Mohon tunggu...
Noval AdiIryanto
Noval AdiIryanto Mohon Tunggu... Buruh - Mahasiswa

Pembelajaran tidak akan terlaksana tanpa adanya kegagalan dan kekalahan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pancasila pada Era Pra Kemerdekaan dan Pasca Kemerdekaan

11 Januari 2024   20:06 Diperbarui: 11 Januari 2024   20:06 318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

PENDAHULUAN
Pancasila, sebagai fondasi negara Indonesia, bukanlah konsep baru dalam sejarah bangsa ini, tetapi merupakan perwujudan dari nilai-nilai budaya yang telah lama ada di masyarakat Indonesia. Nilai-nilai ini kemudian diformulasikan menjadi dasar negara. Pancasila terbentuk dari nilai-nilai yang telah ada sejak lama di berbagai daerah di Nusantara, yang dipertahankan oleh masyarakatnya. Menurut teori kausalitas oleh Notonagoro (kausa materialis, kausa formalis, kausa efisien, kausa finalis), Pancasila adalah asal mula berdirinya negara. Konflik dan masalah di Indonesia menunjukkan bahwa nilai-nilai Pancasila telah terkikis dalam kehidupan sosial, kebangsaan, dan kenegaraan.

Pancasila sebagai dasar negara resmi diadopsi oleh PPKI pada 18 Agustus 1945. Namun, nilai-nilai yang terkandung di dalamnya telah ada dalam kehidupan masyarakat Indonesia sejak lama, bahkan sebelum Indonesia menjadi negara merdeka. Nilai-nilai tersebut mencakup adat, budaya, dan agama. Para pendiri negara mengambil nilai-nilai ini untuk menjadi dasar negara Indonesia. Memahami Pancasila secara menyeluruh dan hubungannya dengan identitas bangsa Indonesia memerlukan pemahaman tentang sejarah perjuangan bangsa dalam membentuk negara dan Pancasila sebagai dasar negara (Asmaroini, 2017).
 
ISI
Setelah menerima pidato Soekarno secara aklamasi, BPUPKI berhasil menyusun rancangan dasar negara Republik Indonesia. Sebelum masa jabatan kabinet BPUPKI berakhir, terbentuklah Panitia Kecil yang terdiri dari 8 orang di bawah arahan Soekarno. Tugas Panitia Kecil adalah mengumpulkan usulan dan pandangan BPUPKI untuk sidang kedua pada 10 – 17 Juli 1945. Soekarno, sebagai ketua Panitia Kecil, membentuk Panitia 9 yang terdiri dari anggota-anggota terpilih. Panitia 9 bertugas menyusun naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Dalam kongres tanggal 22 Juni 1945, Panitia 9 menyetujui isi rancangan naskah proklamasi, yang menyatakan kemerdekaan sebagai hak setiap bangsa dan menolak penjajahan. Rancangan naskah proklamasi juga menggariskan pembentukan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur, dengan mengedepankan prinsip-prinsip yang kemudian dikenal sebagai Pancasila (Aminullah, 2015).
Pancasila dirumuskan dengan lima prinsip dasar:
1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya,
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab,
3. Persatuan Indonesia,
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan,
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
PPKI, yang dibentuk pada 7 Agustus 1945 dan beranggotakan 27 orang, memiliki peran penting dalam menyempurnakan berbagai perlengkapan negara pasca-proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Salah satu keputusan penting PPKI adalah menghapus frase “dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dan menggantinya dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Keputusan ini diambil oleh Muhammad Hatta, yang bersama Soekarno dan Radjiman Wedyodiningrat memimpin PPKI. Sebelum sidang PPKI dimulai pada 18 Agustus 1945, Hatta berhasil meyakinkan pemimpin-pemimpin Islam seperti Teuku Mohammad Hasan, Kasman Singodimedjo, dan Ki Bagus Hadikusumo untuk menerima perubahan tersebut. Wachid Hasjim tidak hadir saat itu. Perubahan ini mengantarkan Pancasila ke bentuk akhirnya yang disahkan dalam sidang PPKI (Purwanta 2018).
Pasca kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, Pancasila mengalami berbagai evolusi. Awalnya, di era percobaan demokrasi, Indonesia mengadopsi sistem demokrasi multi-partai dengan lembaga parlementer. Partai-partai politik berkembang pesat, sering kali menggunakan Pancasila sebagai platform politik mereka. Ini merupakan periode keemasan Pancasila. Namun, di akhir tahun 1959, terjadi perubahan besar saat Presiden Soekarno memperkenalkan demokrasi terpimpin, yang cenderung paternalistik dan menyimpang dari prinsip-prinsip Pancasila, khususnya dalam hal permusyawaratan. Kemudian, pada 1965, terjadi upaya pemberontakan oleh Partai Komunis. Soekarno memberikan kewenangan kepada Jenderal Suharto pada 11 Maret 1965, menandai awal era Orde Baru, di mana Pancasila mulai digunakan secara rigid dan mutlak. Selama era Suharto, Pancasila menjadi nilai inti yang dipaksakan, sering kali bertentangan dengan idealisme aslinya. Namun, setelah berakhirnya pemerintahan Suharto pada 1998, Pancasila memasuki era baru demokrasi (Kasbal 2017).
Selama era Orde Lama, pemahaman tentang Pancasila berkembang sesuai dengan kondisi dunia yang penuh dengan kerusuhan dan transisi budaya dari masyarakat terjajah ke masyarakat merdeka. Era ini ditandai dengan pencarian cara pengamalan Pancasila, terutama dalam pemerintahan. Antara tahun 1945 hingga 1950, nilai persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia sangat kuat, terutama dalam melawan Belanda. Setelah Belanda diusir, tantangan internal mulai muncul. Dalam politik, prinsip musyawarah dan mufakat sulit diterapkan karena sistem pemerintahan parlementer. Presiden hanya berperan sebagai kepala negara, sementara perdana menteri sebagai kepala pemerintahan, yang menyebabkan ketidakstabilan pemerintahan (Afryand, 2018).
Meskipun Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang bersifat presidensial diadopsi sebagai dasar negara Indonesia, dalam praktiknya, sistem ini mengalami kesulitan dalam implementasinya. Kesatuan bangsa Indonesia diuji dengan upaya PKI untuk menggantikan Pancasila dengan ideologi komunis melalui insiden di Madiun pada tahun 1948, serta gerakan DI/TII yang berupaya mendirikan negara berbasis Islam.
Dari tahun 1950 hingga 1955, penerapan Pancasila cenderung mengikuti ideologi liberal, yang pada praktiknya tidak mendukung stabilitas pemerintahan. Meskipun Pancasila tetap menjadi dasar negara, praktek demokrasi yang dijalankan lebih menitikberatkan pada suara mayoritas daripada musyawarah mufakat, dengan fokus pada hak-hak individu. Periode ini ditandai dengan tantangan berat terhadap persatuan dan kesatuan bangsa, termasuk pemberontakan RMS, PRRI, dan Permesta yang ingin memisahkan diri dari NKRI (Eleanora, 2019).
Pada tahun 1956 hingga 1965, era demokrasi terpimpin berlangsung, namun kekuasaan cenderung terpusat pada Presiden Soekarno melalui 'Dekrit Presiden', bukan pada rakyat yang seharusnya merepresentasikan nilai-nilai Pancasila. Pemerintahan Soekarno menjadi otoriter, dengan kecenderungan untuk menjadi presiden seumur hidup. Politik konfrontasi yang menggabungkan nasionalis, agama, dan komunis, terbukti tidak sesuai dengan konsep Negara Indonesia. Era ini ditandai dengan dekadensi moral, upaya menggantikan Pancasila dengan ideologi lain, dan pemahaman Pancasila melalui paradigma USDEK oleh Soekarno. Namun, hal ini berujung pada rencana kudeta oleh PKI dan akhirnya lengsernya Soekarno dari jabatan presiden. Selama periode ini, Soekarno juga membubarkan Partai Masyumi, partai Islam terbesar di Indonesia, atas tuduhan terlibat dalam pemberontakan regional. Kondisi politik yang labil dan konflik antara Soekarno, militer, PKI, dan kelompok Islam membawa Indonesia ke situasi politik yang tidak stabil pada awal tahun 1960-an, berujung pada Gerakan G 30 S/PKI yang menandai runtuhnya kekuasaan Orde Lama (Utama and Dewi 2018).
Dalam sejarah Republik Indonesia, era Orde Baru merupakan periode pemerintahan yang berlangsung paling lama dan dianggap sebagai yang paling stabil. Stabilitas ini ditandai dengan minimnya gejolak yang signifikan, berbeda dengan situasi masa kini, serta ditandai dengan intensitas pembangunan di berbagai sektor. Era ini sering dirasakan dengan nuansa romantisme oleh banyak orang.
Selama Orde Baru, stabilitas dan pembangunan ini tak terpisahkan dari peran Pancasila. Pemerintah menggunakan Pancasila sebagai alat untuk memperkuat wibawa dan pengaruhnya di Indonesia. Pancasila dihormati dan diinternalisasi secara mendalam dalam masyarakat, tanpa perasaan ketidaknyamanan yang signifikan dari rakyat.
Di era Reformasi, kata 'reformasi' bermakna perubahan atau penyempurnaan. Reformasi diartikan sebagai upaya memperbaiki dan mengembalikan keadaan ke format asli sesuai dengan nilai-nilai ideal yang diharapkan oleh rakyat, serta perubahan dari paradigma lama ke paradigma baru yang lebih baik.
Dalam konteks ketatanegaraan, Pancasila menjadi kerangka berpikir atau pola pikir bangsa Indonesia, khususnya sebagai dasar negara dan landasan kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai negara hukum, setiap perilaku, baik dari masyarakat maupun pejabat, harus berdasarkan hukum yang sesuai dengan Pancasila. Ini berarti bahwa hukum yang dibentuk tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip Pancasila.
Pada Era Reformasi, tantangan yang dihadapi oleh Pancasila tidak jauh berbeda dari masa Orde Lama dan Orde Baru. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) menjadi tantangan utama yang terus berlangsung. Selain itu, globalisasi juga menimbulkan tantangan tersendiri, karena ideologi Pancasila semakin tergerus oleh liberalisme dan kapitalisme. Tantangan ini bersifat terbuka, bebas, dan nyata di era saat ini.
Di era reformasi, yang ditandai dengan runtuhnya Orde Baru dan krisis ekonomi, posisi dan peran Pancasila di Indonesia mulai tergoyahkan. Keyakinan masyarakat terhadap Pancasila menurun seiring dengan perubahan besar yang terjadi di berbagai aspek kehidupan, termasuk sosial, ekonomi, politik, dan pendidikan. Krisis tersebut menyebabkan penurunan di hampir semua bidang, dan 18 tahun setelah reformasi, Indonesia belum sepenuhnya pulih. Ekonomi negara masih belum mencapai standar yang diharapkan, dengan tingkat pengangguran yang tinggi sebagai salah satu penyebabnya. Sistem pendidikan yang sering berubah dengan pergantian Menteri Pendidikan juga memperburuk situasi, menunjukkan bahwa Indonesia masih merupakan negara berkembang (Kristiono 2017).
Implementasi ideologi Pancasila terlihat kurang efektif, terbukti dari berbagai masalah di beberapa sektor kehidupan. Dalam bidang sosial-psikologis, generasi muda menghadapi masalah seperti mabuk-mabukan dan bolos sekolah. Dari sisi sosial-budaya, generasi muda sering berpakaian yang tidak sesuai dengan umurnya. Dalam aspek sosial-ekonomi, banyak lulusan sarjana yang menganggur dan kesulitan mendapatkan pekerjaan. Sementara di ranah sosial-politik, generasi muda sering menjadi sasaran money politics dan dijadikan alat untuk memenangkan pemilihan umum (Muttaqin and Wahyun 2019).
 
PENUTUP
Perjuangan para tokoh sejarah dalam membangun fondasi negara yang kuat memerlukan pemikiran kritis. Sejarah Pancasila, dari era Pra Kemerdekaan hingga era reformasi, menunjukkan bahwa masyarakat harus berkontribusi pada negara yang telah diperjuangkan selama bertahun-tahun, salah satunya dengan menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Namun, dengan perkembangan zaman dan globalisasi, muncul berbagai tantangan baru. Globalisasi seharusnya memberikan pengaruh positif bagi Indonesia. Tantangan utama bagi kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini adalah bagaimana menggunakan kekuasaan untuk merespons fenomena globalisasi, dengan mengacu pada etika Pancasila sebagai warisan budaya. Pancasila harus dipercaya oleh semua elemen masyarakat sebagai nilai moral, agar globalisasi dapat dihadapi dengan nilai-nilai Pancasila (Brata, 2017).
 
DAFTAR PUSTAKA
Afryand, Anzhar Ishal, and Sapriya. 2018. “NTERNALISASI NILAI-NILAI PANCASILA MELALUI PUSAT STUDI PANCASILA SEBAGAI UPAYA PENGUATAN IDEOLOGI BANGSA BAGI GENERASI MUDA (Studi Kasus Di Pusat Studi Pancasila Universitas Gadjah Mada Yogyakarta).” Untirta Civic Education Journal 3(2):164
Aminullah. 2015. “Inplementasi Nilai-Nilai Pancasila Dalam Kehidupan.” Jurnal Ilmiah IKIP Mataram 3(1):620–24.
Asmaroini, Ambiro Puji. 2017. “MENJAGA EKSISTENSI PANCASILA DAN PENERAPANNYA BAGI MASYARAKAT DI ERA GLOBALISASI.” Jurnal Pancasila Dan Kewarganegaraan 1(2):51.
Brata, Ida Bagus, and Ida Bagus Nyoman Wartha. 2017. “Lahirnya Pancasila Sebagai Pemersatu Bangsa Indonesia.” Jurnal Santiaji Pendidikan 7(1):132.
Eleanora, Fransiska Novita, and Andang Sari. 2019. “Relevansi Pendidkan Pancasila Dan Potret Mahasiswa Di Perguruan Tinggi.” Jurnal Civic Hukum 4(2):124. doi: 10.22219/jch.v4i2.9950.
Kasbal, Indra Purnama. 2017. Pancasila Era Kemerdekaan.
Kristiono, Natal. 2017. “Penguatan Ideologi Pancasila Di Kalangan Mahasiswa Universitas Negeri Semarang.” Harmony 2(2):194.
Muttaqin, Zedi, and Wahyun. 2019. “Pemahaman Dan Implementasi Ideologi Pancasila Di Kalangan Generasi Muda.” CIVICUS : Pendidikan-Penelitian-Pengabdian Pendidikan Pancasila & Kewarganegaraan 7(2):34.
Purwanta, Hieronymus. 2018. “Pancasila Dalam Konteks Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia.” Jurnal Candi 18(2):133–36.
Utama, Andrew Shandy, and Sandra Dewi. 2018. “Pancasila Sebagai Ideologi Bangsa Indonesia Serta Perkembangan Ideologi Pancasila Pada Masa Orde Lama, Orde Baru, Dan Era Reformasi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun