Terlepas dari itu, perilaku ja-im yang seringkali kita tunjukkan kepada orang-orang di sekitar kita, dengan tujuan pencitraan, hanya akan tepat dilakukan jika kita tidak memasukkan maksud lain. Misalnya saya di sini menunjukkan keja-iman tersebut dengan meladeni orang yang sebenarnya tidak terlalu saya suka. Lagi-lagi menurut sahabat saya, akan sangat baik jika saya belajar untuk tidak terlalu meng-approach orang yang kurang menyenangkan.
Kadang-kadang ada ketidaktegaan untuk berbicara jujur untuk memprotes seseorang, tapi ini adalah suatu keharusan. Yang harus diperhatikan mungkin adalah cara kita menyampaikannya untuk tidak membuat sakit hati. Tapi mungkin akan lebih baik lagi jika kita menyadarkannya secara tersirat, tanpa perlu berbicara secara langsung. Untuk sisi psikologis mungkin tidak baik terlalu lama menyimpan rasa kesal terhadap seseorang.
Di sinilah terjadi lagi dilema di pikiran saya. Kembali lagi ke kata dewasa. Bukankah (menurut saya) dewasa adalah kondisi di mana kita tidak hanya memikirkan diri sendiri, kondisi di mana kita sudah mampu menghilangkan rasa egois, kondisi di mana kita mau menghargai orang lain di sekitar kita, dan tentu saja itu berarti kondisi di mana kita mampu menjaga segala tindak-tanduk dan ucapan kita sehingga tidak menyakiti orang lain? Lalu mengapa definisi ini bertentangan dengan definisi sebelumnya?
Jadi yang manakah sebenarnya definisinya? Apakah seseorang yang telah mampu keluar dari comfort zone nya? Ataukah dia yang mau menghargai orang lain?
Mungkin dewasa hanya keadaan di mana seseorang telah menemukan dengan pasti siapa dia sebenarnya. Baik atau buruk dalam dirinya, kemampuannya dan kemauannya untuk berbuat tidak ada artinya. Yang dimiliki seorang dewasa mungkin hanya satu hal, keyakinan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H