Pasca pandemi Covid 19 Â bukan saja memberi pengaruh dibidang kesehatan namun juga memberi dampak yang signifikan terhadap asupan gizi anak anak Indonesia. Terutama kecupakan akan protein hewani yang masih jauh dari standar kesehatan nasional dan dunia.
Angka kecukupan gizi (AKG) Â menurut Permenkes nomer 28/ 2019 untuk anak anak balita mencapai 25 gram untuk anak dengan badan 19 Kg , atau setara 0,76 gram per kilogram. Angka kebutuhan protein menjadi sangat penting dalam masa pertumbuhan anak anak.
Untuk anak-anak dengan usia 10--12 tahun, kebutuhan protein mencapai angka 50 gram untuk anak laki laki dan 55 gram untuk anak perempuan. Padahal dalam kenyataan AKG anak anak Indonesia masih jauh dibawah standar. Hal ini tentu akan membuat persoalan serius. Tumbuh kembang anak akan terganggu, apalagi bila AKG tak tercapai dalam masa waktu yang lebih panjang
Dampak anak penderita stunting, anak akan  tumbuh pendek atau tinggi badan kurang maksimal. Perkembangan otak yang terhambat atau IQ rendah. Proteinn hewani butuhkan untuk perkembangan otak. Anak anak yang kekurangan protein.
Di Jakarta, sebagai Ibu kota negara masih terdapat angka stunting sebesar 14,8%. Secara grafik nasional prevalansi balita stunting di Indonesia , DKI Jakarta berada di 2 provinsi terendah dan berada di bawah angka yang ditolerir badan Kesehatan dunia sebesar 20%.
Jawa barat dan Banten masih menempati posisi 22 dan 23 dengan angka prevalensi 20,2% dan 20%. Angka yang masih tinggi. Dua provinsi yang sebagian berbatasan dengan DKI Jakarta ini masih memerlukan usaha maksimal untuk bisa menurunkan angka prevalensi.Â
Pemerintah Indonesia menargetkan angka prevalensi stunting 14% pada tahun 2024 dan hanya satu tahun lagi. Dan sepertinya hanya Bali yang telah berhasil karena angka prevalensinya sudah dibawah 14%. ( Data Susesnas 2022)
Secara nasional Indonesia tercatat angka prevalansi balita stunting 21,6% masih diatas ambang batas walau angka ini turun 2,8% dari tahun lalu. Nusa tenggara timur, Sulawesi Barat, Papua , Nusa Tenggara Barat masih menempati 4 provinsi tertinggi  prevalensi balita stunting.
Angka Makan Daging Orang Indonesia
Daging merah atau daging ruminansia yang berasal dari sapi, domba atau kambing merupakan sumber proteni hewani yang baik. Salah satu keunggulan protein hewani yang sangat penting adalah memiliki komposisi asam amino esensial yang paling lengkap dibandingkan protein nabati. Variasi kandungan nutrisi juga lebih beragam seperti vitamin D, vitamain B12, zat besi dan asam lemak omega-3.
Mengonsumsi daging ruminansia memilki manfaat meningkatkan massa otot, meningkatkan metabolisme, dan punya pengaruh penting dalam kekuatan dan kepadatan tulang.
Indonesia sebagai negara besar, subur dan kaya ternyata memiliki asupan makan daging yang rendah. Mengutip data Organization of Economic Cooperation and Development (OECD) konsumsi daging sapi di Indonesia hanya menyentuh angka 2,2 Kg/perkapita jauh dibawah rata rata konsunsi dunia yang mencapai angka 6,4 Kg/perkapita. Setali tiga uang dengan tren konsumsi daging domba yang hanya 0,4 Kg/perkapita dibawah angka rata rata dunia yang tercatat 1,3 Kg per kapita.
Angka konsumsi daging ayam juga masih dibawah konsumsi daging dunia. Angka yang tercatat sebesar 8,1 kilogram per kapita masih dibawah rata rata konsumsi dunia yang mencapai 14,9 kilogram per kapita.
Angka rendahnya konsumsi daging Indonesia tidak bisa dilepaskan dari harga daging merah yang memang mahal. Tingginya harga daging merah berkaitan juga dengan belum mampunya Indonesia memenuhi kebutuhan daging nasional dan msih tergantung dengan daging impor.
Terlepas dari masalah harga mahal, ketersedian daging merah di pasaran, harga daging impor dan penyakit hewan yang memiliki pengaruh terhadap pola konsumsi, angka makan daging di Indonesia masih rendah. Hal ini juga terkait budaya orang Indonesia untuk makan daging merah.
Di beberapa daerah di Indonesia budaya makan daging tidaklah sama, seperti budaya Minang yang memiliki konsumsi daging cukup  tinggi. Dalam budaya orang minang , daging merah akan menunjukkan status orang. Dalam ritual ritual tertentu semisal adat melamar, keberadaan makanan berbasis daging biasanya dibuat rendang akan disajikan dari pihak laki laki ke pihak keluarga perempuan.
Dulu makan daging rendang hanya dilakukan para bangsawan, petinggi , pemangku adat. Biasanya terkait upacara adat. Namun saat ini makan daging rendang sudah tidak lagi terkait upacara, orang bisa makan rendang kapan saja.
Adat Aceh juga mengenal budaya makan daging saat memasuki bulan Ramadhan , Idul Fitri dan Idul Adha yang disebut budaya Meugang atau  Uroe Makmeugang. Budaya makan daging ini biasanya dilakukan dua hari sebelum memasuki Ramadhan, dua hari menjelang hari raya Idul Fitri dan dua hari menjelang hari raya Idul Adha.
Menurut data antropolog Belanda pada abad 19, Anthony Reid konsumsi masyarakat di Asia Tenggara umumnya mengkonsumsi daging sangat sedikit karena sebagian besar wilayahnya tertutup hutan yang rapat dan tidak memungkinkan menggembalakan ternak (Asia Tenggara dalam kurun waktu 1450-1680, 2011)
Inspirasi dari Budaya Meugang
Budaya meugang sejak zaman Kesultanan Aceh Darussakam, budaya berbagi daging sapi saat hari raya juga dijadikan sebagai upaya membantu masyarakat orang tidak beruntung.
"Bila telah mendekati hari Makmeugang, baik Meugang puasa, Meugang hari raya Fitrah, dan Meugang hari raya Haji, sebulan sebelum memasuki hari Meugang ini, semua keuchik, imeum meunasah, dan tuha peut di seluruh Aceh diwajibkan memeriksa tiap kampung yang dipimpinnya. Tujuannya untuk mengetahui jumlah fakir miskin, inong balee (perempuan janda), yatim piatu, orang sakit lasa (lumpuh), dan orang buta. Juga orang sakit lainnya yang tidak mampu mencari nafkah."
Sultan akan menerima laporan dari para perangkat masyarakat adat memberikan laporan kepada Sultan. Dari laporan tersebut inilah Sultan akan memerintahkan logistik Kesultanan untuk membeli sapi dan kerbau yang akan disembelih pada hari meugang. Setiap gampong (kampung) akan mendaptkan 2-3 ekor sapi dan kerbau untuk disembelih dan dagingnya dibagi bagikan.
Budaya berbagi daging untuk orang yang membutuhkan menjadi inspirasi untuk membuat program sedekah daging. Inspirasi ini terlintas saat menyiapkan program kurban tahun ini.
Daging kurban yang dibagikan saat Idul Adha dan tiga hari tasyrik akan membahagiakan orang yang mendapatkan, namun setelah hari raya Idul Adha berakhir perlu ada program yang berlanjut untuk memberikan tambahan makanan berprotein hewani.
Sedekah daging akan melibatkan semua stake holder,terutama dukungan publik. Sedekah daging diharapkan bisa menaikkan pemberdayaan petani dan peternak lokal baik domba maupun sapi. Usaha ini tentu tidaklah semudah membalikkan telapak tangan.
Tantangannya besar dan diperlukan usaha serius dalam jangka panjang harus dilakukan upaya kompleks dari berbagai sisi. Baik Kesehatan, ekonomi, pemberdayaan peternak hingga kebijakan makro ekonomi terkait impor daging.
Sedekah daging menjadi salah satu upaya menurunkan angka prevalensi stunting. Keluarga dan anak penderita stunting akan didata untuk setiap periode tertentu untuk mendapatkan daging merah. Baik daging beku, daging yang dikemas dalam kaleng atau makanan siap santap yang lauknya daging sapi atau daging domba. (RN)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI