Di Bawah Langit Indonesia
Natcha menatap langit senja Kota Medan dari balkon kecil di asrama. Langit sore selalu memikatnya, warna jingga dan merah muda yang berpadu di antara gedung-gedung tinggi dan jalanan yang ramai. Setiap kali melihatnya, ia merasa sedikit lebih dekat dengan kampung halamannya di Korea.
Natcha adalah mahasiswa jurusan Ilmu Komputer di sebuah universitas ternama di Sumatera Utara. Sudah hampir dua tahun ia menetap di Indonesia dengan beasiswa, tetapi kadang ia merasa masih seperti orang asing. Bahasa Indonesia yang baru dipelajarinya terkadang membuatnya gugup. Meskipun sudah terbiasa dengan makanan dan budaya lokal, tetap ada hari-hari ketika ia merindukan hidangan kimchi ibu nya atau sekadar suara bahasa Korea di sekelilingnya.
Hari itu, setelah seharian belajar di perpustakaan, Natcha memutuskan untuk makan malam di kantin kampus. Di tengah keramaian mahasiswa yang bercanda dan berbincang, ia merasakan kehangatan baru. Saat mengantri, ia berkenalan dengan Maya, seorang mahasiswa Sastra Indonesia yang ramah dan selalu tersenyum. Maya memulai percakapan, "Kamu suka makanan Indonesia nggak, Natcha?"
Natcha tersenyum ragu. "Suka... tapi kadang pedas sekali," jawabnya dengan bahasa Indonesia yang sedikit terbata-bata.
Maya tertawa, "Oh, kamu harus coba yang lebih manis! Kamu suka nasi goreng? Aku bisa ajak kamu ke tempat nasi goreng yang paling enak di Medan ini!"
Percakapan ringan itu membuat Natcha merasa lebih diterima. Mereka mulai berteman akrab, sering belajar bersama dan berbagi cerita tentang kampung halaman masing-masing. Maya bahkan mengajarkan Natcha beberapa kosakata dalam bahasa indonesia, sementara Natcha mengajari Maya ungkapan Korea yang lucu.
Namun, bukan hanya masalah bahasa yang menjadi tantangan bagi Natcha. Sebagai mahasiswa asing, ia juga menghadapi masalah administrasi yang rumit. Setiap kali visa pelajar harus diperpanjang, ia harus bolak-balik ke kantor imigrasi, seringkali tanpa ada yang benar-benar memandu prosesnya. Di sana, ia sering merasa bingung, apalagi dengan bahasa resmi yang digunakan dalam dokumen-dokumen itu.
Suatu hari, setelah proses perpanjangan visa yang sangat melelahkan, ia kembali ke asrama dengan hati yang berat. Ia merasa kelelahan, perasaan asing, jauh dari rumah, dan kerepotan administrasi ini kadang-kadang membuatnya ingin menyerah. Namun, ketika ia membuka ponselnya, sebuah pesan dari Maya muncul di layar: "Nanti malam kita ke tempat nasi goreng, ya? Aku tunggu di depan asrama jam 7!"
Senyum kecil merekah di wajah Natcha. Meskipun merasa jauh dari rumah, ia menyadari bahwa ada orang-orang baik yang membantunya bertahan di negeri yang asing ini.
Malam itu, Natcha menikmati nasi goreng dengan Maya sambil bercanda tawa. Sambil makan, Maya berkata, "Kamu tahu nggak, Natcha? Aku salut sama kamu. Pasti susah ya, hidup jauh dari rumah dan harus belajar bahasa baru segala."