Presiden Joko Widodo saat awal menjabat, berkunjung ke Tarakan, Kalimantan Utara, beliau mengenakan pakaian adat suku Tidung dan mengucapkan sepatah kata bahasa Tidung, "dako bais". Walau sedikit, tentu bermakna besar sekaligus membanggakan bagi etnik Tidung.
Pengikisan budaya dan tradisi asli Kalimantan Utara kian nyata terlihat. Perubahan orientasi dan nilai hidup membuat banyak orang lebih banyak berkiblat mengejar status ekonomi dan sosial. Nilai budaya dan tradisi lokal semakin meredup dan ditinggalkan. Pembangunan rumah adat hanya sekedar ada dan ditinggal begitu saja setelah selesai. Yang terjadi kemudian, budaya asli Kalimantan Utara kehilangan makna dan orang luar sulit mendapat informasi, seperti apa rupa budaya asli bumi benuanta. Serupa, pemerintah baik di propinsi maupun di kabupaten/kota seperti kehilangan sensitifitas atas pentingnya penebalan identitas budaya lokal. Seperti mandat utama empat pilar kebangsaan, penguatan budaya Indonesia, harus dimulai dari penguatan budaya daerah.
Melestarikan Budaya Dayak, Tidung dan Bulungan di Kalimantan Utara
Tidak berlebihan sebenarnya superioritas etnik menjadi simbol budaya dikampung mereka sendiri, sebagai suku asli, melestarikan kebudayaan dan adat istiadat dengan pembuatan instrumen kebijakan, seperti peraturan daerah. Tahun 2015, pemerintah DKI mengesahkan PERDA Pelestarian Kebudayaan Betawi. Beberapa tahun sebelumnya, propinsi D.I Yogjakarta dan Lampung membuat kebijakan yang sama yang berorientasi pada pelestarian budaya lokal.
Hampir semua pemangku kepentingan terlibat dalam pelestarian budaya ini. Misal di Jakarta, hotel-hotel wajib memasang symbol kebudayaan Betawi dilobi hotel, misalnya Ondel-Ondel, pakaian Betawi digunakan oleh bell boy, pegawai pemerintah. Di Bandar Lampung dan kabupaten kota di sekitarnya, kita dengan mudah menemukan simbol “Siger” didepan bangunan kantor pemerintah, took, dan pusat pembelanjaan. Ada juga lagu-lagu daerah Lampung wajib diperdengarkan di hotel, termasuk Bahasa daerah pada nama jalan. Di Yogjakarta, sering kali kita jumpai simbol-simbol khas budaya Yogjakarta, baik itu sekedar ucapan selamat datang maupun muatan lokal di lembaga pendidikan.
Simbol etnik lokal juga wajib dipasang didepan kantor pemerintah dan toko. Penggunaan baju daerah juga bisa diwajibkan bagi pegawai hotel dan pegawai pemerintah bahkan pegawai bandara. Kemudian, lagu-lagu daerah bisa dimainkan di hotel, termasuk juga makanan khas daerah bisa menjadi menu wajib bagi hotel-hotel yang ada di Kalimantan Utara.
Pembuatan PERDA pelestarian budaya lokal ini dipercaya akan merangsang tumbuhnya peluang ekonomi kreatif melalui kreasi kerajinan, souvenir, baju daerah, oleh-oleh, dan event organizer. Akhirnya simbol-simbol budaya ini akan memperkuat karakter Kalimantan Utara, dimana etnik Tidung, Dayak dan Bulungan sebagai suku asli, ditopang oleh kemajemukan budaya yang berasal dari beragam suku yang ada. Kebijakan pelestarian budaya asli Tidung, Dayak dan Bulungan ini merupakan intisari dari peribahasa “Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung”. Untuk merealisasikan kebijakan ini, pemerintah Kalimantan Utara bisa bekerja sama dengan pemangku adat, pemuda Tidung GADAMARUTI dan pemangku kepentingan lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H