Mohon tunggu...
Novemia Putri Pratiwi
Novemia Putri Pratiwi Mohon Tunggu... Penulis - Enjoy

Jangan lupa membaca ya!

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Pendekatan Mimetik pada Puisi

26 September 2023   20:41 Diperbarui: 26 September 2023   21:14 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Secara umum pendekatan adalah pendekatan yang mendasarkan pada hubungan karya sastra dengan universe (semesta) atau lingkungan sosial-budaya yang melatarbelakangi lahirnya karya sastra itu. Tetapi menurut beberapa pakar mimetik yakni:

Pendekatan mimetik adalah pendekatan kajian sastra yang menitik beratkan kajiannya terhadap hubungan karya sastra dengan kenyataan di luar karya sastra. Pendekatan yang memandang karya sastra sebagai imitasi dan realitas (Abrams 1981 :89).

Aristoteles berpendapat bahwa mimesis bukan sekedar tiruan. bukan sekedar potret dan realitas, melainkan telah melalui kesadaran personal batin pengarangnya. Puisi sebagal karya sastra, mampu memaparkan realitas di luar diri manusia persi apa adanya. Maka karya sastra seperti halnya puisi merupakan cerminan representasi dan realitas itu sendiri.

*Pendapat Plato tentang seni. Menurut Plato seni hanya dapat meniru dan membayangkan hal-hal yang ada dalam kenyataan yang nampak. Dan seni yang terbaik adalah lewat mimetik.

Pemaknaan sebuah puisi dengan menggunakan pendekatan mimetik di dalam kajian atau tulisan itu hanyalah sebagian dari cara untuk memahami dan menggali kandungan puisi. Apa yang sudah di dapat di dalam rekonstruksi makna ini tentu saja belum memuaskan, oleh karena itu kajian-kajian terhadap puisi dengan aneka pendekatan lain perlu dilakukan untuk melengkapi kajian ini karena kajian-kajian yang serius terhadap puisi yang di dasari oleh semangat keintelektualan akan dapat memperkaya khasanah ilmu dan berdampak praktis memupuk kedewasaan jiwa.

 

  • Analisis puisi Aku karya Chairil Anwar dengan pendekatan mimetik

Aku

Kalau sampai waktuku

Kumau tak seorang yang merayu

Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang

Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku

Aku tetap meradang, menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari

Berlari

Hingga hilang pedih peri

dan aku lebih tak peduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi

Dalam puisi-puisi Chairil Anwar, kemerdekaan tidak hanya terbatas pada kemerdekaan sebagai bangsa, tetapi terutama adalah kemerdekaan manusia. Pada zamannya, Chairil Anwar tidak hanya berhadapan dengan penjajahan bangsa oleh bangsa, tapi juga dengan sikap-sikap feudal, hipokrisi, kebekuan nilai-nilai, dan bahkan penjajahan manusia oleh manusia. Nafas kemerdekaan manusia terasa hampir pada keseluruhan puisi-puisi Chairil Anwar. Chairil Anwar menempatkan kata pada kedudukannya tersendiri. Kedudukan justru pada maknanya, bukan pada wujud lahirnya. Ia menenmpatkan kata pada kedudukan yang amat penting, melalui makna yang terkaandung didalamnya. Suasana dibangun tidak hanya melalui keerdekaan bunyi, tapi terutama pada kaitan-kaitan maknanya. Kemerdekaan penggunaan kata itu dapat terlihat pada puisi Chairil Anwar yag sudah dituliskan diatas, yaitu puisi yang berjudul Aku

  • Analisis puisi Sebuah Jaket Berlumur Darah karya Taufik Ismail dengan pendekatan mimetik

 

Sebuah jaket berlumur darah

Sebuah jaket berlumur darah
Kami semua telah menatapmu
Telah berbagi duka yang agung

Dalam kepedihan bertahun-tahun
Sebuah sungai membatasi kita
Di bawah terik matahari Jakarta
Antara kebebasan dan penindasan
Berlapis senjata dan sangkur baja

Akan mundurkah kita sekarang
Seraya mengucapkan 'Selamat tinggal perjuangan'
Berikrar setia kepada tirani
Dan mengenakan baju kebesaran sang pelayan?

Spanduk kumal itu, ya spanduk itu
Kami semua telah menatapmu
Dan di atas bangunan-bangunan
Menunduk bendera setengah tiang

Pesan itu telah sampai ke mana-mana

Melalui kendaraan yang melintas

Abang-abang beca, kuli-kuli pelabuhan

Teriakan-teriakan di atap bis kota, pawai-pawai perkasa

Prosesi jenazah ke pemakaman

Mereka berkata

Semuanya berkata

LANJUTKAN PERJUANGAN!

Puisi tersebut berlatar belakang antara tanggal 20-28 Pebruari 1966 di Jakarta terjadi peristiwa penting yaitu demonstrasi mahasiswa dan pelajar menuntut "tritura" sudah dimulai sejak 10 Januari. Tetapi hasilnya boleh dikatakan belum ada. Soekarno tidak mendengarkan "tritura". Uang diganti, bensin dinaikan harganya. Ongkos bis kota dinaikan harganya. Kabinet dwikora memasukan menteri-menteri gestapu lebih banyak lagi. Demonstrasi dilakukan dengan aksi pengempesan ban mobil diseluruh kota sehingga lalu lintas lumpuh. Para mahasiswa duduk ditengah-tengah jalan. Menteri yang akan dilantik tidak bisa datang ke istana dengan menggunakan mobil sehingga harus dijemput dengan helikopter. 

Sekeliling istana penuh tank-tank baja dan pengawalan prajurit. Para demonstran tak henti-hentinya menyuarakan tuntutannya dan mengejek para prajurit itu sebagai "anjing istana". Bentrokan lebih lanjut tak dapat dihindarkan. Penembakan terjadi. Arif Rachman Hakim tertembak dan wafat. Sehari sebelumnya dalam demonstrasi ke Sekretariat Negara telah pula ada penembakan dan beberapa orang mahasiswa terluka.

Tetapi para mahasiswa tidak jadi takut. Jaket penuh darah mahasiswa yang tertembak diikat pada sebuah tongkat dan dijadikan sebagai bendera perjuangan mereka. Meninggalnya Arif Rachman Hakim menyebabkan para mahasiswa dan pelajar menjadi lebih marah lagi. Pemakaman Arif Rachman Hakim dilakukan secara pahlawan dan mendapat simpati dari seluruh lapisan masyarakat. Orang yang mengiringkan jenazah Arif Rachman Hakim ke pekuburan sangat banyak.

 

 

 

 

 

  • Analisis puisi Sajak karya Sanusi Pane dengan pendekatan mimetik

Sajak

O, bukannya dalam kata yang rancak,

Kata yang pelik kebagusan sajak.

O, pujangga, buang segala kata,

Yang 'kan cuma mempermainkan mata,

Dan hanya dibaca selintas lalu,

Karena tak keluar dari sukmamu.

 

Seperti matari mencintai bumi,

Memberi sinar selama-lamanya,

Tidak meminta sesuatu kembali,

Harus cintamu senantiasa.

 

Perubahan pandangan tentang sajak sejalan pula dengan perubahan pandangan hidup Sanusi Pane sendiri. Pada tahun 1929-1930 ia mendapat kesempatan untuk melewat ke negeri India yang sangat dikaguminya. Kisah pengalamannya selama mencari bahagia dan ketenangan batin dimuat dalam kumpulan sajak yang didalamnya memuat banyak tulisan ketika ia melewat ke India. Sanusi Pane menganggap dirinya sebagai seorang kelana yang berjalan kemana-mana mencari kebahagiaan dan kemudian mencari kebahagiaan dan kemudian sadar bahwa kebahagiaan itu didapatinya dalam batinnya sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun