Gender menjadi bahasan yang hangat dan tengah menjadi fokus perbincangan di abad milenial saat ini. Gender akan diartikan menjadi suatu hal yang berbeda jika yang menafsirkanya juga berbeda, banyak sudut dan cara pandang mengenai masalah gender ini.Â
Menurut Helen Tierney, gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkemban Yg dalam masyarakat.
Gender bukanlah kodrat tuhan, namun gender merupakan paradigma yang dibangun oleh manusia, tidak ada ketetapan dari tuhan mengenai ketetapan gender, manusialah yang mengkonstruksi dogmanya mengenai kedudukan antara laki-laki dan perempuan yang memiliki hirarki yang berbeda yang dogma tersebut menjadi refleksi dikehidupan sehari-hari dan lambat laun hal tersebut menjadi sebuah kultural.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa gender merupakan refleksi dari konstruksi kultural dogma masyarakat dan bukan kodrat, sedang kodrat yang berasal dari tuhan adalah sexual, keberadaan dan status kelamin tidak bisa dirubah dan ketetapan tersebut berasal dari tuhan dan bukan kehendak dari manusia.
Hal ini sejalan dengan pemikiran Mansour Faqih, bahwa gender merupakan suatu sifat yang melekat pada laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Menurut Caplan, bahwa gender merupakan perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan selain dari struktur biologis, sebagian besar justru terbentuk melalui proses sosial dan kultural.Â
Seperti halnya paradigma kultural mengenai anggapan bahwa perempuan itu memiliki karakteristik lemah lembut, bawaanya melankolis, dalam mengambil keputusan mengedepankan perasaan bukan kenyataan, secara fisik lemah, dan bahkan anggapan bahwa perempuan hanyalah dapur, sumur, dan kasur dan berbanding terbalik dengan pandangan mengenai laki-laki, bahwa laki-laki secara fisik kuat dan bertanggung jawab, dalam mengambil keputusan laki-laki berbeda dengan perempuan yang mengsuperiorkan perasaan, namun laki-laki dengan melihat fakta dan ketentuan yang berlaku, laki-laki lebih cakap untuk bersikap koleris.
Pada faktanya yang membedakan antara laki-laki dan perempuan hanyalah pada organ reproduksinya saja. seperti menurut Zainuddin bahwa gender dalam ilmu sosial diartikan sebagai pola relasi lelaki dan perempuan yang didasarkan pada ciri sosial masing-masing.Â
Pemikiran seperti yang disebutkan adalah jenis pemikiran yang sifatnya sobjektif dan tentunya pemikiran yang seperti itulah yang harus dibantai, karena produk dari pemikiran yang seperti inilah bisa memicu perpecahan yang disebabkan diskriminasi gender. Dan masyarakatlah yang menjadi sobjek, tidak urung objek yang terkena serangan menjadi korban diskriminasi gender, pemikiran yang seperti ini sejalan dengan pemikiran Hilary M.Lips yang menginterpretasikan gender sebagai harapan --harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan.
kembali pada pemikiran Mansour Faqih, bahwa paradigma yang timpang  memang tidak terefleksi pada semua tingkatan masyarakat, paradigma tersebut akan berbeda ditempat, waktu, dan ditangan orang yang berbeda.
menurut pandangan ahli lainya, Nasarudin Umar bahwa penentuan peran gender dalam berbagai sistem masyarakat, kebanyakan merujuk pada tinjauan biologis dan jenis kelamin, dan pada faktanya memang kultur tersebut selain hanya mempengaruhi dogma masyarakat, juga sangat berpengaruh pada sistem lainya, dominasi diferensiasi  spesies laki-laki dan perempuan masih membudaya.
Berbicara mengenai masalah gender memang tidak ada ujung dan habisnya. Upaya untuk mengentaskan ketimpangan gender banyak dilakukan oleh aktivis dan tangan yang peduli gender. keadilan dan kesetaraan gender mulai diperjuangkan dan di tegakkan . Karena pengaruh dari ketimpangan gender sangatlah berpengaruh pada seluruh lini kehidupan personal maupun sosial.
Memperjuangkan kesetaraan gender bukan saja berorientasi mengangkat perempuan untuk memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari laki-laki, melainkan kesetaraan gender berorientasi agar kaum perempuan memiliki  kedudukan yang sama dan setara dengan laki-laki dari segi  apapun, baik ekonomi, pendidikan, hukum dll.Â
Disektor ekonomi para kaum perempuan yang dahulunya menjadi kaum marginal dan kaum yang diinferiorkan, saat ini perempuan sudah memiliki akses dalam sektor ekonomi, perempuan tidak lagi berproduksi di kasur dan dapur, kini perempuan sudah bisa bergerak dalam bidang ekonomi, memenuhi ekonomi, dan bahkan mengatur laju ekonomi yang notabenenya bukan hanya sebatas pada sektor personal, namun sektor yang lebih luas lagi yaitu nasional. Terlebih dari itu, karena kesetaraan gender berimbas pada pengakuan identitas perempuan.Â
Praktisnya kesetaraan gender yang berimbas pada perempuan, seperti halnya saat ini perempuan sudah banyak yang mampu duduk dikursi birokrasi, menggerakkan laju dan mengatur pola pemerintahan dan gerak bangsa, mereka dipercaya rakyat karena bisa. diferesiasi kelamin memang masih marak terjadi di negeri ini, namun kuantitasnya sudah mengalami penurunan yang cukup signifikan. Kemampuan, kapabilitas dan kualitas kini sudah menjadi pertimbangan untuk siapapun yang ingin memiliki pengaruh di kursi pemerintahan.Â
Perempuan yang dikenal dengan kefemininanya tidak akan telak untuk merubah karakternya, namun tidak sedikit pula para perempuan yang mampu dan bisa bersikap lebih maskulin. Dalam sektor hukumpun juga seperti itu, baik laki-laki maupun perempuan memiliki kedudukan yang sama dihadapan hukum, terlepas dari perasaan yang dinilai emosional dan sobjektif.
Kesetaraan gender juga timbul pada sebuah pemikiran yang merubah paradigma -- paradigma yang sudah ada dalam masyarakat  maupun adat, perubahan sudut pandang cara memandang dan menginterpretasikan gender.Â
Menghilangkan kepercayaan adat mengenai anggapan perempuan yang selalu direndahkan. pemikiran bahwa perempuan lemah dan melankolis, menghempas anggapan bahwa perempuan bermain dengan perasaan dan berbeda dengan laki-laki.
Akan lebih adil memang, jika keputusan maupun pertimbangan suatu hal benar-benar difokuskan degan melihat kapabilitas dan integritas sobjeknya, terlepas dari melihat masalah diferensiasi jenis kelamin.
Semua lini kehidupan tidak lepas dari gender, dari ranah keluarga sampai birokrasi, semuanya bersentuhan dengan masalah gender, terlebih lagi gender juga ditegakkan dalam pesantren, alih-alih saat ini marak sekali isu burung yang menebarkan berita ketimpangan gender di Pesantren.Â
Padahal tidak semua pesantren memiliki ideologi dan cara didik yang semacam itu, karena keadilan gender pada dasarnya juga dibahas lengkap dan mendetail oleh islam dan Al-Quran. dalam Islam kesetaraan gender menjadi bagian bahasan yang dibahas oleh firman Allah tersebut, amalan-amalan yang tidak berpihak pada salah satu pihak, amalan yang sifatnya humanis dan mengindahkan deferensiasi kelamin.Â
Membahas mengenai keadilan gender dan pesantren, Kyai Mustaqim yang merupakan  pengasuh pesantren al-Uswah, bagi beliau laki-laki dan perempuan secara kodrati berbeda. Laki-laki mempunyai sifat rasional dan perempuan emosional namun sifat diatas hanyalah kasuistik dan personal.Â
Dalam hal aktualistik perempuan dalam pekerjaan , bagi kyai Mustqim perempuan boleh bekerja baik dalam maupun diluar rumah, dengan syarat suami mengijinan.dan berkaitan dengan masalah kepemimpinan perempuan, presiden perempuan diperbolehkan jika dalam keadaan darurat.Â
Hak, tugas dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan adalah sebagaimana yang terdapat dalam Al-Qur'an dan Al-Hadist. Allah telah berbuat adil dalam memposisikan perempuan dan laki-laki sesuai dengan keberadaan dan kodratnya  masing-masing. Jika menurut Kyai mustaqim antara laki-laki dan perempuan masih dideferensiasikan masalah kodrat yang sifatnya langsung dari Allah dan sifatnya tetap, hal ini berbeda dengan pendapat mengenai gender oleh Kyai Asikin,  beliau adalah pengasuh pondok pesantren Raudlatut Thalibin Semarang.Â
Menurut pandangan beliau, bahwa perbedaan laki-laki dan perempuan dengan sifatnya masing-masing bukanlah kodrat, namun perbedaan itu lebih disebabkan oleh bentukan budaya. Dengan demikianlah laki-laki memiliki sifat yang kuat dan rasional serta sifat perempuan yang lemah dan emosional merupakan bentukan budaya dan tidak semata-mata kodrat manusia.
Dan beliau juga tidak mengungkapkan tentang bagaimana memahami Al-Quran dan Hadist yang berkaitan dengan gender. Secara tersurat kyai dalam mengakui adanya kultur yang berbeda dan dinamis. Menurut beliau, sikap yang seperti ini sangat mendorong terwujudnya keadilan gender. Dengan demikian, secara tersirat berarti kyai dalam memahami Al-Qur'an maupun Hadits berkaitan dengan gender tidak hanya texstual namun juga diperhatikan konteks sosiokulturnya.
Prinsip-prinsip mengenai kesetaraan gender juga dibahas dalam agama islam, prinsip-prinsip yang diadopsi tidak lepas dari dasar agama yakni Alqur'an dan Al-Hadits, beberapa variabel yang dapat digunaan sebagai standart untuk menganalisa prinsip-prinsip kesetaraan gender.
- Laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai hamba.
Tujuan manusia diciptakan tidak lain dan tidak bukan hanya untuk beribadah kepada Tuhan. Dalam hal beribadahpun tidak ada ketetapan dan ketentuan yang memojok pada ranah deferensiasi kelamin. Kapasitas manusia sebagai hamba, tidak ada perbedaan, keduanya memiliki potensi dan bisa mendapat potensi untuk menjadi hamba yang ideal. Dalam kitab suci umat islam, Al-Qur'an menegaskan bahwa hamba yang paling ideal adalah para muttaqun(orang taat dengan ajaran Tuhan).
- Laki-laki dan perempuan berpotensi meraih prestasi
Peluang untuk meraih prestasi yang supermaksimum tidak ada pembedaan untuk keduanya, baik laki-laki dan perempuan maupun sebaliknya. Ayat-ayat Al-Qur'an menjelaskan bahwa untuk mencapai puncak potensi personal, maupun karir prodesional, tidak mesti dimonopoli oleh salah satu status kelamin.Â
Baik laki-laki maupun perempuan bisa mencapai titik tertingi dalam pencapaian kesuksesan dengan usaha yang mereka ikhtiyarkan. meskipun dalam realita masyarakat, konsep ini membutuhkan tahapan dan sosialisasi, karena masih banyak terdapat sejumlah kendala, terutama budaya yang sudah terlalu melebur dan menyatu dengan masyarakat.
Secara religius kaum laki-laki dan perempuan memiliki persamaan yang mutlak, namun kenetralan Al-Qur'an kemudian berubah menjadi keberpihakan ketika manusia dengan keterbatasanya mencoba menafsirkan ajaran yang diembanya. Maka muncullah berbagai macam penafsiran, terlebih berkaitan dengan persoalan gender yang pada akhirnya banyak memunculkan ketidakadilan gender.
Salah satu obsesi Al-Qur'an yakni terwujudnya keadilan didalam masyarkat. Keadilan dalam Al-Qur'an mencangkup segala segi kehidupan manusia, baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial. Karena hal tersebut al-Qur'an tidak mentolelir sedikitpun masalah yang berkaitan dengan penindasan, baik penindasan kelompok, jenis kelamin, budaya, etinis, suku, dan agama.Â
Al-Qur'an tidak memberikan beban gender secara mutlak dan kaku kepada sesorang tetapi bagaimana agar bias gender itu dapat memudahkan manusia memperoleh tujuan hidup yang mulia, di dunia dan di akhirat.
Dari landasan prinsip diatas, Al-Quran yang menjadi landasan untuk beragama dan bernegara orang islam, oleh karena itu Al-Qur'an pula yang dijadikan dasar para kyai maupun pemahaman pesantren mengenai masalah gender.
Keadilan gender tetap ditegakkan, marginalisasi satu jenis kelamin harus dientaskan, diseluruh sektor publik, pemerintah bahkan agama yang bermoral pasti akan tergerak nuraninya untuk menegakan keadilan gender dan menyelamarkan saudaranya dari dampak permainan marginalisai gender. (Dibuat sebagai salah satu syarat untuk mengikuti sekolah gender di WCC Dian Mutiara Malang) 04 februari 2018.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI