Bismillahirrahmaanirrahim.
Dalam kitab Adabul ‘Alimi Wal Muta’aalim karangan Hadrotus Syekh Hasyim Asy’ari, pahlawan nasional dan pendiri Nahdlatul Ulama, sebagian rincian adab keempat pada Bab 02.
Imam Syafi’i radhiyallahu anhu menjelaskan bahwa orang yang menuntut ilmu tidak akan mendapat kebahagiaan apabila dalam proses mencarinya disertai dengan keluhuran hati atau merasa serba cukup. Namun bila dia merasa hina, rendah hati, dan memiliki kesulitan hidup, hingga menjadi pelayan gurunya, maka saat itulah dia merasakan kebahagiaan.
Hal itu bisa kita buktikan dari seberapa puas seseorang dengan apa yang dia miliki. Karena konteks artikel ini berkaitan dengan ilmu, maka siapa saja pelakunya (pencari ilmu) tidak boleh merasa puas. Mereka harus tetap haus dan haus. Sebab bila dahaga itu hilang, pun seketika semangat mendalami ilmu akan pudar.
Adab kelima berisi keharusan untuk me-manage waktu sebaik-baiknya. Karena umur yang terkikis oleh detik takkan berarti, bila tidak bisa mendatangkan manfaat apa-apa. Sedangkan susunan yang bagi untuk dilaksanakan pelajar, khususnya santri, di antaranya adalah menggunakan waktu sahur untuk menghafal, waktu pagi untuk membahas pelajaran, waktu siang untuk menulis, dan waktu malam untuk mentikror (mengulang-ngulang) pelajaran.
Adapun tempat yang baik untuk menghafal ialah ruangan yang sepi seperti kamar dan tempat apa saja yang tidak bising, agar dapat memudahkan konsentrasi saat menghafal. Tidak diperkenankan menghafal di tempat yang ramai, bahkan di depan tumbuhan dan tepi sungai.
Adab keenam berisi keharusan untuk mengurangi makan dan minum. Karena sesungguhnya belajar dalam keadaan perut kenyang dapat mengurangi konsentrasi dan mendatangkan rasa malas. Keharusan mengurangi konsumsi berlebihan merupakan salah satu langkah hidup sehat dan antisipasi diri terhadap berbagai penyakit.
Sebagaimana yang dikatakan oleh seorang penyair, “Sesungguhnya penyakit yang kau saksikan itu kebanyakan timbul dari makanan dan minuman”.
Sedangkan sehatnya hati itu terhindar dari perbuatan lacur, sombong, dan tidak tampak seorang pun dari para kekasih Allah Swt, para pemimpin umat dan para ulama yang bersifat atau mempunyai ciri-ciri seperti itu. Kebanyakan makan hanya dilakukan oleh hewan tak berakal yang dipersiapkan untuk bekerja.
Adab kedelapan berisi keharusan untuk mengamankan dirinya dalam artian menjaga penuh jasmani dan rohaninya di setiap keadaan dari perkara yang bisa merusak dirinya, seperti menyortir halal dan haram, baik pada sandang, pangan, papan, dan tiap-tiap kebutuhannya. Fungsinya agar hati terang dan dapat menerima cahaya ilmu beserta keutamaannya.
Adab kedelapan berisi anjuran untuk menghindari makanan-makanan yang dapat menumpulkan otak dan melemahkan panca indera seperti apel asam, kacang sayur, dan cuka. Juga hindari makanan yang menimbulkan banyak dahak, karena dapat mempersulit akal dan memerberat badan.
Adab kesembilan berisi keharusan mengurangi jam tidur, sejauh tidak menimbulkan madhorot (bahaya) bagi tubuh dan akal pikirannya. Seperti halnya tarekat para leluhur yang mengurangi jam tidur untuk menimba ilmu atau berdzikir mengingat Allah Swt. Bila tubuh merasa kelelahan, baiknya mengistirahatkan diri demi menjaga kesehatan.
Adab kesepuluh berisi anjuran meminimalisir pergaulan yang tidak bermanfaat, baik bergaul dengan gender sejenis maupun lawan jenis. Daripada menghabiskan waktu mencuri kesempatan yang salah, lebih baik mengisi waktu untuk memperdalam ilmu, mendekatkan diri kepada Allah agar hati bersih dan bisa melanggengkan amalan-amalan baik.
Selanjutnya adalah Bab 03 yang masih berisi adab-adab peserta didik dalam menuntut ilmu.
Adab pertama berisi anjuran untuk mengetahui kepada siapa peserta didik menuntut ilmu dan mengambil tauladan baik. Bila memungkinkan, pelajar atau peserta didik hendaknya memilih guru yang sesuai dengan bidang atau kecenderungan bakatnya.
Kemudian milikilah sifat penyayang, memerbaiki etika demi menjaga martabat gurunya. Dalam sebuah riwayat dijelaskan bahwa ilmu adalah agama, maka perhatikanlah dari siapa kalian belajar agama.
Adab kedua berisi keharusan untuk sungguh-sungguh dalam mencari guru. Carilah yang mempunyai perhatian khusus terhadap ilmu agama dan menjadi orang yang sudah dipercaya oleh guru-guru handal di zaman sebelumnya. Suka berkumpul untuk mendiskusikan pelajaran, meski durasinya terbilang cukup lama.
Imam Syafi’i berkata: “Barang siapa yang mempelajari ilmu fiqih, hanya memahami makna-makna yang tertulis saja, maka ia telah menyiakan beberapa hukum.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H