Mohon tunggu...
M. Nova Burhanuddin
M. Nova Burhanuddin Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Saya mahasiswa yang sedang menempuh studi keislaman di Universitas Al-Azhar Mesir. Semoga Kompasiana ini dapat menjadi wadah untuk berbagi informasi dan pengetahuan yang menarik dan bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Antara Syariat dan Hakikat

26 Juni 2016   00:57 Diperbarui: 26 Juni 2016   01:10 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: M. Nova Burhanuddin  

Di bulan Ramadhan yang mulia ini, perkenankan penulis menelaah kembali ritual-ritual ibadah yang biasa kita lakukan bersama. Mari kita belajar kembali hal-hal yang sudah kita semua ketahui. Syahadat, sholat, zakat, puasa, dan haji. Rukun Islam yang semua muslim pasti dan harus ketahui dan jalani. Kita coba belajar kembali dengan lebih bermakna dan mendalam. Dengan sedikit kecermatan dalam hal ini, ternyata seringkali kita menemukan orang menyebutnya sebagai syariat, adakalanya menyebutnya hakikat. Bagaimana ini?!

Untuk mengerti persoalan “dualisme” antara syariat dan hakikat dalam Islam memang tidak gampang. Belum lagi akan dihadapkan pada kemustahilan-kemustahilan dan kontradiksi-kontradiksi yang tidak mungkin terjadi dalam wahyu yang suci ini. Sehingga tidak sedikit ulama yang menganggap keduanya adalah satu—penyebutan dualisme di atas menjadi bermasalah, karenanya. Penolakan dualisme ini berangkat dari sifat kesatuan, integralitas Islam itu sendiri yang bisa dibilang sudah setingkat ijmak. Juga didukung oleh suasana zaman Nabi saw., dan oleh banyak riwayat para Salaf Shaleh yang mengindikasikan tiada perbedaan antara keduanya. Ada juga sebagian dari kelompok ini yang keras dan mengembalikan dualisme syariat dan hakikat ini kepada ajaran Syiah yang mana mengenal dualisme zhâhir-bâthin. Tapi riwayat-riwayat lain, bahkan sebaliknya, membenarkan dualisme ini. Lalu bagaimana sebenarnya persoalan ini? Benarkah anggapan-anggapan tersebut?

Kita awali dengan penyelidikan seputar sifat kesatuan dalam Islam, bi-idznillâh.

Kesatuan dalam Islam—atau lebih tepatnya, kesatuan Islam—diturunkan dari sumbernya, yakni wahyu itu sendiri yang bersifat mutlak, absolut, satu, tunggal, esa, ma’shûm, dlsb. Wahyu yang berupa wahyu Al-Quran dan wahyu Sunnah merupakan kalam Allah swt. yang satu, mutlak, hakim,bukan mahkûm ‘alaih. Ia menasakh syariat-syariat sebelumnya, kemudian menyempurnakannya. Ia tempat rujuk semua persoalan kunci dalam aqidah dan syariah, ushulnya dan furu’nya yang mana diketahui maksud dan perinciannya oleh para ahlinya. Sumber yang bersifat satu sedemikian tentu saja mengharuskan hasilnya, yakni Islam, satu jua. Kemudian, pelbagai madzhab dan firqah yang dinisbatkan kepada Islam sebenarnya hanya merupakan perbedaan cara memahami Islam (dengan maksud dan latarbelakang yang beragam), dan hanya persoalan ketepatan atau ketergelinciran menyimpulkannya—tidak menafikan Islam yang satu.

Lalu bagaimanadengan kemenduaan syariat dan hakikat yang sering disebut banyak orang itu?

Gambaran awal di atas memberi kita kesimpulan ketiadaan dualisme syariat-hakikat. Bahwa syariat adalah hakikat itu sendiri, sementara hakikat adalah juga syariat itu sendiri. Kemudian terjadi pemisahan keduanya oleh faktor eksternal, yakni ketidakmampuan orang memahami kesatuan dalam kemenduaan dan kemenduaan dalam kesatuan tersebut. Sehingga para ahlinya kemudian menyebut sifat lahir sebagai syariat dan sifat batin sebagai hakikat. Kita sudah lihat pembedaan ini bukan asli dari struktur-dalam syariat atau hakikat itu sendiri. Langkah “berisiko” semacam  ini diberlakukan sebagai keterangan, pengingat, pembelajaran, dan sebenarnya masuk pada maqam sebagaimana diucapkan oleh Sayyidna ‘Ali kw., “حدثوا الناس بما يعرفون أتحبون أن يكذب الله ورسوله” (Berbicaralah kepada khalayak manusia dengan apa yang mereka ketahui! Apakah kalian suka Allah swt. dan Rasul-Nya saw. didustakan?). Lihat uraian lebih luas dan dalam pada Al-Futûhât al-Makkiyyahkarya Syaikh Akbar Ibn ‘Arabiy ra.

Sifat pembelajaran dan penegasan semacam itulah yang membuat tiap syariat dan hakikat punya pengertiannya masing-masing. Seolah keduanya terpisah satu sama lain, berbeda satu sama lain. Seperti yang diungkapkan Imam al-Qusyairiy ra. dalam ar-Risâlah al-Qusyairiyyah juz I: الشريعة أمر بالتزام العبودية والحقيقة مشاهدة الربوبية  (Syariat adalah perintah untuk tekun beribadah, sementara hakikat adalah menyaksikan rubûbiyyah/penguasaan ketuhanan.). Oleh karena itu, tidak salahlah juga orang yang membedakan syariat dengan hakikat, hakikat dengan syariat. Yakni jika dalam pemaknaan keterhubungan keduanya seperti di atas, bukan keterpisahan keduanya sama sekali sehingga satu sama lain bisa saling menafikan di waktu yang sama.  

Bagaimana pemisahan itu bisa terjadi? Bagaimana bisa dipadukan?

Perbedaan pengertian antara syariat dan hakikat ini kemudian berkembang begitu saja dalam wacananya masing-masing sehingga seolah berdiri sendiri-sendiri. Wacana syariat kemudian berujung pada wacana fiqih sebagaimana kita kenal sekarang. Sementara wacana hakikat berujung pada wacana tasawuf sebagaimana kita kenal sekarang. Tiap wacana punya logika dan pembenarnya sendiri. Dan seperti sudah penulis singgung, pemisahan itu lebih disebabkan faktor eksternal daripada faktor internal. Keberadaan faktor internal yang tersimpan dalam wacana syariat dan hakikat itu sendiri memberi jalan pada usaha mempertemukan kembali dua saudara yang terpisah lama tersebut, suami-istri yang sempat tertalak. Dan mempertemukan mereka kembali sebenarnya senantiasa bukan hal aneh. Itu terlihat dalam usaha para Imam Tasawuf, seperti Imam Junaid al-Baghdadi, Imam al-Ghazali, Imam Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jilani, Imam Syaikh Akbar Ibn ‘Arabi radhiyallâhu ‘anhum. Begitu juga tak bisa dinafikan terlihat pada usaha para Imam Fiqih, seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam asy-Syafi’i, Imam Ahmad bin Hanbal radhiyallâhu ‘anhum.

Syahadat, sholat, zakat, puasa, haji. Semuanya punya syarat dan rukunnya masing-masing. Semuanya dipenuhi dan dilaksanakan, seseorang dikatakan telah sah, gugur kewajibannya, menurut fiqih. Entah ia munafik ketika bersyahadat, entah tidak khusyu’ ketika sholat, merekayasa kekayaan ketika membayar zakat, melakukan perbuatan tercela ketika berpuasa, tidak menghadirkan kebesaran Allah Jalla wa ‘Alâ dalam hatinya ketika berhaji ... itu semua di luar wilayah fann fiqih. Dan wacana fiqih diperuntukan bagi khalayak umum yang biasanya mendambakan dunia mengabaikan akhirat. Boleh jadi mereka kemudian tertarik lebih mendalami, menyerap banyak makna sejati, memperbaiki dan menghayati ritual-ritual lahir ibadah yang biasa mereka lakukan seenaknya saja tersebut. Apa yang tidak bisa didapatkan sepenuhnya, tidak boleh ditinggalkan sepenuhnya. Lihat uraian lebih luas dan dalam padaIhyâ` ‘Ulûmiddîn karya Imam al-Ghazali ra.

Nah itulah saat-saat ketika syariat terpisah dari hakikat. Ritual ibadah jalan, istiqamah hati gagal. Formalitas lahiriah terpenuhi, esensi jiwa terlewati. Seandainya dibalik, maksudnya hakikat dipaksakan harus dipenuhi, bila tidak ibadah dianggap batal .. niscaya kebanyakan manusia jadi kafir karena tak mampu memenuhi.

Lubang menganga inilah yang coba diisi oleh para ahli tasawuf. Mereka mencoba melengkapi apa yang tidak bisa dipaksakan untuk dilengkapi oleh fiqih semata. Antara fiqih dan tasawuf memang harus saling bekerjasama. Tasawuf membutuhkan legalitas fiqih. Fiqih membutuhkan pendekatan batin tasawuf, sesuatu yang tidak bisa dipaksakan dalam wacana fiqih. Memang keduanya seyogyanya tak dipisah-pisahkan dalam ranah nyata yang lebih maslahat dunia-akhirat. Barangsiapa memenuhi syariat lahir mengabaikan hakikat batin, maka yang terjadi sebenarnya ia seolah-olah menjalankan syariat tapi di akhirat semuanya ditolak. Barangsiapa mendapatkan hakikat batin mengabaikan syariat, maka yang terjadi sebenarnya ia seolah-olah mendapatkan hakikat batin tapi di akhirat dianggap berada di jalur salah legalitas.

Maka usaha pemisahan ataupun pemaduan antara syariat dan hakikat harus dimengerti dimensinya masing-masing. Eksistensi-koeksistensi yang menyelimuti keduanya harus diperhatikan betul-betul. Syariat dan hakikat berasal dari wujud agung yang luhur yang merupakan manifestasi titah, asma`, sifat, dan fiil Allah ‘Azza wa Jalla. Wacana perpaduan keduanya dengan begitu dimungkinkan dan difasilitasi oleh Sang Wujud Agung. Maka bukan merupakan keanehan. Bahkan merupakan mandat dari titah Sang Wujud Agung, Allah Jalla wa ‘Alâ. Itulah puncak fitrah yang bisa dicapai eksistensi manusia. Dari sinilah faktor internal yang dimaksud di atas berasal.

Sementara wacana pemisahan keduanya lebih karena faktor eksternal berupa khalayak ramai yang berelasi dengan wujud-wujud nâqishdengan kesadaran nâqish. Wujud-wujud nâqish biasanya menegaskan eksistensinya dengan bergantung pada keterbatasan-keterbatasan lingkungannya. Setiap wujud yang bergantung pada hal yang terbatas pastilah terbatas pula. Sebaliknya, setiap wujud yang berusaha melepaskan diri dari ketergantungan pada keterbatasan-keterbatasan, akan mendapatkan anugerah dari Yang Maha Tidak Terbatas. Anugerah yang seluas-luasnya, selapang-lapangnya. Maka usaha memadukan syariat dengan hakikat, hakikat dengan syariat sebenarnya satu bentuk wujud yang komprehensif, luas, lagi berpengaruh. 

Wallâhu A’lam

Husein-Cairo, 3 Juni 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun