Sekonyong-konyong riuh terdengar ketika kami mulai memasuki gedung flat tempat tinggal kami, adu suara timbul tenggelam terdengar memekik. Tak dinyana di dalam rumah beberapa teman kami sedang beradu argumen tentang suatu permasalahan sosial & hubungan lintas agama.
Satu sama lain berargumen seakan tak mau kalah dengan lainnya, tak ada titik temu, semua berdalil dengan teks-teks agama yang mereka ketahui.
Diskusi berkutat sekitar hukum mengucapkan Assalamu'alaikum kepada non-Muslim atau menjawab salam mereka.
Yang membuat kami heran adalah diskusi tersebut seakan bukan mencari titik temu dan kebenaran, hanya ingin beradu argumen dan berunjuk bakat serta kecerdasan. Ditambah dengan dalil-dalil teks agama yang terkesan diinterpretasikan sesuai keinginan tanpa menyandarkannya kepada pendapat para ahli hukum agama terdahulu.
Dua faktor tersebut menurut kami amat berbahaya dalam sebuah forum diskusi -jika tidak ingin disebut debat kusir-.
Pertama egoisme, kita memiliki hak masing-masing untuk memilih prinsip, tetapi dengan tanpa menafikan hak orang lain yang berpegang pada prinsip mereka. Setiap prinsip atau pendapat yang kita pilih tentunya memiliki probabilitas kebenaran ataupun kesalahan, terlebih terhadap suatu teks agama yang multitafsir (Dzonniyuddilalah).
Merasa paling benar dengan prinsip yang dipilihnya terhadap suatu teks agama yang multitafsir tersebut bukanlah sikap seorang Muslim yang toleran.
Terlebih hukum tersebut para ahli tidak sampai pada konsensus, tetapi perbedaan interpretasi itu menunjukkan akan kaya dan luasnya ilmu yang Tuhan miliki, "Tidaklah kalian diberi ilmu kecuali hanya sedikit saja".
Faktor kedua adalah bullshit. Diskusi agama tanpa didasari argumen kuat yang berasal dari teks agama yang ditafsirkan ahlinya sangat berbahaya. Al-Qur'an & Al-Hadits tidak serta merta bisa dipahami oleh orang awam, apalagi hal tersebut berkaitan dengan hukum, butuh bukan hanya sekedar teks terjemah dari dua sumber hukum agama tadi, tetapi pengambilan (Istinbath) hukum butuh legalitas yang amat ketat.
Kedua belah kubu ektrem dari diskusi malam itu tidak ada yang mau mengalah, ekstrem kanan berpendapat haram sama sekali mengucapkan salam kepada non-Muslim ataupun sekedar menjawab salam mereka menggunakan lafadz Assalamu'alaikum dan Wa'alaikumussalam.
Sedangkan ekstrem kiri melegalkan hal tersebut secara mutlak dengan argumen toleransi beragama di era digital ini.
Terkadang kami mencoba menengahi mereka agar menemukan titik temu, tetapi keinginan tak mau kalah mungkin sedikit membutakan mereka atau dirasa keilmuan mereka lebih tinggi.
Pada akhirnya kami lebih memilih diam dan mengurung diri di dalam kamar, dari dalam kamar tersebut kami sempat berpikir bahwa Lisaanul Qolam Asdaq Min Lisanil Maqol (tulisan lebih mengena daripada ucapan) Wal Qolam Lisaanul Bashor (pena itu lisannya penglihatan).
Kami berpikir daripada adu otot suara lebih baik kami tuliskan hal tersebut dalam sebuah tulisan sederhana, semoga suara hati ini tersampaikan.
Dalam hal ini kita tinjau terlebih dahulu duduk permasalahan dalam diskusi tersebut. Pertama, hokum mengucapkan salam kepada non-Muslim. Kedua, menjawab salam dari non-Muslim jika mereka mengucapkan salam kepada kita.
Permasalahan pertama bahwa para ahli hukum agama berbeda pendapat tentang hukum mengucapkan salam kepada non-Muslim. Ada ulama yang melarang dan adapula yang membolehkannya. Sebagaimana di Isyaratkan oleh Ibn Al-Qoyyim dalam Zaad Al-Ma'ad:
"Para ulama salaf & kholaf berbeda pendapat dalam hukum itu, kebanyakan mereka berpendapat tidak boleh mendahului mereka (non-Muslim) dengan salam. Sedangkan sebagian ulama lainnya memperbolehkan hal tersebut sebagaimana bolehnya menjawab salam kepada mereka..." Hal serupa pula disampaikan oleh Imam An-Nawawi dalam Al-Adzkar.
Di antara para salaf yang mengucapkan salam kepada non-Muslim adalah shahabat Ibnu Mas'ud, Imam Hasan Al-Bashri, Ibrohim An-Nakho'i dan Umar bin Abdul Aziz.
Dalam Fathul Bari sendiri Imam Ibnu Hajar menuturkan bahwa Abu Umamah & Ibnu Uyainah juga melakukan hal tersebut.
Namun disyaratkan dalam satu pendapat dalam madzhab Imam Asy-Syafii melalui suatu riwayat dari Ibnu 'Abbas & Abi Umamah tidak menambahkan lafadz "Rohmatullah".
Imam Al-Auza'i berkata:
"Jika kamu mengucapkan salam (pada non-Muslim) maka orang-orang saleh terdahulu pun mengucapkan itu, dan jika kamu meninggalkan salam (pada non-Muslim) maka orang-orang saleh terdahulu juga pernah melakukan itu." Hal senada juga disampaikan oleh Ibrohim An-Nakho'i.
Sedangkan hadits yang melarang seorang Muslim untuk mengawali salam kepada non-Muslim para ahli hadits membahas kesahihannya yang tidak mungkin kami jabarkan sekarang karena pembahasannya yang lumayan panjang.
Didukung dengan konteks hadits tersebut yang perlu dikaji ulang, karena sebagaimana Al-Qur'an memiliki Asbabunnuzul hadits pula memiliki Asbabul Wurud.
Kedua, begitupun hukum menjawab salam dari non-Muslim, para ulama berbeda pendapat tentang hal tersebut. Jika non-Muslim mengucapkan Assalamu'alaikum Wr Wb, mayoritas ulama memandang wajib untuk menjawab salam tersebut karena umumnya dalil Al-Qur'an surat An-Nisaa ayat 86, sebagaimana disampaikan Ibnu Bathol, Ibnu 'Abbas, Asy-Sya'bi dan Qotadah yang tertulis dalam Fathul Bari lilimam Ibnu Hajar. Sedangkan Imam Malik dan lainnya melarang hal tersebut.
Demikian, secara ringkas kami coba telaah tentang tema diskusi malam tersebut. Semoga para pembaca tidak puas dengan jawaban ini, sehingga terus menggali dan menelaah ilmu-ilmu agama yang sangat luas ini.
Kami harap perbedaan pendapat ulama tersebut dijadikan sebagai sebuah rahmat yang dapat melatih sikap toleran kita terhadap saudara kita sesama Muslim yang berbeda pendapat.
Begitupula sikap toleran terhadap sesama umat lintas agama guna menjaga keharmonisan dan kerukunan umat beragama di manapun kita berada.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI