Dalam hal ini, bahwa kekuasaan penyelenggara negara tidak dipegang oleh keseluruhan warga negara namun terdapat beberapa golongan sebagai perwujudan warga negara yang memegang kendali atas penyelenggaran negara.
 Menurut Soehino, hakekat kekuasaan negara dapat dilihat dari 3 (tiga) hal yatiu; Pertama tentang sumber kekuasan yang ada dalam negara, kedua tentang kekuasaan tertinggi atau pemegang kedaulatan dalam negara, ketiga tentang pengesahan atau bagaimana kekuasaan organisasi negara tersebut dapat diakuitentang sumber kekuasaan,Â
tentang pemegang kekuasaan, dan tentang pengesahan kekuasaan.3 Montesquieu4 dalam bukunya the spirit of laws membagi kekuasaan dalam tiga cabang yaitu kekuasaan legislative, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif.Â
Menurutnya ketiga jenis kekuasaan ini haruslah terpisah satu sama lain, baik mengenai tugas (fungsi) maupun mengenai alat perlengkapan (organ) yang menyelenggarakan.Â
Terutama adanya kebebasan badan yudikatif yang ditekankan oleh Montesquieu oleh karena disinilah letak kemerdekaan individu dan hak asasi manusia itu dijamin dan dipertaruhkan. Kekuasaan legislatif adalah kekuasaan untuk membuat undang-undang, kekuasaan eksekutif meliputi penyelenggara
 undang-undang (tetapi oleh Montesquieu diutamakan tindakan dibidang politik luar negeri), sedangkan kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan mengadili atas penyelenggara undangundang. Dalam ketatanegaraan Indonesia, pasal 20 ayat 1 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 menegaskan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (selanjutnya disebut DPR)Â
memegang kekuasaan membentuk undangundang, didampingi Presiden sebagaimana penjelasan pasal 5 ayat 2 Undangundang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjtunya disebut UUD NRI Tahun 1945) bahwa Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR,Â
Presiden juga dapat menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. Sehubungan dengan itu, dalam pasal 7 ayat 1 undang-undang nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, ketetapan majelis permusyarawatan rakyat (selanjutnya disebut TAP MPR) berada di bawah UUD NRI Tahun 1945, dan yang dimaksud dengan TAP MPR adalah ketetapan
 majelispermusyawaratan rakyat sementara dan ketetapan majelis permusyawaratan rakyat yang masihberlaku sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 dan pasal 4 TAP MPR Nomor: 1/MPR/2003 tentang peninjauan terhadap materi dan statushukum ketetapan majelis permusyawaratan rakyat sementara dan ketetapan majelispermusyawaratan rakyat tahun 1960 sampai dengan tahun 2002, tanggal 7 agustus 2003.Â
Dengan demikian eksistensi TAP MPR Sementara Nomor XXV/MPRS/1966 tahun 1966 masih berlaku dan dianggap sah menurut hukum.
Referensi :