Mohon tunggu...
Novaly Rushans
Novaly Rushans Mohon Tunggu... Relawan - Relawan Kemanusian, Blogger, Pekerja Sosial

Seorang yang terus belajar, suka menulis, suka mencari hal baru yang menarik. Pemerhati masalah sosial, kemanusian dan gaya hidup. Menulis juga di sinergiindonesia.id. Menulis adalah bagian dari kolaborasi dan berbagi.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Pilkades, Beban Politik antara Manfaat dan Kesia-siaan

6 September 2023   10:30 Diperbarui: 17 September 2023   06:56 426
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Baliho Calon Kades | sumber: Pribadi

Musim pemilihan kepala desa (pilkades) menjelang gelaran pemilu 2024 nampaknya tak kalah seru. Di desa saya diperbatasan Kabupaten Bogor, Kabupaten Serang, dan Kabupaten Lebak, sudah ada lima calon kepala desa yang terdaftar. 

Pemilihan kepala desa akan dilaksanakan pada 13 November 2023 tapi gegap gempitanya sudah terasa sejak 2 bulan ini.

Baliho calon kepala desa berukuran besar terpasang dibanyak tempat, menyeruak tak mau kalah dengan baliho para caleg partai. Malah dari segi ukuran , baliho calon kades jauh lebih besar. Ditempatkan di setiap jalan utama, di dekat masjid, di dekat stasiun, di dekat pasar dan semua tempat yang punya potensi keramaian.

Lima calon kades seperti ingin berebut simpati masyarakat dengan memasang baliho sebanyak banyaknya. Walau akhirnya malah membuat ruang publik menjadi terganggu bahkan berpotensi mengganggu keselamatan pengendara bermotor karena ada beberapa baliho ditempatkan di jalan masuk yang menutupi sebagian badan jalan. Pengendara menjadi kesulitan mengantisipasi kendaraan dari sisi kiri ketika akan berbelok.

Pemilihan kepala desa secara langsung memang telah dilakukan jauh sebelum pemilihan presiden secara langsung yang baru dilakukan pada 2004. Ajang pemilihan kepala desa menjadi 'gengsi' tersendiri. 

Bagi keluarga besar si calon kepala desa kemenangan dalam pilkades seperti piala yang harus dimiliki. Tak peduli biaya yang harus dikeluarkan. Bahkan tak peduli bila harus menjual tanah, rumah, mobil atau perhiasan untuk membiayai seorang calon kepala desa.

Bahkan ada keluarga calon kepala desa yang rela meminjam uang dalam jumlah besar untuk biaya ikut pilkades. Semakin besar biaya yang dikeluarkan malah menjadi tolak ukur calon kades punya potensi menang.

Baliho Calon Kades | sumber: Pribadi
Baliho Calon Kades | sumber: Pribadi

Jadi sepanjang saya ikuti pilkades di desa saya tak ada visi misi atau gagasan untuk membangun desa, tak ada rencana untuk menggunakan dana desa yang digelontorkan pemerintah pusat untuk menyejahterakan warganya. Yang ada janji-janji untuk memberikan "uang" kepada warga.

Warga desa pun tak ada yang protes, merasa tak ada yang salah dari proses pemilihan kepala desa. Yang penting berapa uang yang akan didapat dari si calon kades. Semakin besar jumlah uangnya maka itulah calon kepala desa yang akan dipilih.

Maka selain bersaing dengan baliho, calon kepala desa bersaing jumlah uang yang akan dibagikan. Maka tim sukses atau tim pemenangan seorang calon kepala desa adalah orang-orang yang punya jaringan para tokoh masyarakat, tokoh agama, ketua RT, Ketua RW. Semakin banyak jaringan yang dimiliki maka menjadi cara untuk menang.

Relawan-relawan juga dibutuhkan untuk menjaga wilayah yang sudah "dikuasai" tidak mendapat "serangan" dari calon kepala desa yang lain. Maka kasak kusuk untuk menjaga "wilayah" menjadi sangat penting.

Persaingan semakin ketat seiring waktu pemilihan, untuk menjaga suara, seorang calon kepala desa harus menjaga lumbung suaranya dengan memberikan fasilitas kendaraan antar jemput untuk para warga pemilih.

Maka angkot-angkot laris disewa, ditiap angkot sudah diberikan tanda calon kepala desa. Warga akan 'digiring' dari lokasi kumpul hingga ke bilik pemilihan. Para relawan terus menjaga warga yang masuk ke bilik suara sembari tetap mengingatkan nomor atau foto calon kepala desa yang wajib dicoblos.

Tentu sebelum berangkat, amplop berisi uang sudah diberikan. Bila tak sesuai warga bisa beralih kepada calon kepala desa yang lain yang berani memberikan uang lebih besar. Nah, kalau si calon kepala desa yang awal berani mengguyur uang kembali maka warga bisa kembali memilih si calon kepala desa ini.

Saling guyur uang serangan fajar seperti lumrah dilakukan di ajang pilkades, ada istilah 'ngebom' ketika uang diberikan kepada warga. Peran tim pemenangan sangat penting, para ketua RT biasanya dilibatkan untuk memastikan warganya memilih calon kades yang sudah disepakati.

Berapa Biaya yang harus disiapkan?

Dalam perbincangan santai antara para tokoh masyarakat di desa, saya pernah bertanya berapa biaya yang disiapkan para calon kepala desa. Jawabannya ternyata berbeda-beda tergantung lokasi desa, semakin banyak pabrik atau lokasi industri maka biaya menjadi kepala desa semakin besar.

Ada calon kepala desa harus menyiapkan uang Rp200 ribu untuk satu suara.

Bisa diberikan sekaligus atau diberikan dalam dua tahap, tahap pertama untuk melihat respon warga, bila tak ada calon kepala desa yang lain yang ngebom maka dana Rp100rb dirasa cukup, tapi bila ada serangan fajar dari calon lain maka akan di"bom" ulang agar suara tidak berpindah.

Dengan dana satu suara sebesar itu, atau bila diambil dengan rata rata Rp50rb saja maka bisa dikira-kira biaya yang harus dikeluarkan seorang calon kepala desa. Belum biaya tim sukses, relawan, biaya pembuatan baliho dan alat peraga kampanye (APK) lainnya.

Perkiraan saya paling sedikit Rp300 juta harus disiapkan, bahkan dari cerita teman-teman ada yang harus keluar dana hingga 1-2 milyar.

Namun ada juga calon kepala desa yang kreatif tidak memberikan uang namun memberikan hasil bumi atau hasil panen ikan untuk meraih simpati warga.

Saya pernah melihat langsung ada calon kepala desa membuat doorprize barang-barang elektronik bagi warga yang telah memilihnya. Walau setelahnya saya mendapat info calon tersebut gagal dalam pemilihan kepada desa.

Pilkades kalau ditinjau secara beban politik memang menjadi sumber pengeluaran yang besar bagi calon kades dan pemerintah. Biaya penyelenggaraan, biaya pengamanan, dan biaya lainnya yang menyita dana cukup besar.

Sementara hasil dari pemilihan kepala desa sendiri tidaklah signifikan, artinya pemerintahan desa dan pembangunan desa nyaris tidak dirasakan masyarakat. Kepala desa terpilih akhirnya tidak dekat dengan masyarakatnya karena masih ada sisa kubu setelah ajang pemilihan selesai.

RT atau RW yang mendukung calon kepala desa yang kalah siap siap turun jabatan digantikan orang kepercayaan kades yang terpilih.

Warga desa akhirnya sudah terbiasa dengan pola pemilihan dengan transaksional, mereka menganggap jabatan kepala desa, jabatan "basah" yang siapapun yang mendudukinya akan mendapat uang dari berbagai sumber.

Dengan begitu, demokrasi ditataran paling bawah ini memberikan edukasi yang salah. Sehingga berimbas pada pemilihan legislatif dan pemilihan presiden. Nuansa politik transaksional uang menjadi hal yang terus berulang.

Warga beralasan, memang tidak butuh uang untuk ke TPS. "saya perlu beli bensin, beli jajanan untuk anak, butuh beli makanan karena istri tidak masak pada hari pencoblosan, lagian yang dapat jabatan enak kan pak kades, dapat uang banyak kalau menang, saya mah begini-gini aja," itu kira kira alasan warga yang pernah saya dengar.

Selintas seperti benar namun di dalam demokrasi yang sehat hal ini menjadi hal buruk yang mengakibatkan para calon kades atau caleg partai tidak lagi beradu gagasan tapi beradu berapa modal uang yang dimiliki.

Hal yang pertama yang akan dilakukan para kades dan caleg yang terpilih adalah mengembalikan modal uang yang telah keluar, baru memikirkan aspirasi warga yang telah memilihnya.

Lalu sampai kapan Pilkades bisa memberikan manfaat kebaikan, kalau diawali hal yang tidak sesuai.

Salam Bahagia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun