Mohon tunggu...
Novelia Suhartono
Novelia Suhartono Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Novelia, mahasiswi Ilmu Komunikasi FISIP 2009 Universitas Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Menghargai

1 Agustus 2011   06:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:11 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Manusia hidup seharusnya saling menghargai.
Hati manusia mudah tersakiti.
Dan hal yang menyakiti bisa kata-kata maupun perbuatan.
Hargailah sesama demi menjaga kesehatan hati semua manusia
Selalu ada satu atau dua orang yang tidak dihargai dalam sekelompok orang dalam organisasi maupun grup. Saya sudah merasakan ini secara nyata sejak SMA. Teman-teman saya menyebutnya sebagai public enemy. Setiap dia lewat di depan umum, dia akan dikerjai, diolok-olok, dan sebagainya. Ketika kelas mengadakan tugas berkelompok, sebisa mungkin semua orang akan mencari partner secepatnya agar tidak sekelompok dengan dia. Dia selalu dijauhi dan jadi bahan pembicaraan yang tidak enak pada berbagai macam obrolan.
Saya adalah tipe orang yang sangat mudah terpengaruh. Tapi saya masih bisa berpikir dalam bertindak, dan saya rasa saya masih punya nurani untuk sekadar tidak menyakiti perasaan orang ini secara langsung. Tapi tidak munafik, saya selalu ikut mencela dia di balik layar. Saya selalu ikut membicarakan dia bersama yang lain, dan tentu saja, menjauhi dia.

Semua saya lakukan tanpa alasan, tanpa mengetahui apa sebab dia diperlakukan seperti itu. Tanpa tau kenapa orang-orang menganggapnya hanya seperti kotoran pengganggu. Tanpa tau apa yang menyebabkan dia serendah itu di mata orang-orang di sekitar saya. Saya tidak punya prinsip yang baik, saya adalah seorang follower teman-teman dalam lingkup yang sama. Saya tidak peduli sesuatu itu benar atau salah dalam pandangan objektif. Yang saya tau saat itu, ketika saya berada dalam sebuah kelompok, saya hanya harus melakukan sama seperti yang para anggotanya lakukan, dan itulah yang dianggap kebenaran; sesuatu yang disepakati bersama.

Ternyata di perkuliahan juga sama, ada saja orang seperti itu. Saya masih tetap menjadi seorang yang *easygoing* dan mengikuti kemana angin berhembus. Melihat sekitar, berbagai jenis orang-orang yang tidak menghargai orang dengan tipe ini. Ada yang mengejek dengan jalan yang sangat sarkas di belakang. Ada yang menunjukkan dengan perbuatan menghina. Ada yang pergi setiap kali orang ini mendekat. Saya seperti belajar bagaimana cara yang baik untuk menjauhkan diri dari virus bernama public enemy ini. Orang-orang di sekitar mengajari saya dengan terlalu sempurna. Benar-benar sempurna untuk membuat dia semakin ansos.

Lalu tiba-tiba seorang sahabat bercerita panjang pada saya tentang kehidupan kampusnya. Dia bercerita betapa dia kurang dihargai disana. Berbagai hal yang sangat membuat sakit hati. Saya benar-benar tidak menyangka, karena dia tidak mempunyai alasan untuk dijadikan seorang public enemy juga. Dia bercerita tentang sulitnya dia mendapat partner dalam kegiatan berkelompok.

Dia begitu karena diskriminasi ras. Sungguh suatu alasan yang brengsek untuk menjauhi seseorang. Terdapat stereotipe dimana suatu ras (sebut saja ras X) memiliki kemampuan otak yang sangat excellent dibandingkan ras lainnya. Kebetulan dia berada dalam suatu kelompok yang mayoritas ras X. Hal ini membuat dia begitu saja tidak dihargai.

Ketika dia menangis sambil bercerita, saya begitu merasa marah. Ingin rasanya saya datangi orang-orang itu dan menyuruh mereka minta maaf atas perlakuan mereka terhadap pribumi yang tidak memiliki salah apapun. Dan lagipula mereka menuduh kekosongan otak orang-orang di luar kelompoknya, ini sungguh penghinaan!

Lalu dia berkata pada saya,

"Noel, ga enak banget jadi orang yang terbuang. Lo pasti enak ya di UI. Banyak anak daerahnya. Pasti nyatu yang kaya gitu. Ga ada tindakan cavalier dan diskriminasi terhadap satu-dua orang yang beda.."

Saya diam. Saya tidak tau harus bicara apa. Seandainya seorang yang di kampus itu adalah dia. Apa saya akan tetap mengikuti mayoritas. Emosi saya ketika mendengar perlakuan orang-orang terhadap dia, apakah saya tidak sadar dengan yang saya lakukan selama ini? Dan seandainya saya sendiri yang diperlakukan seperti itu, seberapa sakit hatinya. Seberapa besar keinginan untuk segera menghilang dari lingkungan yang itu dan pergi menjadi manusia lain di lingkungan yang lain. Seberapa besar keinginannya untuk mempunyai teman yang tulus tanpa harus menusuk dan mencela dari belakang.

Bahkan ketika saya tidak tau potensi apa yang dia miliki. Apakah mungkin suatu saat nanti dia menjadi seorang yang besar lebih dari yang kita duga sebelumnya. Lalu yang dia ingat hanyalah bagaimana ia selalu diperlakukan tidak pada porsinya. Yang dia ingat hanyalah bagaimana orang-orang di sekitarnya menyakiti hati dia. Lalu saat itu kita yang dulu mencela dia akan berkata, "Itu temen gue tuh!"~ Ironi.

Dari kecil saya sudah diajarkan untuk memilih teman. Tapi memilih bukan ramai-ramai memusuhi seorang saja. Tapi saya masih terlalu takut untuk merubah sikap. Bayangkan, untuk menghargai orang lain, saya ragu-ragu. Padahal saya tidak mengetahui dengan pasti alasan kenapa saya harus tidak menghargai dia.

Karena seringkali dunia hanya menunjukkan hal yang benar, membuka matamu dari segala kesalahan selama ini, tapi dia tidak menunjukkan bagaimana cara kita mencapai kebenaran itu.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun