Pada detik itu pun aku memutuskan pulang bersama adikku nomor 4 yang tengah kuliah di Jakarta. Aku ijin ke kantor dan memesan tiket pesawat pulang ke Sibolga.
Setelah sampai di Sibolga ayah tetap saja terbaring sakit. Setelah 5 hari di UGD tanpa menunjukkan tanda-tanda membaik, kami mencabut ayah dari RS Sibolga dan mencari tabit kampung. Menggunakan ambulans dari RS Sibolga ayah kami bawa pulang. Sesampai di rumah ia langsung diberi obat kampung dan kami menemukan surat-suratan yang tengah digulung rapi di belakang rumah yang isinya seperti santet. Dengan membakar tulisan itu dan mengosok ke tubuhnya, ayah perlahan-lahan sembuh.
Namun ternyata penyakit yang menyerangnya sangat parah yang membuatnya kehilangan sebagian kesadaran dan ingatan. Ia kerap menatap orang dan mengikutinya beberapa menit. Melihat itu kami sangat sedih. Karena biasanya itu merupakan tanda-tanda kalau orang itu umurnya pendek atau sudah dekat ajal. Dimana jiwanya sebagian sudah pergi. Berkat doa dan pengobatan yang tak putus-putus, ayah akhirnya bisa sembuh. Aku waktu itu berada di kampung sekitar dua minggu. Saat aku pergi pun, ayah belum betul-betul sadar dan ingat sama aku. Aku sedih saat memintanya berdoa mengiringi kepergianku, karena setelah ia berdoa dua kalimat dengan suara yang sangat kecil ia kehilangan kata-kata dan ia tertidur. Bagiku situasi itu sangat menyakitkan. Ayahku sudah sangat lemah dan menderita. Aku pun pergi dengan sedih. Adikku perempuan satu-satunya Megawati memilih tinggal di kampung dan merawat ayah sampai benar-benar sembuh dan kesadarannya mulai pulih. Satu bulan lebih ia di kampung dan karenanya ia kehilangan pekerjaan lamanya.
Penyakit silih berganti menyerang Ayah. Ia beberapa kali sakit keras dan kemudian sembuh. Fisiknya yang kekar dan kuat itu pun perlahan-lahan melemah akibat serangan penyakit bertubi-tubi. Sampai ia tidak dapat lagi memikul karet untuk dibawa ke pinggir jalan setiap akhir pekan. Ayahku tidak bisa berlama-lama beristirahat di rumah. Begitu ia bisa jalan, Ayah sudah langsung ke kebun menyadap karet. Begitulah kebiasaan ayah. Ia seorang pekerja keras. Sepertinya ayah hidup untuk bekerja. Bersama mama dan Yustinus mereka menyadap karet milik kami sendiri.
Perlahan-lahan kesadaran dan kekuatan ayah kembali pulih. Seiring dengan semakin seringnya ia bekerja, ayah pun makin sehat. Tapi, ia harus rutin minum obat mencegah penyakitnya kembali. Karena selalu menolak ke rumah sakit, Ibu hanya bisa memeriksa ayah ke Puskesman dan mendapatkan obat dari sana. Begitulah rutinitas yang dijalankan ayah sampai bulan Oktober 2014. Ketika pada suatu hari, ayah menebang pohon kecil dan sudah kering di kebun dekat rumah. Setelah membawa kayu buat kayu bakar itu sampai ke rumah, penyakitnya kembali kambuh. Ayah pun kembali dilarikan ke RS Pandan. Hampir seminggu ayah dirawat di sana dan menunjukkan tanda-tanda membaik.
Meski belum sembuh total, ayah sudah memaksa pulang ke rumah. Waktu itu kami yang di Jakarta dan Medan tidak sampai pulang kampung karena kondisi Ayah masih baik. Sebenarnya masih ada beberapa hal yang hendak diperiksa dokter di kepala ayah, tapi karena ia tidak sabaran dan suka marah-marah, Mama memilih menuruti niatnya pulang ke rumah. Sejak saat itulah, ayah makin lemah dan tidak lagi bisa bekerja ke kebun. Pada bulan November 2014, bertepatan dengan ulang tahunku ke-30, aku memilih melewatinya di kampung bersama kedua orang tuaku dan adik-adik yang masih bersama mereka. Niatku ingin berterima kasih kepada orang tua atas usiaku yang sudah dewasa.
Waktu itu, kami hanya memotong seekor ayam dan ayah berdoa bagiku dan semua adik-adikku. Kondisi ayah juga masih sakit. Pada kepulanganku kala itu, aku tak memberitahukan terlebih dahulu. Jadi aku datang tiba-tiba saja memberikan kejutan. Tapi rencana itu sudah bocor sehingga ayah sangat gembira sekali. Ia sudah duduk di kursi depan rumah tanpa menggunakan baju, seperti kebiasaannya, menungguku. Ketika aku turun dari becak mesin, aku langsung mencium dan memeluk ayahku. Aku menuntunnya masuk kembali ke rumah dan memanggil Mama yang tengah mandi di bak mandi belakang rumah. "Mama Nove, ini Nove tadi sudah datang," ujar ayah dengan senang.
Selama di kampung, aku kembali mencari tabib yang bisa mengobati ayah. Karena penyakitnya tidak cuma sakit biasa tapi juga karena 'angin'. Selama di rumah ayah mengungkapkan isi hatinya terkait pembagian warisannya. Baik kebun maupun tanah tempat rumah bagi kami ke-6 putra-putrinya. Aku tak menyangka ajal ayah sudah dekat kala itu. Niatku pulang kampung juga terkait alasan kangen sama Ayah karena waktu kami pulang pada bulan Januari 2014, ia tak mengenal kami sampai kami pergi lagi. Aku berusaha menemani ayah selagi masih ada waktu. Itu yang ada dibenakku waktu itu. "Saya ingin bercakap-cakap dengan Ayah, karena waktu pulang bulan Januari lalu, ayah tak mengenal kami," tuturku waktu itu.
Tak terasa, air mata ayah mengalir keluar mendengarkan kata-kataku. Mungkin saat itu, ia menyadari ajalnya sudah dekat. Ia sangat merindukan anak-anaknya yang telah menyebar menjauh dari kampung. Ia kerap mengeluhkan agar kami sering pulang, karena kangen kepada kami. Ia mengatakan, sebagai orang tua, perasaannya kepada anak-anaknya sangat besar. Ketika aku pulang waktu itu, kelihatan kekuatan ayah perlahan-lahan kembali. Aku menyadari, justru ketika kami ada disampingnya, kesehatannya bisa semakin membaik. Jangan-jangan penyakit ayah tidak sembuh-sebuh karena ia terus merindukan kami kembali. Itulah yang aku rasakan sekilas waktu itu.
Sebelum aku kembali ke Jakarta, Ayah sempat berujar kepada Mama. "Setelah Nove kembali ke Jakarta, hatiku akan terasa kosong," ujar ayah kepada ibuku dan kemudian disampaikan padaku. Aku tak menyangka itulah pertemuan terakhirku dengan ayah. Sejak itu ayah sudah tidak dapat lagi bekerja. Padahal ia selalu ingin bekerja. Namun karena kesehatannya tak kunjung membaik, berjalan pun ia tidak kuat. Kakinya menjadi sangat lemah, dan ia lebih banyak tidur di rumah seharian.
Sampai akhir pada bulan April yang penuh kenangan. Pada tanggal 3 April 2015, adikku Yustinus pergi ke Nias untuk persiapan pernikahanku nantinya. Setelah empat hari di Nias ia kembali dan Ayahku senang. Ia menyetujui rencanaku menikah dan cocok dengan laporan adikku perihal calon mertua di sana dan keluarganya. Ia pun meminta aku serius. Namun ia mengingatkan bahwa ia belum tentu bisa datang ke sana karena kondisinya yang tidak memungkinkan. Ia tidak sanggup menempuh perjalanan jauh. "Sepertinya saya nanti tidak bisa ke sana," ujarnya kepadaku melalui saluran telepon. "Tidak masalah ayah, kami mengerti kondisinya, asalkan Ayah restui, kami akan jalankan," balasku.
Pada Jumat 10 April 2015, adikku Andrianus bersama Istrinya dan anaknya, tiba-tiba pulang kampung. Mereka pulang tanpa pemberitahuan, karena ingin memberikan kejutan. Ayahku begitu senang. Ia sampai menangis melihat mereka dan terlebih cucunya yang pertama. Bahkan ayah pun secara tidak sengaja mengungkapkan, kalau pun ia nantinya mati tidak masalah lagi karena telah bertemu dengan cucunya. Setelah dua hari di kmapung, mereka kembali ke Medan pada hari Minggu 12 April 2015. Ayah waktu itu dalam kondisi sehat-sehat saja, dan tak ada tanda-tanda akan sakit keras.
Namun pada hari Selasa, di pagi hari kepalanya sakit, di siang hari ia muntah-muntah dan tidak lama kemudian ia  pergi untuk selamanya. Tepat pukul 14;20 menit, Ayah menghembuskan nafas terakhirnya. Adik-adikku menangis dan aku di ujung telepon mendengarkan semua kejadian itu, menahan tangis. Selamat jalan Ayah untuk selamanya. Jasamu sangat besar bagi kami anak-anakmu. Ayah pergi meninggalkan Ibu, dan kami berenam anaknya, serta satu menantu dan seorang cucu. Ia pun pergi dengan damai. Sebelum kehilangan kesadaran untuk selamanya, ayah sempat berujar, "Sebenarnya aku tidak ingin mati," setelah itu, ia pergi.
Ayahku bernama Faojatulo Laoli, lahir di Desa Awela, Pulau Nias, 17 Agustus 1960. Ia meninggal di Sibolga, Desa Lubuk Ampolu, Dusun Dua, Sitonggi Tonggi pada 14 April 2015 di rumah kami.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H