Epilog
Terkadang dalam liarnya utopia pemikiran, Selalu berandai-andai bila pada suatu saat nanti dalam pergumulan dan perkembangan ranah ilmu arsitektur di Indonesia akan terus bergerak secara dialektik, Sehingga platform bersama itu menjadi sebuah konsepsi world view yang secara visioner akan terus mendedahkan sebuah eureka dalam proses pencarian panjangnya, Selalu dapat menandai era dalam setiap jejak sejarah dari tradisi arsitektur Indonesia secara utuh-menyeluruh.
Sebagai narasi pamungkas akhir dalam tulisan ini saya kembali mengutip sebuah artikel tulisan Anindita S. Thayf-2016. Sebagai sebuah media bersama dan cermin pembanding atau referensi untuk pembelajaran atas tradisi dan sikap dua orang penulis dalam bidang kesusastraan seperti yang sudah dipertontonkan oleh Albert Camus dan Jean-Paul Sartre.
Bahwa kedua tokoh tersebut sama-sama sebagai seorang filsuf dan penulis sastra. Sama-sama berkewarganegaraan Prancis. Akan tetapi, keduanya bukanlah penganut faham sastra jempol, dan tidak pula menganut budaya moralitas perkoncoan. Dimana dalam sepanjang karir mereka sebagai penulis, Tak habis-habisnya mereka berdua itu terus saling melontarkan kritikan satu sama lain. Dari saling melempar kritik oto kritik itulah masing-masing penulisnya mampu menghasilkan beragam corak karya-karya sastra yang benar-benar secara kualitatif sangat briliant. Dan jikalau sebuah penghargaan Nobel Sastra itu adalah sebuah parameter atau tolok ukur yang baku dari puncak pencapaian sebuah kualitas keberhasilan dari seorang penulis sastra, Maka mereka berdua itu telah mendapatkannya, Meskipun Jean-Paul Sartre menolak ketika dianugerahi penghargaan tersebut.
Lalu bagaimana jika sekarang ini, tradisi dari sikap Albert Camus dan Jean-Paul Sartre ini sudah menjadi barang yang sangat langka diranah arsitektur Indonesia ?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H