Mohon tunggu...
Novan Noorwicaksono Bhakti
Novan Noorwicaksono Bhakti Mohon Tunggu... Guru - Guru Sejarah

Berusaha menebarkan kebaikan dalam media dan kondisi apapun

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Refleksi Hari Kebangkitan Nasional

19 Mei 2020   14:17 Diperbarui: 7 Mei 2023   13:42 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sejak sebelum abad XX, rakyat Nusantara berusaha membentuk berbagai gerakan untuk menerobos benteng-benteng penjajahan. Satu abad lebih yang lalu, setiap inchi pemikiran rakyat tidak lepas dari hasrat untuk merdeka.

Penjajahan itu bagaikan perbudakan yang menghinakan bangsa melebihi hewan-hewan merana di kerangkeng arena sirkus Eropa. Kemerdekaan tak ubahnya impian indah di langit ketujuh, karena penjajahan merantai setiap tubuh dan jiwa rakyat Nusantara. Tetapi pemikiran dan perasaan untuk merdeka tidak pernah terbelenggu. Meskipun jejak rantai penjajahan terseret di atas bumi pertiwi sekian ratusan tahun lamanya. Air mata penindasan menganak sungai ribuan kilometer jauhnya.

Bebagai perlawanan di setiap penjuru Nusantara selalu bisa dihancurkan oleh kaum penjajah. Bagai buih lautan menghantam karang. Keadaan itu pun tidak menyurutkan pasang naik gelombang perjuangan bangsa. Hingga kita bisa mengenal kisah-kisah penuh kepahlawanan dari tokoh-tokoh besar seperti Diponegoro, Cut Nyak Dien, Hasanuddin, Patimura dan sebagainya.

Dari mereka kita belajar, untuk meraih manisnya buah kemerdekaan, kita harus siap menjalani pahit-getirnya perjuangan. Dari mereka kita belajar, keringat dan air mata yang mengalir, darah yang tertumpah, hingga berujung pada sabung nyawa, itu semua tidaklah cukup untuk menebus sebuah kemerdekaan.

Malam yang indah akan mimpi-mimpi kemerdekaan bisa saja sirna. Apalagi setiap perlawanan selalu menemui hadangan. Mereka selalu merampas cita-cita. Begitu di pagi hari kita terbangun, yang ada hanya lamunan.

Sampai kita menatap secercah harapan. Bak semburat jingga di langit pagi hari, kala fajar menyeruak di antara perbukitan. Satu kata kita temukan : PERSATUAN!

Kata indah itu menggila dan menari indah di antara sengkarut pemikiran, karena kita tidak punya apa-apa. Tidak bermodal, walau setitik emas atau sepeser gulden pun. Bisa saja kita mundur. Tetapi adakah langkah lain yang bisa diambil, selain maju di antara compang-camping kehidupan? Tidak ada. Selama nyawa masih bersalut badan. Selama jiwa membara menjilati raga. Satu kata lagi kita temukan : PERLAWANAN!

Kita tidak sanggup menanggung malu di hadapan anak-cucu di hari kemudian, karena PERSATUAN dan PERLAWANAN tiada guna tanpa arahan. Maka dari situ kita berkomitmen untuk bergerak dalam satu bingkai yang sama : KEMERDEKAAN!

Persatuan mengatasi berbagai perbedaan primordial agama, suku, ras, golongan dan kelas sosial. Persatuan mengikat perbedaan tersebut hingga bersinergi menjadi senyawa yang hebat.

Perlawanan merupakan lokomotif yang kuat dan sanggup menarik gerbong-gerbong yang di dalamnya bersemayam jutaan harapan berupa kebebasan, persamaan, kedaulatan, kemakmuran dan persaudaraan. Harapan akan bermuara pada kesejahteraan segenap jiwa dan raga bangsa.

Persatuan dan Perlawanan itu akan membuncah dan mewujud dalam kemerdekaan. Kemerdekaan menghasilkan energi dahsyat yang akan melesatkan semua harapan melewati garis batas impian.

Lentera yang merupakan perwujudan energi itu perlahan menyala pada tahun 1908. Lentera itu bernama Budi Utomo. Suatu perkumpulan anak-anak bangsa yang berlandaskan persatuan untuk melakukan perlawanan demi meraih kemerdekaan.

Perlawanan tidak selalu dilakukan dengan kekuatan fisik. Bukan dengan peluru dan senapan. Bukan dengan tombak dan pedang. Tetapi terlebih dahulu dengan wawasan kebangsaan, yaitu nasionalisme. Membumikan semangat nasionalisme merupakan bahan bakar kemerdekaan yang utama. Wawasan ini menjadi pondasi kuat ketika kelak kita mempertahankan kemerdekaan dalam gejolak Revolusi sesudah dibacakannya Proklamasi Kemerdekaan, 17 Agustus 1945.

Eksploitasi kolonial dan westernisasi yang luar biasa menimbulkan keresahan bahwa bangsa kita akan tergilas zaman dan penjajahan. Tokoh-tokoh bangsa seperti dr. Wahidin Soedirohoesodo, dr. Tjipto Mangoenkoesomo dan dr. Soetomo menjadi salah satu bagian dari peletak dasar wawasan kebangsaan Indonesia. Mereka berani tampil sebagai pembela harga diri bangsa, yang diwujudkan dalam bentuk organisasi Budi Utomo. Mereka menyerahkan jiwa raganya bagi kemerdekaan yang kelak akan diwujudkan dalam pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Diawali dari komitmen dan tekad bahwa jauh di sana Indonesia yang merdeka sudah menanti.

Pintu gerbang kemerdekaan sudah kita lewati. Garis batas itu seolah menjadi dermaga yang melepas keberangkatan kita menuju pelabuhan cita-cita. Di atas kapal besar bernama Republik Indonesia ini kita mengarungi lautan untuk tiba pada impian sejati, mewujudkan Indonesia sejahtera.

Seratus tahun lebih sesudah Budi Utomo meletakkan pondasi kebangsaan, kita masih saja bersengketa dengan diri sendiri. Sementara nilai-nilai persatuan dan kesatuan kita disobek-sobek oleh pergulatan westernisasi dan globalisasi. Westernisasi mengarahkan kita pada gaya hidup kebarat-baratan. Berbagai produk dan gaya hidup Barat kita adopsi bagaikan anak kandung sendiri. Menjadi arah hidup dan jatidiri. Sementara kita diperbudah teknologi. Globalisasi mencucuk pandangan kita seakan semua nilai lebih dan kebaikan ada di luar sana. Hingga kita abai pada nilai-nilai budaya dan kekayaan alam bangsa. Sementara kita menjadi bulan-bulanan produk dan objek sasaran tembak pasar dunia.

Kita membeli semua itu dengan nilai rupiah yang tidak seberapa. Tetapi kehidupan dan jatidiri bangsa harus membayarnya dengan harga mahal. Dimulai dari nilai-nilai kebangsaan yang mulai terkikis. Ditutup dengan gelombang air bah ketertinggalan. Tidak bisa tidak! Hari Kebangkitan Nasional harus dijadikan momentum besar untuk kita membangkitkan kembali setiap gelora semangat kebangsaan. Semangat yang dimulai dari dari diri sendiri dan mulai sejak saat ini.

Kita belum berada pada putaran akhir dari kompetisi besar dunia. Para pendahulu kita, para pendiri bangsa, sudah memberikan tongkat estafet pembangunan. Kita mau menerimanya dan berlari sekencang mungkin mengejar ketertinggalan, atau menyerah dengan keadaan? Pilihan itu ada di tangan kita. Mereka sudah cukup mengantarkan kita sampai di depan pintu gerbang kemerdekaan. Tinggal kita mengisinya dengan pembangunan yang memanusiakan manusia dan mensejajarkan hak dan kewajiban secara sama rata. Sehingga Indonesia sejahtera bukan sekedar impian belaka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun