Mohon tunggu...
Naurah Nazhifah Azzahra
Naurah Nazhifah Azzahra Mohon Tunggu... Jurnalis - @nouranazhif

A human who learning to be human and humanize human.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Resensi Buku Rentang Kisah Karya Gita Savitri Devi

2 Juni 2020   01:45 Diperbarui: 2 Juni 2020   02:41 501
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Judul                : Rentang Kisah

Penulis              : Gita Savitri Devi

Penerbit            : Gagas Media

Tahun Terbit     :  2018

Tempat Terbit   : Jakarta Selatan

Jumlah Halaman: 207 halaman

Kali ini, saya ingin sedikit menuliskan tentang sebuah buku yang entah kenapa sangat dekat dengan perjalanan hidup saya dan apa yang pernah saya alami. 

Rentang kisah, buku karya Gita Savitri Devi ini, sesuai judulnya, menceritakan sebagian kecil perjalanan hidup Gita pada masa-masa Quarter Life Crisis dengan beragam perasaan dan hikmah yang tertuang didalamnya.

Sebagai perempuan, ada kalanya kita mempertanyakan bagaimana harmonisnya hubungan dengan seorang Ibu bisa terjalin dan dimiliki oleh banyak teman-teman di sekitar. 

Melalui masa remaja seperti ini memang sudah menjadi rahasia umum bagi perempuan. Bertengkar karena tidak sepaham, merasa dipaksa menjalankan sesuatu yang tidak kita inginkan, sampai akhirnya kita berpikir untuk I’m enough with this person.

Begitu banyak hal yang mulai ditutupi dari Ibu. Apalagi jika menyangkut soal percintaan. Lebih baik menceritakannya pada buku harian saja, daripada kena omelan Ibu. 

Masa ini memang lucu jika diputar ulang, bagaimana kita selalu saja mengartikan setiap teguran Ibu sebagai amarah dan kerut dahi yang kecewa. Kita berpikir bahwa semua yang kita lakukan tak ada yang pernah benar dimatanya. Iya, sebab niat awal kita memperlihatkan sesuatu kepada Ibu hanyalah sebagai pembenaran dan pengakuan. Apresiasi, lebih tepatnya.

Gita, alumnus Freire Universitat Berlin ini memperkenalkan bagaimana kehidupannya dilewati dengan penuh pergulatan yang memacu emosi pembaca untuk bekerja. 

Terlambat kuliah setahun karena belum cukup umur untuk ambil kursus bahasa Jerman di Studienkolleg, ninggalin kampus dan jurusan favorit di Indo, ngga ngerti Dosen ngomong apa selama 3 semester, dikhianati oleh seseorang yang sudah lama dikasihi, sampai menjalani hubungan dekat dengan Paulus, suaminya sekarang, yang sebelumnya berbeda agama. 

Tentu ini tidak mudah untuk dilalui seorang diri di negara yang cukup individualis seperti Jerman. Hingga pada satu titik Gita mulai mengenal Islam sebagai agama yang penuh dengan toleransi melalui liqo dan memutuskan untuk berhijab.

Selain itu, kita akan diajak untuk mendefinisikan ulang kata ‘berlomba-lomba’ dalam hidup. Bagi beberapa orang disekelilingnya, hidup adalah berlomba dalam mengejar segala hal yang dapat menunjukkan sukses sesuai pandangan materialis, namun baginya, berlomba adalah bagaimana manusia dapat menikmati setiap kejutan yang Allah berikan dan bukan mengejar hal-hal materil. Menjadi sebaik-baik hamba, dan menjaga kewarasan dengan selalu mendekatkan diri pada Allah.

Seperti yang Gita sampaikan pada akhir bukunya, memang buku ini bukan ditulis untuk menggambarkan bagaimana kesuksesan seorang Gita Savitri Devi, justru buku ini adalah pengingatnya. 

Kala mungkin pada satu waktu dia salah arah atau kembali mengejar sesuatu yang tidak pantas untuk dikejar. Tentunya, pada bagian ini saya dibuat takjub, sebab baru pertama kali saya membaca tulisan yang begitu jujur. 

Gita mengedepankan realitas yang mungkin terjadi bukan hanya pada kehidupannya di depan, namun juga para pembacanya. Bahwa manusia diciptakan dengan beragam latar belakang yang menuntutnya, sadar atau tidak, melakukan hal-hal yang ada di luar nalarnya.

Over all, buku ini sangat menggugah untuk dibaca oleh kita: Manusia yang akan selalu belajar untuk menjadi manusia dan memanusiakan manusia. 

Di bagian akhir, Gita juga banyak menyinggung soal kampanye nikah muda, sedikit menyindir generasi tutorial, bagaimana kehidupan berdiaspora, menjadi introver, juga kehidupan muslim di Negara non-Muslim. Semua ini merupakan kumpulan dari tulisan yang pernah ia unggah di halaman blognya.

Sarat dengan nilai toleransi yang ditujukan untuk diri sendiri, orang tua, hingga lingkungan sekitar dalam buku ini mengajak kita untuk berdamai dengan keadaan. Jika saja penggambaran suasana pada beberapa halaman buku dapat menggunakan ilustrasi foto yang relevan, atau sedikitnya berwarna, tentu itu akan menjadikan nilai tambah bagi penerbit dan semakin menarik minat pembaca pada umunya.

“Whatever that may come, you and I just need to do well, be nice to ourselves, to people around us. Because we are given only once chance. We only live once.

The key to live a happy life is to always be grateful and don’t forget the magic word: ikhlas, ikhlas, ikhlas.” (Gita Savitri Devi)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun