Tepatnya tanggal berapa kejadiannya  saya sudah lupa. Tapi detail kejadian saya masih ingat sekali. Saat itu Jakarta belum seperti sekarang. Trans Jakarta sudah ada namun koridor belum selengkap saat ini . Busnya juga belum sebanyak saat ini.
Metromini dan Bus Kota masih cukup banyak berseliwearan menaikkan dan menurunkan penumpang. Dan Kendaraan online juga belum sebanyak saat ini.
Yang masih saya ingat malam itu selesai kegiatan acara Kompasiana nangkring  disebuah hotel disamping Sarinah. Hotelnya warna warni cukup kontras terlihat dari luar. Saya juga lupa  acaranya.
Rencananya selepas acara saya berniat pulang dengan kereta. Karena hanya moda jenis ini yang bisa mengantarkan saya pulang ke rumah. Dari seberang Sarinah saya akan  mencari kendaraan yang bisa mengantar saya ke stasiun kereta Tanah Abang.
Salah satu cara adalah menumpang metromini yang rutenya dari Blok M ke Tanah Abang. Malam itu tak ada satupun teman yang satu tujuan. Hanya saya sendiri yang akan ke stasiun Tanah Abang.
Setelah pamitan dengan panitia , admin kompasiana dan beberapa teman saya bersiap jalan kaki dan menyeberang. Malam itu saya membawa kamera DSLR dan laptop kesayangan saya. Kamera ini belum lama saya beli dengan menabung dari hasil menang lomba. Jadi kamera inilah barang yang paling mahal selain laptop.
Tas  ransel berisi kamera DSRL dan laptop , jadi beban tas cukup berat. Tapi memang kedua barang ini selalu langganan saya bawa bawa. Biar mirip seperti wartawan pikir saya (he he he). Tak lupa saya sudah memasukkan dompet dan handphone kedalam  tas ransel.
Standar keamanan yang sudah saya lakukan sejak dahulu kala hingga hari ini. Semua barang berharga akan berada didalam tas ransel.
Gerak Gerik dan Bahasa Daerah
Tak lama setelah saya menyeberang ada satu metromini melintas, dari jarak 10 meter sudah saya perhatikan apakah ada penumpang didalam metromini. Saya lihat ada beberapa penumpang didepan dan dibelakang.
Saya awalnya tidak curiga, karena saya pikir sudah cukup malam sehingga tak banyak lagi penumpang yang akan pulang. Saya memberikan kode dengan tangan agar metromini berhenti.
Bus sedang berkapasitas 30an orang itu berhenti tepat didepan saya. Kenek segera turun memberikan jalan agar saya bisa naik. Dengan sedikit melompat (kayak flim Kungfu, he he he ) saya naik ke dalam metromini lewat pintu belakang.
Saya mengambil duduk diposisi tengah, dan saya lihat beberapa orang ( tiga orang) pindah tempat duduk ke belakang. Sebagian tetap di posisi depan. Hitungan  saya ada 8 orang semuanya termasuk kenek.
Saya jadi curiga karena semua orang didalam mertomini menggunakan bahasa daerah yang sama. Bahasa satu daerah di pulau Sumatera. Perlu saya informasikan , saya juga anak dari orang tua yang berasal dari sumatera.
Jadi saya tahu logat bahasa daerah  walau tidak sepenuhnya tahu arti dari bahasa daerah ini. Gerak gerik mereka sepanjang perjalanan mulai aneh. Saya seperti ingin diintimidasi. Dengan duduk tak jauh dari tempat duduk saya. Dan sesekali melihat kearah saya.
Alarm bahaya saya segera menyala. Yang saya pikirkan adalah satu, masalah keselamatan diri. Tidak lucu bila harus tewas didalam metromini sendirian, dua, masalah benda berharga didalam tas ransel. tiga , saya harus selamat dan pulang dengan aman dengan semua barang saya.
Malam itu saya menggunakan celana lapangan berwarna hijau mirip celana tentara. Bila malam dengan lampu mertromini sepertinya sudah mirip sekali dengan celana TNI. (saya mirip miripkan saja biar timbul semangat sapta marga....ups)
Rencana saya adalah saya akan turun yang saya bisa bebas bergerak dan bila diperlukan dengan jurus 'seribu Langkah" alias lari (he he). Pokoknya malam itu cukup menakutkan untuk saya.
Setelah sampai perempatan lampu merah Tanah Abang- Cideng -- Jati baru , saya memberhentikan metro mini dengan mengetuk atap bus sebagai tanda saya akan turun. Bersama itu enam orang segera mengepung saya yang akan turun.
Saya  merasakan tangan yang masuk kedalam saku celana, dan tangan yang menarik celaba bagian belakang. Saya pun memberikan respon cepat. Otak reptile saya bekerja sebagai tanda bahaya.
Saya segera berontak dan mendorong orang yang menghalangi saya keluar metromini yang sudah berhenti. Dorongan keras  membuat orang didepan saya terpental keluar sehingga saya bisa lompat keluar metromini.
Saya sedikit menantang sebagai upaya agar tidak dikejar kelompok ini. Setelah itu saya bergerak cepat ke arah stasiun , sambil sesekali melihat ke arah mitromini yang sudah bergerak menjauh.
Perasaan was wasa masih ada, khawatir mereka mencegat dibawah fly over sebelum masuk stasiun. Tindakan saya sebenarnya hanya bersifat spontan karena membela diri. Kalau dipikir logika tindakan  saya  bisa berujung fatal, bila salah satu diantara mereka ada yang membawa senjata tajam.
Saya bisa jadi korban penusukan. Tapi mau gimana lagi tas yang berisi harta benda kesayangan saya untuk modal menulis bisa lenyap bila saya lembek dan tidak melawan.
Saya menduga, mereka komplotan yang bekerjasama dengan supir dan kenek metromini. Karena metromini tidak lagi mengambil penumpang lainnya selain saya.
Itulah pengalaman saya yang paling berkesan dan tak terlupakan ketika naik kendaraan umum di Jakarta.
Tetap waspada walau transpormasi zaman sekarang jauh lebih aman dan nyaman. Tindak kejahatan bisa terjadi dimana.
Salam Bahagia...
Bogor, 8/8/2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H