Mohon tunggu...
Noval Sahori
Noval Sahori Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Muhammadiyah Malang

Saya adalah sosok seseorang yang bisa dibilang sedikit berbicara, karena saya lebih banyak menganalisis dalam menjalani kehidupan, akan teta[i saya akan banyak berbicara kepada sosok seseorang yang menurut saya tepat untuk dijadikan tempat cerita, perlu diketahui dianmnya saya bukan introvert. Untuk hobi saya sangat suka sekali bermain futsal atau sepak bola karena dengan bermain keduanya membuat saya merasa bahagia dalam menjalani kehidupan, bukan futsal dan sepak bola saja, akan tetapi saya juga sangat suka menonton dan sekaligus mempelajari tentang keagamaan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Ketika Agama dan Ormas Menjadi Alat Politik: Strategi Pemenangan Pilkada 2024 di Kota/Kabupaten Probolinggo

14 Oktober 2024   12:26 Diperbarui: 14 Oktober 2024   13:01 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Politik di Kota dan Kabupaten Probolinggo menunjukkan fenomena menarik, di mana agama dan organisasi kemasyarakatan (ormas) berperan signifikan dalam menentukan arah kontestasi Pilkada. Di wilayah ini, yang mayoritas penduduknya religius dan kental dengan tradisi pesantren, agama tidak hanya menjadi landasan moral, tetapi juga senjata politik. Kandidat kepala daerah memanfaatkan sentimen keagamaan dan hubungan dengan ormas untuk memperkuat basis dukungan. Fenomena ini memunculkan pertanyaan: apakah penggunaan agama dan ormas dalam politik memperkaya demokrasi atau justru berpotensi menciptakan polarisasi sosial?

Kehadiran tokoh agama dan ormas dalam politik di Probolinggo bukanlah hal baru. Ormas seperti Nahdlatul Ulama (NU) memiliki basis massa yang besar dan berperan sebagai pusat kegiatan keagamaan dan pendidikan. Kandidat yang mendapat restu dari kiai atau tokoh pesantren kerap dianggap lebih kredibel dan memiliki legitimasi moral. Akibatnya, banyak kandidat mendekati pimpinan pesantren atau tokoh agama, bukan hanya untuk meminta doa, tetapi juga untuk mengamankan suara pemilih. Hal ini menandakan betapa agama menjadi instrumen politik yang efektif.

Namun, strategi semacam ini tidak lepas dari sisi problematis. Ketika agama digunakan sebagai alat politik, ia berisiko kehilangan kesuciannya sebagai pedoman hidup. Politisasi agama dapat memunculkan sikap eksklusif dan membuat masyarakat cenderung memilih berdasarkan afiliasi keagamaan, bukan kompetensi atau program kerja kandidat. Dalam beberapa kasus, praktik ini memicu polarisasi sosial, terutama ketika muncul kampanye berbasis politik identitas.

Selain itu, struktur ormas sering dimobilisasi secara masif untuk mendukung kandidat tertentu. Pengajian, majelis taklim, dan kegiatan sosial lainnya menjadi ruang kampanye terselubung. Kandidat yang didukung oleh jaringan ormas memiliki keuntungan lebih dalam menjangkau masyarakat, terutama di wilayah pedesaan. Kendati demikian, penggunaan struktur ormas untuk kepentingan politik dapat menimbulkan resistensi dan konflik internal di dalam organisasi itu sendiri.

Di sisi lain, keterlibatan agama dan ormas dalam politik juga memiliki dampak positif. Kehadiran tokoh agama dan ormas bisa meningkatkan partisipasi politik masyarakat. Di wilayah yang tingkat partisipasi politiknya rendah, tokoh agama mampu mendorong warga untuk aktif memilih. Selain itu, pemimpin dengan latar belakang religius cenderung memiliki kedekatan emosional dengan masyarakat, sehingga lebih mudah diterima.

Namun, problem muncul ketika bantuan sosial dan kegiatan amal digunakan untuk meraih simpati politik. Kandidat sering kali memberikan zakat atau donasi ke pesantren dan masjid untuk menciptakan citra peduli. Sayangnya, praktik ini sering bersifat sementara, hanya muncul menjelang Pilkada. Setelah terpilih, komitmen untuk membantu masyarakat sering kali terabaikan, sehingga janji-janji kampanye yang menggunakan agama hanya menjadi alat pencitraan.

Di Probolinggo, politik identitas berbasis agama juga terkadang dimanfaatkan untuk menyerang lawan politik. Misalnya, kandidat tertentu dicitrakan kurang religius atau tidak memiliki kedekatan dengan komunitas pesantren. Hal ini bisa merusak esensi demokrasi yang seharusnya berlandaskan pada gagasan, visi, dan kompetensi, bukan sekadar afiliasi identitas.

Fenomena ini menunjukkan bahwa politisasi agama dan ormas di Probolinggo memerlukan perhatian serius. Masyarakat harus didorong untuk memilih secara rasional, berdasarkan program dan kualitas kandidat, bukan sekadar sentimen keagamaan. Begitu pula, tokoh agama dan ormas perlu menjaga netralitas agar tidak terjebak dalam kepentingan politik praktis.

Kesimpulannya, penggunaan agama dan ormas sebagai alat politik di Pilkada Probolinggo merupakan pedang bermata dua. Di satu sisi, ia bisa memperkuat partisipasi politik dan mendekatkan pemimpin dengan masyarakat.

Di sisi lain, jika tidak dikelola dengan bijak, politisasi agama justru bisa memecah belah masyarakat dan mereduksi demokrasi menjadi sekadar ajang perebutan identitas. Pilkada yang sehat membutuhkan kesadaran kolektif untuk mengutamakan gagasan dan integritas, bukan sekadar permainan simbol dan afiliasi keagamaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun