Mengingat kembali bahwa Desa Buntu sangat menjunjung tinggi Bhinneka Tunggal Ika, maka warga sekitar merayakan hari raya semua agama.Â
Menurut Ibu Nahmi, istri dari Bapak Surip, pawai atau karnaval dilaksanakan minimal 3 kali setiap tahunnya. Bukan hanya dari umat beragama Muslim saja, warga Desa Buntu juga merayakan hari raya umat beragama lainnya, seperti Kristen dan Katolik dengan mengadakan pesta natal yang terbuka untuk semua agama.
Ibu Sutri, orang tua asuh saya, mengatakan contoh kegiatan warga dengan rasa kesatuan yang tinggi adalah lomba 17-an. Semua warga dapat membuat gunungan hasil bumi yang diperlombakan. Hal ini dilakukan sebagai tanda ucapan syukur yang diyakini dapat membawa berkah bagi warga sekitar. Setelah karnaval 17-an dilaksanakan, hasil bumi akan diperebutkan.Â
Dapat disimpulkan bahwa pawai sudah mendarah daging, sebab selalu dilakukan pada hari raya penting. Hal tersebut berkaitan dengan norma custom, yakni adat istiadat yang berakar kuat di dalam masyarakat.
Walaupun warga Desa Buntu memiliki banyak perbedaan, Â hal tersebut tidak membatasi rasa persatuan dan kesatuan yang tinggi. Tentunya, setiap tempat memiliki norma yang berbeda-beda. Namun, norma di Desa ini tidak terlepas dari Bhinneka Tunggal Ika, yakni berbeda-beda tetapi tetap satu jua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H