Mohon tunggu...
Noverius Laoli
Noverius Laoli Mohon Tunggu... wiraswasta -

Pemuda yang lahir dan besar di Desa Lubuk Ampolu, Sitonggi tonggi, Kecamatan Badiri, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sibolga. Sejak kecil bercita-cita ingin melihat keindahan kota-kota terkenal di dunia. Menjalani masa Sekolah Dasar hingga SMP di Sekolah Negeri Kebun Pisang, dan Gunung Kelambu. Namun masa SMA di Sekolah Katolik, Aektolang Pandan, Sibolga. Menjalani kuliah di Universitas Katolik Parahyangan Bandung. Kini menjadi jurnalis di salah satu media ekonomi di Jakarta. Saat ini ingin menulis sebanyak-banyaknya.\r\n\r\nSuka membaca novel-novel sejarah dan menuliskan kisah-kisah perjalanan. Suka berimaginasi dan kelak berharap dan berusaha agar imaginasi itu bisa bisa menjadi kenyataan.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Mengenang Sepenggal Kisahmu Ayah

2 Mei 2015   12:26 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:27 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1430544817649917841

Waktu itu, kami hanya memotong seekor ayam dan ayah berdoa bagiku dan semua adik-adikku. Kondisi ayah juga masih sakit. Pada kepulanganku kala itu, aku tak memberitahukan terlebih dahulu. Jadi aku datang tiba-tiba saja memberikan kejutan. Tapi rencana itu sudah bocor sehingga ayah sangat gembira sekali. Ia sudah duduk di kursi depan rumah tanpa menggunakan baju, seperti kebiasaannya, menungguku. Ketika aku turun dari becak mesin, aku langsung mencium dan memeluk ayahku. Aku menuntunnya masuk kembali ke rumah dan memanggil Mama yang tengah mandi di bak mandi belakang rumah. "Mama Nove, ini Nove tadi sudah datang," ujar ayah dengan senang.

Selama di kampung, aku kembali mencari tabib yang bisa mengobati ayah. Karena penyakitnya tidak cuma sakit biasa tapi juga karena 'angin'. Selama di rumah ayah mengungkapkan isi hatinya terkait pembagian warisannya. Baik kebun maupun tanah tempat rumah bagi kami ke-6 putra-putrinya. Aku tak menyangka ajal ayah sudah dekat kala itu. Niatku pulang kampung juga terkait alasan kangen sama Ayah karena waktu kami pulang pada bulan Januari 2014, ia tak mengenal kami sampai kami pergi lagi. Aku berusaha menemani ayah selagi masih ada waktu. Itu yang ada dibenakku waktu itu. "Saya ingin bercakap-cakap dengan Ayah, karena waktu pulang bulan Januari lalu, ayah tak mengenal kami," tuturku waktu itu.

Tak terasa, air mata ayah mengalir keluar mendengarkan kata-kataku. Mungkin saat itu, ia menyadari ajalnya sudah dekat. Ia sangat merindukan anak-anaknya yang telah menyebar menjauh dari kampung. Ia kerap mengeluhkan agar kami sering pulang, karena kangen kepada kami. Ia mengatakan, sebagai orang tua, perasaannya kepada anak-anaknya sangat besar. Ketika aku pulang waktu itu, kelihatan kekuatan ayah perlahan-lahan kembali. Aku menyadari, justru ketika kami ada disampingnya, kesehatannya bisa semakin membaik. Jangan-jangan penyakit ayah tidak sembuh-sebuh karena ia terus merindukan kami kembali. Itulah yang aku rasakan sekilas waktu itu.

Sebelum aku kembali ke Jakarta, Ayah sempat berujar kepada Mama. "Setelah Nove kembali ke Jakarta, hatiku akan terasa kosong," ujar ayah kepada ibuku dan kemudian disampaikan padaku. Aku tak menyangka itulah pertemuan terakhirku dengan ayah. Sejak itu ayah sudah tidak dapat lagi bekerja. Padahal ia selalu ingin bekerja. Namun karena kesehatannya tak kunjung membaik, berjalan pun ia tidak kuat. Kakinya menjadi sangat lemah, dan ia lebih banyak tidur di rumah seharian.

Sampai akhir pada bulan April yang penuh kenangan. Pada tanggal 3 April 2015, adikku Yustinus pergi ke Nias untuk persiapan pernikahanku nantinya. Setelah empat hari di Nias ia kembali dan Ayahku senang. Ia menyetujui rencanaku menikah dan cocok dengan laporan adikku perihal calon mertua di sana dan keluarganya. Ia pun meminta aku serius. Namun ia mengingatkan bahwa ia belum tentu bisa datang ke sana karena kondisinya yang tidak memungkinkan. Ia tidak sanggup menempuh perjalanan jauh. "Sepertinya saya nanti tidak bisa ke sana," ujarnya kepadaku melalui saluran telepon. "Tidak masalah ayah, kami mengerti kondisinya, asalkan Ayah restui, kami akan jalankan," balasku.

Pada Jumat 10 April 2015, adikku Andrianus bersama Istrinya dan anaknya, tiba-tiba pulang kampung. Mereka pulang tanpa pemberitahuan, karena ingin memberikan kejutan. Ayahku begitu senang. Ia sampai menangis melihat mereka dan terlebih cucunya yang pertama. Bahkan ayah pun secara tidak sengaja mengungkapkan, kalau pun ia nantinya mati tidak masalah lagi karena telah bertemu dengan cucunya. Setelah dua hari di kmapung, mereka kembali ke Medan pada hari Minggu 12 April 2015. Ayah waktu itu dalam kondisi sehat-sehat saja, dan tak ada tanda-tanda akan sakit keras.

Namun pada hari Selasa, di pagi hari kepalanya sakit, di siang hari ia muntah-muntah dan tidak lama kemudian ia  pergi untuk selamanya. Tepat pukul 14;20 menit, Ayah menghembuskan nafas terakhirnya. Adik-adikku menangis dan aku di ujung telepon mendengarkan semua kejadian itu, menahan tangis. Selamat jalan Ayah untuk selamanya. Jasamu sangat besar bagi kami anak-anakmu. Ayah pergi meninggalkan Ibu, dan kami berenam anaknya, serta satu menantu dan seorang cucu. Ia pun pergi dengan damai. Sebelum kehilangan kesadaran untuk selamanya, ayah sempat berujar, "Sebenarnya aku tidak ingin mati," setelah itu, ia pergi.

Ayahku bernama Faojatulo Laoli, lahir di Desa Awela, Pulau Nias, 17 Agustus 1960. Ia meninggal di Sibolga, Desa Lubuk Ampolu, Dusun Dua, Sitonggi Tonggi pada 14 April 2015 di rumah kami.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun