Aku mendapat tugas dari Datuk untuk menjadi penjaga barang dagangan dari pengutil. Waktu aku sudah berumur 10 tahun sehingga sudah dianggap cukup besar dan berani. Yang unik pengutil itu ternyata rata rata anak usiaku juga. Mereka juga sudah terbiasa mengisap rokok sejak anak anak. Sebuah hal yang membuat miris.
Jadilah aku seharian jadi satpam menjaga barang barang Datuk dan Nenek. Â anak anak disana melihatku asing karena tentu belum pernah meihatku sebelumnya. Mereka berupaya menyapaku dengan bahasa lampung yang bisa aku pahami namun sulit aku balas. Ayah dan Ibuku hanya berkomunikasi dengan Bahasa lampung di rumah karena menurut ayahku itu adalah bagian pembiasaan agar aku juga bisa berbahasa lampung dengan baik.
Tapi ternyata berbahasa lampung secara lengkap menjadi kesulitan tersendiri, jadilah aku berbahasa lampung bercampur bahasa Indonesia. Melihat jawaban dan logatku tentu anak anak itu paham , aku bukan asli anak lokal. Ketika ada pertanyaan darimana asalku dan kujawab dari Jakarta mereka sedikit menjadi segan. Apalagi Ketika mereka tahu aku adalah cucu dari Datuk. Mereka jauh lebih segan dan lebih memilih menjauh. Padahal dalam hati aku ingin juga memeiliki teman anak anak lampung. Sayang Datuk memberiku peringatan bahwa anak anak itu nakal dan suka mengutil barang dagangan.
Aku ingin bercerita tentang Nenekku. Wanita Tangguh yang menjadi pasangan setia hingga Datuk menghembuskan nafas terakhir. Datuk dan Nenek memeiliki lima orang anak. Empat Wanita dan satu laki laki. Ibuku adalah anak kedua. Nama lengkap Ibuku Rusnaini, namun hanya di panggil Ni. Begitulah kebiasan di pesisir barat lampung. Nama akan disingkat cukup satu suku kata.
Jadi panggilan seperti Mad, Tab, Wan, Sis, Ni, atau lainnya adalah hal yang biasa. Hal yang paling sulit adalah gelar urutan untuk memanggil. Karena setiap orang yang lebih tua akan memiliki gelar panggilan berdasarkan urutan keluarga. Sebagian adat pesisir barat lampung memiliki kesamaan dengan adat sumatera barat , Bengkulu dan Sebagian adat melayu.
Gelar atau panggilan sepeti Datuk, Pebalak, Wan, Udo, Ngah, Ncik, Buyung, Upik, Dang, Wondang dan masih banyak lainnya mirip dengan panggilan adat Melayu.
Nenekku lahir dari keluarga besar, keterikatan hubungan keluarga sangat kuat. Sanak saudara akan terus tercatat dengan baik. Para tetua akan mengingatkan keberadaan keluarga yang tinggal jauh. Nenek memiliki keluarga di Danau Ranau di Sumatera Selatan. Hubungan keluarga tetap terjalin dengan baik. Kadang dari keluarga besar Danau Ranau yang berkunjung atau sebaliknya. Biasanya momen liburan atau lebaran menjadi waktu terbaik untuk bersilaturahim.
Nenek juga orang yang tangguh, kehidupan berpindah pindah mengikuti tugas Datuk di beberapa kota di Lampung membuatnya harus bisa beradaptasi. Hidup di perumahan khusus polisi pernah dijalani. Tugas Datuk menjadi polisi merupakan profesi beresiko tinggi.
Tingkat kriminalisasi di Lampung tergolong tinggi , perampokan , pencurian, pembunuhan hingga sengketa tanah. Nenek sering bercerita Datuk harus mengejar penjahat berhari hari masuk kedalam hutan atau daerah lain yang asing.
Sementara nenek harus mengurus lima anak sendirian tanpa pembantu. Polisi di zaman itu tidak seperti polisi zaman sekarang yang memiliki renumerasi tinggi. Hidup pas pasan dijalani nenek. Untuk menambah penghasilan Nenek berjualan makanan kecil begitu cerita Ibuku. ( Bersambung....)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H