Artikel ini adalah sambungan dari artikel sebelumnya, disila baca disini
Setelah kakekku wafat, ayah kembali ke kampung dan mencari uang untuk menopang kehidupan keluarga. Sebagai anak semata wayang. Ayah mengambil peran tulang punggung keluarga
Lanjutan dari kisah sebelumnya
Menurut perkiraanku , Ayahku Kembali ke Lampung di tahun 1960 setelah hampir tiga tahun tinggal menumpang di rumah sang Kakak dan bersekolah di SMP Taman Siswa Kemayoran . Untuk Kembali ke Lampung di tahun 60-an hanya bisa melalui kapal penumpang dari Pelabuhan Tanjung Priuk.
Perjalanan memakan waktu  satu  hari penuh . Kapal juga tidak bisa merapat ke pelabuhan Krui yang kecil  dan akan dijemput oleh kapal kapal kecil. Turun dari kapal besar ke kapal kecil yang dibiasa disebut sekoci (sebuah istilah)  menurunkan muatan baik orang dan barang. Kalau sedang angin kencang atau ombak besar proses menurunkan bisa beresiko besar
Karena jalan darat belum tersedia , jadi hanya mengandalkan jalur laut saja.setelah ada jalur darat maka jalur laut ditiadakan. Padahal menurut ayahku, lebih enak menggunakan jalur laut hanya tantangannya Ketika turun di Pelabuhan Krui.
Setelah kembali di kampung halaman praktis ayahku tidak memiliki pekerjaan. Sekolahpun putus karena ia tak memiliki ijazah tanda lulus dari jenjang SMP. Selain itu sekolah jenjang SMA di pesisir barat berjarak cukup jauh.
Sementara Ayahku harus menjadi tulang punggung keluarga. Menghidupi Sang Ibunda. Sebagai anak tunggal ia harus bertanggung jawab. Pekerjaan di kampung tentu tak banyak pilihan. Rumah ayahku saat itu berada tak jauh dari Pelabuhan. Hanya berjarak kurang dari 100 meter.. Sekarang rumah itu sudah dijual dan berubah menjadi sebuah Gudang.
Ayah Menjadi Nelayan
Menjadi nelayan akhirnya menjadi pilihan hidup seorang remaja berusia 15 tahun. Tentu proses menjadi nelayan bukan perkara mudah. Kapal  ayahku tak punya, jadi harus menjadi kenek (orang yang membantu seorang nelayan) . Tugasnya tentu menjadi orang yang disuruh suruh selama di kapal ataupun setelah sampai ke Pelabuhan.
Untuk menangkap ikan di lautan lepas , nelayan menyiapkan diri sejak sore hari dan berangkat menjelang senja , malam adalah waktu bekerja menangkap ikan. Jangan bayangkan peralatan menangkap yang canggih. Semuanya manual dengan alat sederhana.
Kantuk dan kadang rasa bosan menyelimuti, tak ada yang bisa dilihat selain air laut. Lampu lampu kapal yang berpendar pendar. Bila laut tenang dan cuaca cerah maka proses cukup nyaman. Namun bila angin datang dan cuaca hujan maka Suasana tentu tak mengenakkan.
Hasil tangkapan sangat berpengaruh dengan musim, cuaca dan teknik , yang  pasti hasil tangkapan adalah rezeki yang didapat hari itu. Kadang tak ada tangkapan seharian, kisah menjadi nelayan adalah kisah getir
Entah karena kasihan karena Ayahku seorang  anak yatim, ada seorang nelayan yang bersedia memberikan kesempatan kepada ayahku. Masih terhitung keluarga jauh cerita ayahku. Sejatinya Nenekku melarang ayahku untuk menjadi nelayan namun ayah bergeming karena menurutnya seorang anak laki laki harus bertanggung jawab kepada keluarganya apapun hasil pekerjaannya selagi halal.
Pekerjaan nelayan dijalani ayahku hampir satu tahun, hasilnya walau tak tentu bisa diberikan kepada nenekku. Pengalaman menjadi nelayan ini termasuk sering diceritakan ulang kepadaku. Aku bisa merasakan perasaan ayahku ketika ia sedang bercerita. Ada kepedihan, ada kesedihan namun dibalik itu ia ingin mengingatkan pekerjaan adalah perjuangan apapun itu, maka hargailah hasilnya.
Atas permintaan Nenekku, beberapa paman ayahku memberikan nasihat penting. Tak tega juga rupanya keluarga besar Nenekku melihat keponakannya yang baru berusia 15 tahun itu harus berjuang dilautan yang penuh resiko. Sebagai informasi, beberapa kejadian nelayan tak pernah kembali ke rumah dan hanya ditemukan sisa sisa kapal yang rusak dihantam gelombang.
Salah satu paman ayahku yang berprofesi sebagai penjahit menawarkan diri untuk memberikan ilmunya secara gratis dan juga memberikan modal sekaligus. Ayahku tertarik apalagi ketika diberitahu , Wanita lebih tertarik kepada seorang penjahit ketimbang seorang nelayan. Entah karena saat itu ayahku sedang mengincar seorang gadis , aku hanya mengira ngira saja . Ayahku pun banting stir menjadi seorang penjahit.
Ayahku termasuk cepat dan cekatan dalam belajar ilmu menjahit. Aku bisa meyakinkan karena ayahku sangat mahir menggunakan mesin jahit dan mampu membuat beberapa potong celana untukku Ketika aku kanak kanak. Ayahku juga bisa mem-vermak baju atau celana yang kebesaran  ukurannya.
Pekerjaan sebagai penjahit saat itu cukup laris karena masih jarang pakaian jadi seperti saat ini. Apalagi menjelang lebaran dan tahun ajaran baru pesanan akan menumpuk. Kata ayahku, ketrampilan menjahit itu seperti bakat.Namun dengan belajar tekun seseorang akan bisa menguasai ilmu menjahit yang baik.
Baru saja nyaman dengan ketrampilan barunya, ayahku mendapat kabar menantang sebuah sekolah keguruan baru saja didirikan . Pendidikan Guru Atas (PGA). Sebenarnya ini program  upaya dari pemerintah untuk memenuhi kebutuhan guru. Terutama guru sekolah dasar.
Mencari Bukti Sekolah
Masalah utamanya ayahku tidak pernah lulus dari jenjang SMP Ketika di Jakarta. Ia tak memiliki ijazah SMP. Namun hasrat besarnya untuk bisa kembali sekolah tak terbendung karena cita citanya menjadi guru bisa ia raih.
Ayahku meminta tolong kepada salah satu pamannya yang berprofesi sebagai guru untuk bisa membantunya. Dengan lobi lobi  khusus, menggunakan jalur kekeluargaan, akhirnya didapatkan kesempatan itu.
Ayahku  diminta sebuah surat yang menyatakan ia pernah bersekolah hingga kelas tiga di jenjang SMP di Jakarta . Dan suratnya harus dari sekolah di SMP Taman Siswa Kemayoran. Sebuah tantangan , jarak Krui ke Jakarta harus dilalui berhari hari dan berbiaya tidak sedikit.Dan belum tentu pihak sekolah  mau membuatkan surat tersebut.
Apapun dilakukan ayahku untuk memenuhi itu. Setelah melaporkan kepada sang kakak di Jakarta dan meminta bantuannya. Aku bisa membayangkan perjuangannya saat itu. Sang kakak dengan berbagai cara akhirnya bisa mendapatkan surat yang diminta dan  ayahku segera ke Jakarta untuk mengambilnya .
Perjalanan Krui -- Jakarta -- Krui dilalui dengan tabah oleh ayahku demi ia bisa kembali bersekolah. Keinginan untuk merubah nasib , keinginan ingin mendapatkan eksistensi . Impiannya masuk sekolah keguruan  akhirnya terkabul , surat yang menyatakan Ayahku pernah bersekolah di jenjang SMP hingga kelas tiga bisa diterima.
Dimulailah fase baru kehidupan seorang lelaki bernama lengkap Ahmad Thabrani Yunus. Kehidupan yatim yang ia jalani telah menempanya menjadi manusia yang tak mudah menyerah.
Selama tiga tahun Pendidikan PGA dilaluinya sebagai angkatan pertama. Setelah lulus PGA ayahku menjadi guru disebuah sekolah dasar di Pesisir barat hanya berbeda kecamatan. Dengan mengendarai sepeda ontelnya Ayahku memberikan ilmunya.
Sebagai guru baru dengan status honorer tentu tak banyak uang yang ayahku dapatkan. Tapi semua dijalaninya dengan yakin.Kelak akan ada masanya seorang guru akan hidup sejahtera. Saat itu gelombang perubahan politik dari masa orde lama ke orde baru sedang dimulai.
Ayahku yang berada jauh dari pusat ibukota tentu tak banyak merasakan. Kesulitan ekonomi, hiper inflasi, pengkhianatan politik, hingga huru hara pasca tragedi.
Laut yang luas , tanah yang subur cukup menjadi benteng pertahanan orang orang pesisir dari pengaruh buruk resesi ekonomi. Anak anak tetap tertawa  bermain di pinggir pantai. Ibu ibu masih membuat kue kering untuk teman mengopi para suami.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI