Kejadian itu tentu membuat pihak sekolah geram dan mencari  provokator penyerangan tersebut. Sebenarnya provokator sesungguhnya temanku bernama Johan 'badak'. Anak yang dianggap jagoan saat itu mengerahkan anak anak ikut menyerang sekolah lain. Aku masih ingat Johan berada dibarisan paling depan ketika perkelahian terjadi.
Aku sendiri kapok untuk ikut perkelahian sekolah. Bagiku tidak seru dan lebih banyak kerugian yang dihasilkan. Namun hal ini terjadi lagi saat aku duduk di bangku SMA.
Beruntung namaku tidak terditeksi sebagai orang yang terlibat dalam penyerangan tersebut. Entah karena tak percaya atau memang lupa kalau aku ada dilokasi kejadian.Â
Apalagi saat itu aku mulai tertarik mengikuti kelompok kajian Islam . Didalam kelompok ini hampir semuanya anak baik baik dan anak yang berprestasi di sekolah. Mungkin hanya aku , anak yang masih 'liar' dan masih menyukai petualangan anak remaja.
Sementara masa puber itu masih menyala, rasa suka terhadap lawan jenis yang  bergelora. Beberapa teman wanita yang jadi incaran masuk dalam listku. Beruntung saat itu juga aku juga mulai paham bagaimana seharusnya pergaulan yang benar. Dua hal yang kontradiktif itu mempengaruhi karakterku hingga aku masuk ke jenjang SMA.
Kisah cinta monyet, surat cinta, Â asmara remaja menjadi bumbu yang membuatku bersemangat . seperti sebuah pertandingan. Pergolakan terus terjadi bahkan ketika aku mulai dewasa dan mulai bekerja.
Kenangan di SMP sangat membekas, kenakalan remaja tak luput mempengaruhiku. Termasuk pergaulanku dengan teman teman yang aktif di Rohis. Saat pencarian jatidiri beberapa temanku salah jalan. Ada yang terlibat penggunaan obat terlarang , ada yang terlibat seks bebas. Bimbingan orang tua dan guru sangat dibutuhkan pada fase ini.
Bersambung....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H