Mohon tunggu...
Novelia Suhartono
Novelia Suhartono Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Novelia, mahasiswi Ilmu Komunikasi FISIP 2009 Universitas Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Dewasa dan Definisi

1 Agustus 2011   06:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:11 1291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Setiap orang pasti akan tua. Tapi dewasa, tidak semuanya mampu ke sana."

Klasik. Tapi memangnya apa yang membuat dewasa itu jadi suatu tujuan, jadi suatu pilihan yang dianggap baik untuk didapatkan? Lalu apa jadinya jika kita tidak memilih untuk dewasa?

Bahkan saya sendiri masih rancu dengan definisi, pengertian, maupun aplikasi dewasa dalam kehidupan.

Beberapa kali baru-baru ini ketika saya menceritakan satu atau dua masalah saya kepada seorang sahabat baik, pada akhirnya dia selalu bertanya, "Kapan lo mau dewasa?". Dia mendefinisikan dewasa sebagai suatu situasi di mana seseorang dapat keluar dari comfort zone, dan karena dia melihat saya (dalam masalah ini) sebagai seseorang yang masih mencari aman dan tidak mau keluar, jadilah dia bertanya seperti itu. Dan itu bukan cuma sekali saja dia bertanya.

Lalu comfort zone itu sendiri, sebelah mana saja yang sebenarnya menjadi batasannya?

Seseorang dalam kehidupan bersosialisasi cenderung akan melakukan hal-hal yang bisa membuat dia diterima sebagai anggota suatu kelompok, ya paling tidak untuk diterima sebagai kawan. Seseorang cenderung akan menjauhi penyimpangan, dalam hal ini akan lebih memilih mengikuti group think. Begitu juga dalam sikap dan perilaku. Tentu saja, untuk diakui dan being accompanied, seseorang akan berusaha sekali berbuat sebaik mungkin. Hal ini wajar sebenarnya mengingat manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan satu sama lain. Dan saya, merupakan orang yang sangat percaya sekali, bahwa sesedikit apapun kita berbuat kebaikan pasti akan ada balasannya.

Pandangan dari orang-orang lain, apalagi yang berada di kubu kita, selalu jadi line atas segala tindak-tanduk kita. Sebenarnya sangat wajar ketika kita takut pandangan teman-teman kita berubah jika ada sesuatu yang salah yang kita lakukan. Tapi di sisi lain ini menjadi ancaman. Inilah yang dikatakan sahabat saya sebagai comfort zone. Saya, dalam contoh ini, terlalu takut untuk bergerak karena masih ragu apakah tujuan saya itu benar atau salah. Dan bila salah, saya benar-benar dibuat ketakutan oleh pandangan orang-orang terhadap saya kemudian. Jadi saya memilih untuk diam. Ini yang mungkin salah. Seharusnya saya berjalan terus tanpa peduli pandangan orang lain.

"Tapi ternyata disaat gw lagi pengen sendiri, malah temen yang bener2 temen bakal keliatan, No. Dia bakal nyamperin kita sendiri tanpa kita butuhin. Dan dia tau kalo gw emang lagi terpuruk. Gitu.... Jadi jangan takut keilangan temen. Hahaha. Banyak lah temen lo siapa."

"Emang bertemen ga ada alasan? Maksud gw, kalo lo berubah jadi jahat, emang tetep ditemenin?"

"Tetep."

Kalau tidak sampai ke percakapan itu mungkin saya sudah lupa sama sekali. Bahwa masing-masing manusia memiliki nilai. dalam hidup, kita akan beberapa kali merasa jatuh, terinjak-injak, sehingga kotor sekali. Tapi sebagaimanapun kita merasa tidak berharga pada saat itu, tidak akan ada yang merubah arti kita di mata orang-orang yang mencintai kita, apalagi di mata Tuhan. Sama halnya dengan uang, lecek sekalipun tidak ada yang akan menolak selembar uang Rp 100.000,- yang diberi secara cuma-cuma. Itulah nilai.

Terlepas dari itu, perilaku ja-im yang seringkali kita tunjukkan kepada orang-orang di sekitar kita, dengan tujuan pencitraan, hanya akan tepat dilakukan jika kita tidak memasukkan maksud lain. Misalnya saya di sini menunjukkan keja-iman tersebut dengan meladeni orang yang sebenarnya tidak terlalu saya suka. Lagi-lagi menurut sahabat saya, akan sangat baik jika saya belajar untuk tidak terlalu meng-approach orang yang kurang menyenangkan.

Kadang-kadang ada ketidaktegaan untuk berbicara jujur untuk memprotes seseorang, tapi ini adalah suatu keharusan. Yang harus diperhatikan mungkin adalah cara kita menyampaikannya untuk tidak membuat sakit hati. Tapi mungkin akan lebih baik lagi jika kita menyadarkannya secara tersirat, tanpa perlu berbicara secara langsung. Untuk sisi psikologis mungkin tidak baik terlalu lama menyimpan rasa kesal terhadap seseorang.

Di sinilah terjadi lagi dilema di pikiran saya. Kembali lagi ke kata dewasa. Bukankah (menurut saya) dewasa adalah kondisi di mana kita tidak hanya memikirkan diri sendiri, kondisi di mana kita sudah mampu menghilangkan rasa egois, kondisi di mana kita mau menghargai orang lain di sekitar kita, dan tentu saja itu berarti kondisi di mana kita mampu menjaga segala tindak-tanduk dan ucapan kita sehingga tidak menyakiti orang lain? Lalu mengapa definisi ini bertentangan dengan definisi sebelumnya?

Jadi yang manakah sebenarnya definisinya? Apakah seseorang yang telah mampu keluar dari comfort zone nya? Ataukah dia yang mau menghargai orang lain?

Mungkin dewasa hanya keadaan di mana seseorang telah menemukan dengan pasti siapa dia sebenarnya. Baik atau buruk dalam dirinya, kemampuannya dan kemauannya untuk berbuat tidak ada artinya. Yang dimiliki seorang dewasa mungkin hanya satu hal, keyakinan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun