Nah itulah saat-saat ketika syariat terpisah dari hakikat. Ritual ibadah jalan, istiqamah hati gagal. Formalitas lahiriah terpenuhi, esensi jiwa terlewati. Seandainya dibalik, maksudnya hakikat dipaksakan harus dipenuhi, bila tidak ibadah dianggap batal .. niscaya kebanyakan manusia jadi kafir karena tak mampu memenuhi.
Lubang menganga inilah yang coba diisi oleh para ahli tasawuf. Mereka mencoba melengkapi apa yang tidak bisa dipaksakan untuk dilengkapi oleh fiqih semata. Antara fiqih dan tasawuf memang harus saling bekerjasama. Tasawuf membutuhkan legalitas fiqih. Fiqih membutuhkan pendekatan batin tasawuf, sesuatu yang tidak bisa dipaksakan dalam wacana fiqih. Memang keduanya seyogyanya tak dipisah-pisahkan dalam ranah nyata yang lebih maslahat dunia-akhirat. Barangsiapa memenuhi syariat lahir mengabaikan hakikat batin, maka yang terjadi sebenarnya ia seolah-olah menjalankan syariat tapi di akhirat semuanya ditolak. Barangsiapa mendapatkan hakikat batin mengabaikan syariat, maka yang terjadi sebenarnya ia seolah-olah mendapatkan hakikat batin tapi di akhirat dianggap berada di jalur salah legalitas.
Maka usaha pemisahan ataupun pemaduan antara syariat dan hakikat harus dimengerti dimensinya masing-masing. Eksistensi-koeksistensi yang menyelimuti keduanya harus diperhatikan betul-betul. Syariat dan hakikat berasal dari wujud agung yang luhur yang merupakan manifestasi titah, asma`, sifat, dan fiil Allah ‘Azza wa Jalla. Wacana perpaduan keduanya dengan begitu dimungkinkan dan difasilitasi oleh Sang Wujud Agung. Maka bukan merupakan keanehan. Bahkan merupakan mandat dari titah Sang Wujud Agung, Allah Jalla wa ‘Alâ. Itulah puncak fitrah yang bisa dicapai eksistensi manusia. Dari sinilah faktor internal yang dimaksud di atas berasal.
Sementara wacana pemisahan keduanya lebih karena faktor eksternal berupa khalayak ramai yang berelasi dengan wujud-wujud nâqishdengan kesadaran nâqish. Wujud-wujud nâqish biasanya menegaskan eksistensinya dengan bergantung pada keterbatasan-keterbatasan lingkungannya. Setiap wujud yang bergantung pada hal yang terbatas pastilah terbatas pula. Sebaliknya, setiap wujud yang berusaha melepaskan diri dari ketergantungan pada keterbatasan-keterbatasan, akan mendapatkan anugerah dari Yang Maha Tidak Terbatas. Anugerah yang seluas-luasnya, selapang-lapangnya. Maka usaha memadukan syariat dengan hakikat, hakikat dengan syariat sebenarnya satu bentuk wujud yang komprehensif, luas, lagi berpengaruh.Â
Wallâhu A’lam
Husein-Cairo, 3 Juni 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H