(Sebuah renungan, bagi kita para orangtua: Menggali hikmah dari kasus Edelenyi Laura dan kekasihnya  yang sedang viral)
Bucin merupakan istilah sudah familiar di kalangan remaja saat ini. Tentu saja konotasinya mengarah kepada drama percintaan ala remaja. Budak cinta atau singkatan dari bucin sendiri sebenarnya menurut beberapa sumber sudah sekitar 3 atau 4 tahun belakangan populer digunakan remaja dan di populerkan oleh para influencer.Â
Hampir sebagian besar para remaja yang menggunakan media sosial sudah tidak asing lagi dengan istilah bucin, baik dari perlakuan, kata-kata gombalan dan para idola mereka yang banyak menyebarkan istilah ini.
Jadi situasinya ketika mereka sudah terjebak dalam konotasi bucin ini, maka agak sulit untuk kembali berlaku normal. Â Sebab, salah satu faktornya lingkungan mereka biasanya mendukung untuk menjadi bucin terhadap pasangannya.
Mari kita lihat bagaimana dampak negatifnya fenomena bucin ini terhadap kehidupan remaja kita, hari ini.
Viral beredar kabar dalam beberapa waktu belakangan di berbagai media sosial dan portal berita online mengenai kisah seorang gadis cantik, Selebgram Indonesia masih muda, Edelenyi Laura. Beliau baru saja meninggal dunia pada tanggal 14 Desember 2021. Selamat jalan Laura alias Lora.
Kisah hidup Laura sebelum ia wafat, banyak diberitakan di berbagai podcast, kanal Youtube dan portal berita online. Tentang bagaimana awalnya ia bercerita terjebak dalam sikap bucin pada seorang anak muda.Â
Dalam kanal podcast Deddy Corbuzier, Laura yang hari itu datang digendong sang Master Sulap tersebut dari mobilnya ke ruangan wawancara.Â
Karena gadis yang berusia 21 tahun itu mengalami kelumpuhan di kedua kakinya serta gangguan saraf sehingga sensor motoriknya terganggu, akibat kecelakaan yang dialaminya bersama sang kekasih sekitar tahun 2019 silam.Â
Hampir 3 tahun berjuang melawan penyakitnya bersama keluarga, namun diberitakan sang kekasih serta keluarganya tidak memberikan perhatian seharusnya. Setelah sekian lama keadilan dirasa belum berpihak pada gadis keturunan Hungaria tersebut, ia mulai speak up ke hadapan publik.Â
Sampai saat ini kasusnya masih bergulir dan tengah ditangani di Pengadilan Negeri, walaupun Laura sudah tidak ada lagi di dunia ini. Bahkan ada tagar #justiceforlaura yang digagas dari teman-temannya demi mendukung Laura mendapatkan haknya.
Dalam sebuah sesi wawancara bersama Nikita Mirzani di kanal youtube Crazy Nikmir, Laura mengatakan bahwa mengapa ia bisa terjebak dalam bucin, karena waktu itu ia mengakui usia muda dan psikologi anak muda yang labil merupakan faktornya.Â
Sehingga perlakuan bucinnya pada kekasih seperti memberikan barang-barang mewah, makan di restoran mahal sampai kartu debit pun, diberikan pada sang pujaan hati. Menurut kabar yang sudah banyak beredar, sang kekasih sudah resmi ditahan oleh pihak yang berwajib.Â
Semoga Laura disana, sudah tenang. Karena perjuangannya sudah mulai menuai hasil, dimana menurut Laura, ia hanya menuntut keadilan untuk dirinya dan keluarganya yang sudah mengurusi dengan sakitnya sejak peristiwa kecelakaan 3 tahun lalu.
Kisah cinta Laura dan kisah bucinnnya adalah salah satu contoh fenomena yang banyak melanda anak remaja kita. Mungkin ada banyak Laura-Laura lainnya diluar sana yang sampai kini masih terkungkung dalam drama bucin remaja, semoga setelah ini berkurang jumlahnya.
Menurut saya, sebagai orangtua yang juga sedang memiliki anak remaja, hal seperti ini mesti menjadi bahan perhatian penting. Baiklah, mari menggali hikmah dari kejadian yang terpampang di depan mata, supaya ke depannya ada pembelajaran yang bisa diambil sebagai pegangan hidup dalam mengasuh anak remaja kita mengawal tumbuh kembang mereka di usia yang labil ini.
Lalu apa sajakah tindakan preventif yang sekiranya bisa kita lakukan sebagai orangtua melihat fenomena bucin yang mungkin saja banyak terjadi ditengah masyarakat ini?
MENANAMKAN AQIDAH YANG KUAT DAN TERINTEGRASI DALAM KELUARGA
Bicara soal menanamkan aqidah dalam keluarga, bukan berarti remaja yang bucin-bucin itu semuanya berasal dari keluarga yang kurang mendapat siraman agama. Kita sering melihat para orangtua mereka, sosok yang taat pada agamanya masing-masing.Â
Lalu mengapa masih ada remaja bucin yang lahir dari tipe keluarga ini? Kemungkinan, nilai aqidah tersebut tidak terintegrasi dengan baik kepada anak. Dalam hal ini, orangtua hendaknya menjadi tim yang solid dan disiplin. Karena penanaman aqidah/keimanan adalah landasan utama pembentukan karakter anak.Â
Dan orangtua adalah role mode utama anak. Misalnya anak disuruh melakukan ibadah, ayah ibunya masih fokus dengan gadgetnya masing-masing. Bagaimana aqidah akan terintegrasi dan menjadi entitas bagi anak. Sebab membangunnya tidak secara bersama-sama antara anak dan orangtua.Â
Bahasa anak sekarang tidak se-frekwensi. Sehingga ada celah disana yang membuat sosok orangtua tidak memberikan teladan soal aqidah. Nah, inilah yang harus kita benahi mungkin segera supaya remaja kita memiliki iman yang kuat untuk mengarungi kehidupannya ke depan agar tidak mudah terjebak dalam pengaruh lingkungan yang kurang kondusif.
MENAMPILKAN SOSOK PASANGAN YANG HARMONIS DI DEPAN ANAK, TIDAK ADA SALAHNYA.Â
Bahkan disinyalir ini akan menjadi kekayaan batin bagi mereka. Â Kalau pada zaman dahulu, ketika orangtua bersikap romantis didepan anak, misalnya memeluk, dianggap tabu. Masa berganti dan pola parenting pun berubah, dimana orangtua dan solidaritas keluarga merupakan pilar utama dalam membangun generasi terbaik. Setidaknya demikianlah yang terjadi di era sekarang ini.
Lalu apa hubungannya antara menampilkan sosok orangtua yang harmonis di depan anak remaja dengan upaya preventif terhadap fenomena bucin?
Poinnya yakni, bahwa menjadi bucin terhadap pasangan itu harus diikat dalam sebuah lembaga legal bernama pernikahan. Dan pernikahan itu terjadi nanti ketika usia dewasa dan tepat bukan saat usia remaja. Kembali pada poin aqidah diatas, ada norma agama yang harus dijaga dan dijalankan.
Namun bagaimana jika mereka sudah mengerti ketertarikan terhadap lawan jenis? Mari berikan edukasi pada anak remaja kita, bahwa rasa ketertarikan adalah hal lumrah terjadi. Perubahan hormonal menjadi penyebab utamanya. Tidak ada yang salah dengan mereka mengenali "rasa", bahkan ajari mereka untuk mengolahnya menjadi perilaku yang positif.
                                                       Â
MARI JADIKAN ANAK REMAJA KITA SEBAGAI TEMAN YANG ASYIK DAN SERUÂ
Menurut beberapa literatur ilmu parenting yang membahas soal tumbuh kembang remaja, bahwa remaja merupakan sosok manusia dewasa baru dengan rasa ingin tahunya yang luar biasa.Â
Makanya mereka butuh bimbingan, mentor, teman bicara yang asyik tentang bagaimana kehidupan orang dewasa yang sesungguhnya. Jadi tipe komunikasi yang sebaiknya dibangun oleh orangtua itu sejajar. Dengan kata lain, kita samakan persepsi, masuk ke dalam jiwa muda mereka sebagai anak muda.Â
Lalu bicara dan as a friend. Maka dengarkan curhatnya tentang perubahan-perubahan dalam hidupnya, teman-temannya yang semakin besar, ketertarikan pada lawan jenis, perubahan anatomi tubuh sampai interaksinya sehari-hari dengan lingkungan.
Ketika si anak remaja kita sudah nyaman dengan posisi orangtuanya as a friend, biasanya kendali kita sebagai orangtua akan makin mudah diakses. Tidak mudah mungkin awalnya bagi orangtua.Â
Terkadang ada ego sebagai orangtua yang membisikkan bahwa, seakan orangtua yang mengikuti anak. Padahal tujuannya adalah membina hubungan emosi yang kondusif dan harmonis dengan anak remaja kita supaya tidak terpapar pengaruh negatif dari lingkungannya dan media sosial.
Demikianlah tiga poin utama tindakan preventif kita sebagai orangtua supaya anak remaja kita tidak sampai terjerumus pada perlakuan bucin yang nyatanya banyak membawa dampak negatif daripada dampak positifnya.Â
Sebab menjaga, mendidik, mengawal, membersamai anak-anak di zaman sekarang memang sangat sulit, apalagi kalau bukan gadget sebagai tersangka utamanya.
Pada dasarnya controlling orangtua terhadap segala aspek kehidupan anak memang menjadi sangat penting. Maka dari itu, mari upgrade terus ilmu pengetahuan tentang berbagai hal, terutama ilmu pengasuhan.Â
Supaya kita bisa terus membersamai anak di usia remaja mereka yang penuh gejolak menjadi arah yang positif. Sebab mencegah tentunya lebih baik daripada mengobati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H