Mohon tunggu...
Novaly Rushans
Novaly Rushans Mohon Tunggu... Relawan - Relawan Kemanusian, Blogger, Pekerja Sosial

Seorang yang terus belajar, suka menulis, suka mencari hal baru yang menarik. Pemerhati masalah sosial, kemanusian dan gaya hidup. Menulis juga di sinergiindonesia.id. Menulis adalah bagian dari kolaborasi dan berbagi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kisah Ayahku (Autobiografi #3)

6 Juni 2023   22:00 Diperbarui: 6 Juni 2023   22:05 372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Asal Mula dari Ayahku

Cerita tentang ayahku , lelaki yang terlihat pendiam dan tidak  sekeras Ibuku. Namun Ayahku laki laki yang tegas yang lahir sebagai anak tunggal. Menurut cerita ayahku, Sang Ibu (Nenekku)  bernama Hafiah. Seorang wanita yang lahir sebagai bungsu dari tujuh bersaudara.

Nenekku berjodoh dengan seorang laki laki Bernama Yunus , seorang duda beranak dua yang ditinggal mati istrinya. Kakek Yunus memiliki ayah Bernama Surek. Menurut cerita ayahku, Surek ini seorang jawara yang berasal dari Banten. Ia hijrah ke pesisir barat lampung dan beranak pinak

Laki laki Bernama Surek ini cukup dikenal dan menjadi kebanggaan anak anak keturunananya. Aku sendiri hanya menerima cerita dari ayahku. Untuk pekerjaan Kakek Yunus adalah seorang opas (polisi dizaman Belanda ) dimana salah satu tugasnya menarik uang pajak.

Ayahku lahir di tahun 1944 setahun sebelum Indonesia merdeka. Jadi kemungkinan cerita kakekku menjadi seorang Opas di zaman Belanda adalah masuk akal. Bahkan Ketika Jepang menjajah, Kakek Yunus juga tetap berprofesi sebagai tenaga pengamanan.

Nama kakekku  Yunus menurut ayahku cukup disegani, Ayahku pernah bercerita ketika mengunjungi pulau pisang (sebuah pulang kecil diseberang pesisir barat lampung) , Ayahku mendapat perlakukan yang disegani karena tahu ayahku adalah anak dari Kakek Yunus.

Kakekku Yunus wafat Ketika ayahku sedang menempuh Pendidikan sekolah menengah pertama di Jakarta  yang Ketika itu ikut dengan sang kakak Bernama Abdul Karim ( berbeda Ibu ). Sejak kematian kakekku, Ayah tidak Kembali lagi ke Jakarta dan lebih memilih menemani ibunya yang hidup sendirian di Lampung dan menjadi tulang punggung keluarga.

Nenekku Hafiah merupakan Wanita yang lembut dan tangguh. Dan menjadi kesayangan keluarga besarnya. Ayahku bercerita ia memiliki paman paman dari pihak ibu yang banyak. Masing masing memiliki profesi beragam. Ada yang berprofesi sebagai  guru, penjahit, nelayan, pedagang.

Kisah Ayahku di Jakarta

Ayahku bercerita selepas sekolah dasar, sang kakak mengajaknya ke Jakarta merantau. Sang kakak yang saat itu berprofesi sebagai guru SD di Jakarta dan telah menikah dan memiliki beberapa anak.

Sebenarnya Kakek dan Nenekku berat hati melepas ayahku yang baru berusia 12 tahun  merantau ke Jakarta. Selain anak satu satunya , Ayahku adalah anak yang penurut.Namun karena bujuk rayu sang kakak demi masa depan pendidikan ayahku akhirnya dilepasnya anak laki lakinya.

Ayahku tinggal bersama di rumah sang Kakak. Rumah sedehana yang tidak terlalu luas.Tugas ayahku membantu pekerjaan keseharian sepeti membersihkan rumah, ikut mengurus keponakannya yang masih kanak kanak, dan pekerjaan rumah lainnya.

Ayahku didaftarkan disekolah menengah pertama (SMP) Taman Siswa di Kemayoran . Sebuah sekolah swasta yang berada disisi rel kereta. Diusianya yang sedang masa pertumbuhan , ayahku membutuhkan makanan yang cukup banyak. Nampaknya karena kehidupan yang pas pasan keluarga sang kakak. Ayahku sering kelaparan apalagi keinginan jajannya yang tidak terpenuhi. Ditengah keterbatasan yang melilitnya Ayahku tak mampu berbuat banyak.

Salah satu cara untuk mendapatkan uang adalah menjual buku buku pelajaran ke tukang loak. Saat itu buku pelajaran merupakan barang yang masih punya nilai berharga. Satu per satu buku pelajaran di jual ayahku untuk mendapatkan uang agar ia bisa membeli makanan kesukaannya serupa serabi.

 Habis sudah buku pelajaran dijual ayahku. Ia akhirnya hanya mengandalkan mencatat pelajaran dari teman sebangkunya. Walau tidak berprestasi Ayahku mampu melewati masa masa sekolah di Jakarta.

Ayahku sejatinya ingin bekerja serabutan untuk mendapatkan uang tambahan namun waktu yang tidak memungkinkan. Karena ia harus cepat Kembali pulang ke rumah sang kakak untuk membantu pekerjaan dirumah. Begitulah keseharian Ayahku di Jakarta saat itu.

Menurut hitunganku ayah ke Jakarta sekitar tahun 1956 -1957 , saat masa orde lama. Ketika perekonomian nasional  belum stabil. Saat itu cerita ayahku Jakarta masih memiliki trem. Bus bus sudah mulai ada, alat tranportasi lebih banyak menggunakan sepeda.  Oplet , bemo , helicak menjadi pilihan transportasi publik di Jakarta.

Jakarta saat itu juga masih kumuh, masih banyak ibu ibu yang mencuci dipinggir  kali. Jalanan becek dan banyak anak anak mengenakan baju seadanya  Jamban dipinggir kali menajadi pilihan buang air besar.

Sering diceritakan ayahku adalah keadaan pasar senen yang ramai yang menjadi sentra perbelanjaan , lapangan banteng saat yang masih berfungsi sebagai terminal bus. Monas , masjid Istiqlal belum ada. Jakarta digambarkan ayahku seperti kampung besar yang ramai. Wajah kota Jakarta lebih terlihat diwilayah kota tua hingga menuju Istana negara. Jalan dari istana negara  hingga kebayoran baru berupa jalan tanah. Tidak ada satupun gedung bertingkat seperti saat ini.

Kemana mana orang lebih banyak berjalan kaki. Sepeda saja merupakan barang yang berharga apalagi sepeda motor atau mobil pribadi. Sangat langka orang yang memiliki sepeda motor dan  mobil pribadi di zaman itu.

Radio menjadi alat komunikasi publik yang utama, Walau begitu radio pun belum semua orang bisa memiliki. Beruntung ayahku memiliki satu radio transistor menggunakan beterai. Radio pembelian Kakekku menjadi barang paling mewah selain sepeda ontel. Sayang Radio dan sepeda semuanya ada di Lampung.

Saat di Jakarta, ayahku harus ke tetangga rumah yang memiliki radio untuk  sekedar mendengarkan berita atau lagu lagu melayu dari RRI . Beberapa penyanyi menjadi idaman pada zaman itu.

Walau bioskop di Jakarta sudah ada, menonton film di bioskop merupakan hal  mewah saat itu. Salah satu bioskop yang pernah diceritakan adalah bioskop Rivoli di jalan Kramat Raya dan Bioskop Grand di Kawasan Senen.

Sebagai anak yang memasuki masa remaja, ayahku harus berjuang di Jakarta. Sering tak memiliki uang . Berjalan kaki adalah alat transportasi yang Ayahku miliki. Sepasang sendal yang ia bawa dari Lampung menjadi saksi. Keinginan besarnya melihat keramaian Jakarta ia dapatkan dengan mencuri waktu selepas pulang sekolah. 

Becak becak berseliweran di jalan jalan Jakarta. Menjadi tukang becak adalah profesi yang banyak dipilih para pendatang di Jakarta. Selain mudah mencari uang, tukang becak cukup punya pamor Ketika itu. Jarak yang ditempuh becak juga cukup jauh karena saat itu  jalanan belum sepadat sekarang.Kata Ayahku bisa dihitung jari ia bisa naik becak . Padahal salah satu kenikmatan di Jakarta ketika itu  naik becak .

Setelah datang kabar duka , kematian kakekku . Ayah meminta pulang ke kampung halaman untuk melihat pusara Kakekku dan setelah itu memutuskan tak kembali lagi ke Jakarta.

Ayahku Kembali ke Jakarta setelah lulus dari Pendidikan Guru Atas (PGA). Kurang lebih enam tahun kemudian. Itupun ada kisah dibalik kenapa ayahku bersedia Kembali ke Jakarta. (Bersambung...)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun