Mohon tunggu...
Muhamad Nour
Muhamad Nour Mohon Tunggu... Buruh - Love traveling

Paguntaka

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

New Normal: Kemampuan Adaptasi, Survival, dan Putus Cinta

2 Juni 2020   22:57 Diperbarui: 2 Juni 2020   23:49 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suami istri nelayan, lokasi Danau Sole Seram Timur, Maluku (dokpri)

Dari dulu umat manusia telah mampu bertahan hidup, saat mereka hidup bersama dinosorus, mengalami hujan meteor raksasa, gempa bumi dan tsunami dasyat, bencana alam seperti banjir, kebakaran hutan, wabah penyakit, perang, hingga saat ini virus corona. Semua itu bisa dilalui manusia dengan kemampuan dan keterampilan adaptasi untuk terus survive atau bertahan hidup.

Nabi Nuh pun telah menemukan cara untuk bertahan hidup dengan membuat kapal raksasa dengan hanya memuat mahluk hidup yang yakin dengan prediksinya atas datangnya banjir besar yang menenggelamkan kaum yang tidak yakin dengan dakwahnya.

Kita pasti sangat takjub dengan orang Yahudi yang selamat dari Holocaust nya Hitler. Saat Hiroshima dan Nagasaki di bom atom oleh Amerika, kemudian, mayoritas suku Tutsi yang dibantai saat peristiwa genosida di Rwanda. Mereka banyak yang selamat dan tetap hidup sampai sekarang karena kemampuan adaptasi pada situasi baru.

Bayangkan saja, saat ini, bahkan tante mu di kampung saja sekarang bisa main Facebook, itu salah satu contoh kemampuan adaptasi dengan kemajuan jaman. Perubahan perilaku kita berjalan seiring dengan berkembangnya pengetahuan dan adanya teknologi untuk mengatasi masalah. Kita mampu membuat solusi jitu secara spesifik sesuai jenis masalah.

Kayak korporasi farmasi dan peneliti medis, mereka memiliki obat untuk berbagai macam penyakit. Kini Covid-19 muncul, mereka pasti sedang mencari obat penyembuhnya.    
 
Di Indonesia, kita sudah sering menghadapi new normal dalam kehidupan peradaban kita, sebut saja pasca peletusnya gunung Kratakau dan gunung Rinjani yang konon abu vulkaniknya menutup sinar matahari pada waktu yang lama.

Kita pernah melalui masa perang kemerdekaan, konflik SARA, konflik politik, tsunami Aceh, dan terakhir perbedaan pilihan saat pilpres, semua mampu kita lalui dengan baik, meski ada riak-riak kecil.

Makanya penting saat ini, kita dengan segala kemewahan teknologi, pengetahuan, dan sumber daya, mestinya bisa mudah kita lalui situasi seperti saat ini, istilah mereka yang diatas, new normal. Kita mesti merubah perilaku untuk bisa beradaptasi dengan situasi pada tatanan kehidupan yang baru, untuk menghadapi kondisi covid-19 seperti saat ini.

Bahkan dunia kerja kini juga mensyaratkan pekerja yang memiliki kompetensi kemampuan adaptasi yang cepat dan luwes. Pemberi kerja kini tak mencari orang yang pintar, tapi orang yang tepat.

Menurut saya sih, istilah tidak penting, new normal, abnormal, toh sama saja. Mau tak mau harus kita lalui. Sering kali kita berdebat atas hal yang tak penting, masih ada rasa pilpres-pilpres nya gitu .

Kondisi saat ini, sama kayak kita pacaran, kita putus, esoknya kita harus sendirian, kita harus menjalani new normal. Lain hal, kita baru putus, terus besok nya kita liat pacar kita jalan dengan orang lain, rasanya matahari itu cuma berjarak 2 meter, terbakar api cemburu, nah itu yang bikin kita abnormal .

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun