Mohon tunggu...
NOVA EVENTINA PURBA
NOVA EVENTINA PURBA Mohon Tunggu... Akuntan - Universitas Mercubuana

Jurusan : Magister Akuntansi NIM : 55522120017 Nama Dosen : APOLLO, PROF. DR, M.SI.AK

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Diskursus Kerangka Pemikiran dan Aplikasi Audit Transfer Pricing

7 Mei 2024   21:30 Diperbarui: 7 Mei 2024   21:49 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Globalisasi mengakibatkan perkembangan perekonomian bertumbuh cukup pesat, sehingga perekonomian saat ini tidak mengenal Batasan negara, yang mana hal ini juga berdampak pada Perusahaan multinasional yang semakin berkembang sehingga banyak terjadi berbagai jenis transaksi internasional yang mana sebagian besar transaksi bisnis tersebut terjadi bagi Perusahaan yang memiliki relasi atau antar Perusahaan (intercompany) yang mempunyai hubungan Istimewa, penentuan harga dalam transaksi antar Perusahaan intercompany tersebut dikenal dengan sebutan transfer pricing/ harga transfer.(Hartika & Rahman, 2020)

Transfer pricing juga dapat dilakukan diberbagai bisnis atau lini, dengan tujuan menurunkan beban pengenaan pajak dan bea masuk barang, kemudian mengurangi risiko pengambilalihan oleh pemerintah, serta mengatur cash flow anak atau cabang Perusahaan serta Transfer pricing juga dapat digunakan untuk mengurangi kompetitif perusahaan. Perusahaan yang sering meninggunakan transfer pricing adalah Perusahaan yang bergerak dalam bidang sumber daya alam gas, minyak sawit mentah dan Perkebunan.

Secara definisi bahwa Transfer Pricing diartikan sebagai salah suatu rekayasa atau cara yang dilakukan dalam hal manipulasi harga secara sistematis dengan tujuan untuk mengurangi besarnya laba artificial, yang akan membuat seolah-olah bahwa Perusahaan mengalami kerugian, cara ini adalah sebagai strategi untuk menghindari besarnya beban pajak atau bea disuatu negara, rekayasa tersebut bisa memanfaatkan tarif pajak disuatu negara dengan memanfaatkan tarif pajak disuatu negara dengan menggeser laba tersebut ke tarif pajak yang lebih rendah.

Multinational Corporation (MNC) telah dituduh melakukan penghindaran pajak terutama di negara-negara berkembang melalui strategi seperti over-invoicing dan underpricing. Perusahaan multinasional (MNC) dengan bantuan pengetahuan perpajakan dari Tax Consultant berusaha mencari celah perundang-undangan untuk dimanfaatkan dalam menurunkan beban pajak sehingga merugikan otoritas pajak dan negara pada umumnya.

 Dengan adanya usaha Perusahaan multinasonal untuk menghindari pajak melalui transfer pricing maka perlu dilakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap kewajaran nilai transaksi, yang terjadi untuk mengetahui pajak yang seharusnya dikenakan kepada wajib pajak tersebut, sehingga untuk itulah dibutuhkan audit transfer pricing.

Tax Guru
Tax Guru

Pemeriksaan transfer pricing telah menjadi pemeriksaan perpajakan yang umum di Indonesia sejak ditemukannya administrasi perpajakan Ratusan MNE, tidak membayar pajak karena merugi terus-menerus selama beroperasi di Indonesia. Itu menjadi fakta yang signifikan terhadap perubahan peraturan perpajakan Indonesia, khususnya aturan transfer pricing.(Nugroho, 2022)

             

secara umum proses pemeriksaan pajak meliputi tiga tahapan yaitu:

  • Tahap persiapan, dimana pemeriksa pajak akan memilah risiko wajib pajak yang teridentifikasi berdasarkan penilaian pajak penghasilannya kembali. Review awal akan dilakukan terhadap laporan keuangan. Kemudian akan dilakukan penilaian lebih lanjut terkait dengan pentingnya transaksi pihak berelasi terhadap keseluruhan proses bisnis, volume transaksi yang dilakukan kepada entitas yang berelasi di yurisdiksi pajak yang lebih rendah, nilai transaksi yang terkait dengan aset tidak berwujud, jasa intra-grup, dan beban bunga. Selanjutnya akan dilakukan penilaian terhadap tarif profitabilitas Wajib Pajak yang diperiksa dibandingkan dengan badan usaha lain yang sejenis.
  • Tahap pelaksanaan, dimana pemeriksa pajak akan menerbitkan pemberitahuan pemeriksaan pajak yang menginformasikan bahwa dilakukan pemeriksaan pajak proses telah resmi dimulai. Pemeriksa pajak dapat meminta data yang lebih lengkap. Pemeriksa pajak juga akan meminta penjelasan sebelum transaksi atau dapat menggunakan pertukaran informasi (EOI) untuk mendapatkan informasi yang komprehensif atau untuk memverifikasi transaksi yang dilaporkan.
  • Tahap pelaporan, dimana pemeriksa pajak mengungkapkan kertas kerjanya dan temuannya berdasarkan peraturan. Pemeriksa pajak juga harus menyajikan temuan dan posisinya untuk menyelesaikan pemeriksaan transfer pricing.

DIRKURSUS

Audit terhadap perusahaan multinasional tidaklah sederhana, maka diperlukan refleksi yang hati-hati mengenai pemahaman yang jelas tentang bagaimana bisnis diorganisir dalam kaitannya dengan realitas komersial dan ekonomi, dari operasi bisnis seperti perolehan pendapatan, keuntungan dan apa fungsi dari bisnis tersebut, oleh karena itu, prosedur pemeriksaan pajak yang dilakukan oleh otoritas pajak bersifat sangat kompleks karena memerlukan pengetahuan mendalam tentang perusahaan dan operasi yang dilakukan.

isu audit utama adalah untuk menguji apakah fakta yang dianalisis sesuai dengan substansi transaksi asli dan secara tepat, fungsi, aset, dan risiko yang terkait dengannya. Jika otoritas pajak menyoroti ketidakpatuhan terhadap prinsip kewajaran dan kelaziman usaha, maka otoritas pajak dapat melakukan modifikasi pada harga transfer perusahaan dalam negeri, dengan hasil yang terbatas untuk tujuan perpajakan.

Otoritas pajak biasanya memilih kasus untuk pemeriksaan TP berdasarkan identifikasi dan penilaian risiko yang efektif menggunakan metode analitik data berbasis sistem dalam mendeteksi dan memilih kasus tertentu dari wajib pajak yang berisiko lebih tinggi untuk pemeriksaan TP. Umumnya, hal-hal yang mendorong dilakukannya audit TP terdiri dari tingkat kepatuhan terhadap kewajiban TP, nilai transaksi pihak berelasi, entitas yang merugi atau penutupan bisnis, perdagangan dengan entitas di negara bebas pajak, atau terus-menerus melaporkan margin keuntungan yang rendah.

Terlepas dari peningkatan audit transfer pricing yang dilakukan oleh pemeriksa pajak, masih terdapat beberapa tantangan perlu ditangani yaitu karena adanya faktor:

A. Pemahaman berbeda tentang data pembanding yang dipilih dari database eksternal. Selain berbeda Pemahaman kedua belah pihak, waktu juga terbatas untuk berdiskusi intensif mengenai pemilihan data pembanding; mengapa dan sejauh mana masing-masing pihak mempunyai dasar yang mendasari untuk memilih data pembanding sebagai alat perbandingan. 

Selain itu, database komersial internal tidak dapat digunakan sebagai solid data yang sebanding karena data tersebut dibuat tidak semata-mata untuk tujuan transfer pricing tetapi untuk tujuan lebih lanjut tujuan keuangan umum.

B. Pemeriksa pajak kewalahan dalam melakukan pemeriksaan, dan setiap pemeriksa harus melaporkan "temuan" tersebut pada waktu tertentu. Dalam situasi ini, pemeriksaan pajak terkesan bukan untuk menilai kepatuhan wajib pajak, namun untuk menemukan kepatuhan wajib pajak kesalahan wajib pajak atau sekedar untuk mencapai target penerimaan pajak. Oleh karena itu, laporan audit sesekali dibuat sembarangan. 

Di sisi lain, setiap pemeriksa pajak juga memiliki tingkat pengetahuan, pengalaman, dan pengalaman yang berbeda-beda keahlian dalam transfer pricing. Hal ini menyebabkan rendahnya kualitas hasil audit. Untuk menghadapi tantangan-tantangan ini, pelatihan dan pembelajaran berkelanjutan, berbagi pengetahuan, dan memperbarui tren harga transfer internasional permasalahan tersebut sangat diperlukan. 

Bagaimana tanggung jawab audit transfer pricing harus didistribusikan kepada setiap auditor perlu dilakukan review oleh unit masing-masing. DJP telah membentuk unit penjaminan mutu pemeriksaan, namun efektivitas dan netralitasnya Kinerja unit ini masih dipertanyakan oleh wajib pajak karena unit ini merupakan bagian internal DJP.

D. Faktanya, transfer pricing bukanlah ilmu pasti. Transfer pricing ini sifatnya sama seperti yang dimiliki oleh ilmu-ilmu non eksakta secara tidak langsung mempengaruhi bagaimana masing-masing pihak berperilaku dalam perlakuan transfer pricing untuk transaksi tertentu.

e. Tidak adanya pedoman teknis tertentu untuk pemilihan data pembanding tampaknya menjadi sumber perselisihan yang terus berlanjut.

Masalah yang terkait dengan Transfer pricing menjadi salah satu tugas yang berat bagi negara dan Ditjen Pajak dalam melakukan pengawasan. Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak kesulitan mengawasi praktik transaksi antarwajib pajak yang memiliki hubungan istimewa (transfer pricing) di Indonesia, seperti kurang berkualitasnya sumber daya manusia (SDM), dan kondisi Dimana transfer pricing sulit dilacak. Kendala utama dalam mengatasi transfer pricing, adalah masih sulitnya Indonesia mendapatkan pertukaran informasi, jikalaupun terdapat pertukaran informasi yang dilakukan dengan negara terkait, seperti Jepang, maka sering harga yang terdata bisa saja tidak akurat, dan sering kali data ini berbeda (dispute), dibandingkan dengan data transfer pricing yang didapat oleh pemerintah.

Transfer pricing dialami oleh seluruh dunia yang terhubung dalam jaringan perdagangan internasional salah satu kendala yang dialami Ditjen Pajak adalah minimnya SDM. Ditjen Pajak saat walaupun sudah memiliki karyawan yang khusus ditugaskan untuk mendeteksi transaksi transfer pricing Namun hal ini juga masih terkendala dengan jumlah SDM tidak sebanding dengan jumlah perusahaan internasional yang melakukan kegiatan bisnis di Indonesia.

Pemeriksaan yang dilakukan terkait kasus transfer pricing sangat membutuhkan proses yang begitu Panjang atau dapat menghabiskan waktu yang banyak, Dimana Ditjen Pajak harus memiliki dulu surat keputusan pemeriksaan (SKP) namun untuk mendapatkan SKP tersebut, Ditjen Pajak harus melakukan pemeriksaan harga di negara asal barang tersebut. Banyaknya perusahaan multinasional yang mengakibatkan tidak semua bisa diperiksa karena terkendala SDM dan keahlian karyawan Ditjen Pajak.

Dampak dari praktek adanya transfer pricing yaitu dapat mempengaruhi terkait perekonomian disuatu negara, yang Pertama, yaitu praktek transfer pricing yang dapat mengakibatkan turunnya jumlah penerimaan suatu negara dan bahkan hilangnya potensi penerimaan pajak suatu negara. Kedua, penurunan penerimaan pajak berimplikasi pada kebijakan pengeluaran publik/negara dalam APBN. Khusus Indonesia, praktek transfer pricing yang dilakukan perusahaan multinasional berpotensi kehilangan penerimaan pajak yang sangat besar potensi kehilangan penerimaan pajak Indonesia rata-rata sekitar Rp 68,7 triliun per tahun sebagai akibat praktek transfer pricing tersebut.

Jumlah besarnya kerugian yang diakibatkan adanya praktek penghindaran pajak di Indonesia yang menempatkan Indonesia berada diposisi keempat terbedar se-Asia setelah negara China, India, dan Jepang, hal ini disebabkan oleh wajib badan dan pribadi yang telah melakukan penghindaran pajak di Indonesia serta perusahaan multinasional yang melakukan tindakan pengalihan atas laba ke negara lain yang dinilai sebagai negara surga pajak (tax heaven).

Selama tahun anggaran 2009-2013, dewan hakim menolak lebih dari 45% audit transfer pricing dilakukan oleh otoritas pajak. Alasan penolakan tersebut adalah kurangnya penyesuaian kembali yang meyakinkan yang dilakukan oleh pemeriksa pajak dalam dokumentasi transfer pricing yang diserahkan oleh wajib pajak, kurangnya dokumen pendukung sebelumnya terhadap transaksi yang dilaporkan, kurangnya argumentasi atau bukti yang cukup terhadap koreksi yang dilakukan oleh pemeriksa pajak.

Namun trennya sedikit berbeda pada tahun anggaran 2014-2015, dimana perkaranya dibawa ke Pengadilan Pajak.sebagian besar disebabkan oleh masalah administrasi dan teknis pada saat pemeriksaan pajak. 40% kasus telah diselesaikan selama tahun anggaran 2015-2019. Sayangnya, proses penilaian yang tidak tepat memberikan kontribusi yang lebih besar proporsi kegagalan dalam mematuhi aturan teknis dan administratif. (Tambunan, 2020)

erpweblog.com
erpweblog.com

Cara menyelesaikan permasalahan transfer pricing 

Pemerintah tetap harus serius menindaklanjuti dugaan kasus transfer pricing, Ditjen Pajak dan Ditjen Bea Cukai harus berupaya menyelesaikan kasus-kasus transfer pricing yang menggunakan modus penyalahgunaan institusitotal Indonesia harus menyempurnakan peraturan tentang transfer pricing. administrasi perpajakan perlu memajukan, menerapkan, dan terus memperbarui program audit.

Saat ini salah satu cara yang ditempuh oleh pemerintah adalah dengan dibentuknya CRM berdasarkan surat edaran No.24/PJ/2019. Disebutkan bahwa CRM adalah suatu proses pengelolaan risiko kepatuhan wajib pajak secara menyeluruh yang meliputi identifikasi, pemetaan, pemodelan, dan miitgasi, atas risiko kepatuhan wajib pajak serta evaluasinya. 

Melalui seluruh serangkaian dalam proses CRM diharapkan akan tercipta sebuah kerangka kerja yang sistematis, terukur, dan objektif, dengan demikian CRM dapat didefinisikan sebagai suatu proses pengelolaan risiko kepatuhan wajib pajak yang dapat dilakukan secara sistematis oleh DJP.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun