Dalam kehidupan sehari-hari, kita dapat menemui peraturan dengan hukuman kecil maupun besar. Peraturan mengikat kita untuk bertindak sesuai dengan kebiasaan yang kita anggap baik, atau kerap disebut sebagai norma.
Menurut Soerjono Soekanto,Â
norma adalah pedoman untuk bertindak dalam hidup agar hubungan di dalam lingkungan masyarakat dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan.
Norma berasal dari kata "norm" yang memiliki arti sebagai pedoman, serta "mos" yaitu kebiasaan atau tata kelakuan.Â
Saya, beserta dengan murid-murid kelas 10 GPSHS lainnya, melakukan Local Immersion di Desa Buntu pada tanggal 3-8 Maret. Desa Buntu dikenal sebagai desa yang rukun, karena warga tetap hidup rukun walaupun ada perbedaan agama.Â
Soerjono Soekanto mengatakan bahwa terdapat 4 daya ikat norma, yakni usage, folkways, mores, dan custom. Selama berada di Desa Buntu, saya mengamati norma yang dilakukan oleh warga sekitar, terutama dalam kehidupan beragama.
Hal pertama yang dapat saya rasakan adalah betapa ramahnya warga sekitar. Setiap kami berpapasan dengan warga, mereka menyapa kami dengan hangat. Oleh karena itu, tidak sulit bagi saya untuk menanyakan arah ketika tersesat di Desa Buntu. Kebiasaan menyapa orang lain dapat disimpulkan sebagai norma folkways, yakni kegiatan yang dilakukan berulang kali sehingga menjadi suatu kebiasaan.Â
Lembaga agama berperan sangat penting dalam membangun keharmonisan di Desa Buntu. Sifat ramah dari warga mencerminkan bahwa pelajaran agama telah terlaksanakan dengan baik di desa tersebut. Contoh nyata adalah warga sekitar dapat hidup dengan rukun.Â
Di hari pertama, saya mengikuti sebuah pawai yang dilaksanakan untuk menyambut bulan Ramadhan. Pawai  dipadukan dengan atraksi barongsai serta marching band yang memandu di depan rombongan. Hal tersebut menimbulkan sebuah pertanyaan,
 apakah hari raya agama lain juga dirayakan secara bersama?Â
Mengingat kembali bahwa Desa Buntu sangat menjunjung tinggi Bhinneka Tunggal Ika, maka warga sekitar merayakan hari raya semua agama.Â
Menurut Ibu Nahmi, istri dari Bapak Surip, pawai atau karnaval dilaksanakan minimal 3 kali setiap tahunnya. Bukan hanya dari umat beragama Muslim saja, warga Desa Buntu juga merayakan hari raya umat beragama lainnya, seperti Kristen dan Katolik dengan mengadakan pesta natal yang terbuka untuk semua agama.
Ibu Sutri, orang tua asuh saya, mengatakan contoh kegiatan warga dengan rasa kesatuan yang tinggi adalah lomba 17-an. Semua warga dapat membuat gunungan hasil bumi yang diperlombakan. Hal ini dilakukan sebagai tanda ucapan syukur yang diyakini dapat membawa berkah bagi warga sekitar. Setelah karnaval 17-an dilaksanakan, hasil bumi akan diperebutkan.Â
Dapat disimpulkan bahwa pawai sudah mendarah daging, sebab selalu dilakukan pada hari raya penting. Hal tersebut berkaitan dengan norma custom, yakni adat istiadat yang berakar kuat di dalam masyarakat.
Walaupun warga Desa Buntu memiliki banyak perbedaan, Â hal tersebut tidak membatasi rasa persatuan dan kesatuan yang tinggi. Tentunya, setiap tempat memiliki norma yang berbeda-beda. Namun, norma di Desa ini tidak terlepas dari Bhinneka Tunggal Ika, yakni berbeda-beda tetapi tetap satu jua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H