Merdeka Belajar, program belajar yang berpusat pada peserta didik sebagai implementasi Kurikulum Merdeka, besar kemungkinan yang pertama kali terbayang adalah aktivitas belajar mengajar di sekolah, atau langsung menyasar Kementerian Pendidikan, Budaya, Riset dan Teknologi (Kemdikbudristek) sebagai ujung piramida dalam sistem pendidikan Indonesia. Â Tapi, tahukah bahwa sebenarnya ada peran para Ibu Penggerak yang sampai detik ini masih terus berjuang untuk menyukseskan praktik Merdeka Belajar? Upaya yang dimulai dari lingkungan tedekat anak, yaitu keluarga.
Bicara tentangBila ada yang namanya Sekolah Penggerak dan Guru Penggerak di satuan pendidikan, maka Ibu Penggerak adalah penyokong dari rumah, sesuai kapasitas mereka sebagai orang tua. Jadi, baik sekolah, guru dan orang tua, dapat berbagi segala bentuk praktik baik Merdeka Belajar, sebagai kolaborasi yang pastinya akan saling berdampak. Semarak Merdeka Belajar butuh keterlibatan orang tua.
Sampai saat tulisan ini dibuat, telah hadir 1393 Ibu Penggerak yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Ini dikatakan langsung oleh Susi Sukaesih, founder Sidina Community, komunitas yang digandeng Kemdikbudristek dalam program Ibu Penggerak. Melalui pelatihan, ibu dibekali ilmu-ilmu terkait Profil Pelajar Pancasila, Kurikulum Merdeka, Asesmen Nasional, Literasi Numerasi, dan Tiga Dosa Besar Pendidikan, agar dapat memahami program dan kebijakan Kemdikbudristek, serta dapat menyampaikan informasi kepada ibu lainnya, baik di lingkungan rumah, maupun sekolah. Beruntung sekali, saya berhasil menjadi salah satu dari barisan Ibu Penggerak yang sudah merasakan sekali betapa besar pengaruh positifnya ketika lebih peduli dengan pendidikan anak.
Dimulai dari keinginan pribadi untuk mendampingi anak-anak, tanpa pikir panjang, langsung saya isi formulir pendaftaran Ibu Penggerak Batch VI sekitar pertengahan tahun lalu. Berkah digitalisasi yang sangat berharga bagi saya sebagai seorang ibu rumah tangga, karena semua sesi pelatihan dilakukan secara daring. Kemudahan akses, membuka pintu-pintu mobilitas maya yang tidak bisa saya dapat versi nyatanya. Dari rumah, saya mendapat siraman ilmu baru yang tidak pernah saya tahu sebelumnya. Apa itu Kuriulum Merdeka yang rencananya akan diterapkan merata pada tahun 2024 mendatang, dan bagaimana saya sebagai orang tua, dapat menjembatani kesuksesan penerapan kurikulum tersebut.
Mari kita kembali ke konsep dasar Merdeka Belajar. Pembelajaran yang berpusat pada peserta didik, di mana anak dapat belajar sesuai minat dan bakatnya. Bukan berarti anak dengan bakat menyanyi, tidak belajar matematika, ya. Atau anak yang senang menari, tidak perlu belajar membaca. Tentu saja tetap ada kompetensi dasar yang harus dikuasai anak. Namun, yang ditekankan dalam Merdeka Belajar adalah "cara" belajarnya. Anak yang menyukai nada dan irama, mungkin bisa memahami perkalian dengan memanfaatkan lagu-lagu yang mengalun. Atau anak yang mencintai tari, akan lebih cepat pandai merangkai kata bila menggunakan kata-kata yang lekat dengan dunia tari. Menarik, bukan?
Serupa dengan apa yang terjadi pada anak kedua saya, yang minatnya lebih cenderung pada bentuk/visual. Meski ia belum bersekolah dan guru satu-satunya masih saya, dengan menerapkan konsep Merdeka Belajar, saya memakai cara belajar yang disesuikan dengan minatnya tersebut. Dalam mengenalkan alfabet misalnya, saya biasanya menganalogikan bentuk huruf dengan benda-benda yang paling mirip. Misalnya huruf C seperti pisang, atau huruf X seperti tanda silang (tetot kalau istilah kami berdua). Benar, ini bekerja! Alih-alih memaksa dia menghafal, yang nyaris tak ada hasil setelah saya lakukan berulang kali.
Saya pun jadi tak segan menanyakan bagaimana progres sekolah anak kepada wali kelas. Bukan hanya saat pembagian rapor saja. Kebetulan, tahun ajaran baru nanti, anak pertama saya juga akan masuk Sekolah Dasar (SD), dan saya jadi tahu apa saja yang mesti ditanyakan terkait informasi sekolah. Seperti kurikulum yang diterapkan, fasilitas belajarnya, berapa orang dalam satu kelas, berapa orang guru yang mengajar dalam satu kelas, jam belajarnya, ekstrakurikuler yang ada, hingga keberadaan guru konseling. Jangan salah, ini penting diketahui orang tua, dan seharusnya memang tahu. Semua itu saya pelajari melalui program Ibu Penggerak.
Saya semakin yakin untuk tidak menyerahkan begitu saja pendidikan anak-anak sepenuhnya pada sekolah. Bukan dalam konteks negatif, melainkan karena landasan yang positif. Merdeka belajar sangat memfasilitasi beragam metode ajar sesuai dengan kondisi anak. Guru dibebaskan berkreasi, dan tentu saja masukan orang tua akan sangat diperlukan. Contohnya kecerdasan visual anak kedua saya. Sebagai orang tua yang menyadari lebih dulu kecerdasan ini, bisa langsung menyampaikannya kepada guru, agar dapat merancang metode mengajar yang lebih tepat sasaran.
Sebaliknya, bila sekolah atau guru membutuhkan keterlibatan orang tua, pasti akan langsung nyambung. Karena orang tua sudah memiliki pengetahuan mengenai pendidikan yang dijalani anak. Lebih nyaman mencari solusi bersama, dan manfaatnya pasti untuk anak-anak juga.
Anak memang menghabiskan waktunya dari pagi hingga siang, atau bahkan sore, di sekolah. Tapi sisanya, keluargalah yang melanjutkan proses pendidikan itu.