Masa ini memang lucu jika diputar ulang, bagaimana kita selalu saja mengartikan setiap teguran Ibu sebagai amarah dan kerut dahi yang kecewa. Kita berpikir bahwa semua yang kita lakukan tak ada yang pernah benar dimatanya. Iya, sebab niat awal kita memperlihatkan sesuatu kepada Ibu hanyalah sebagai pembenaran dan pengakuan. Apresiasi, lebih tepatnya.
Gita, alumnus Freire Universitat Berlin ini memperkenalkan bagaimana kehidupannya dilewati dengan penuh pergulatan yang memacu emosi pembaca untuk bekerja.Â
Terlambat kuliah setahun karena belum cukup umur untuk ambil kursus bahasa Jerman di Studienkolleg, ninggalin kampus dan jurusan favorit di Indo, ngga ngerti Dosen ngomong apa selama 3 semester, dikhianati oleh seseorang yang sudah lama dikasihi, sampai menjalani hubungan dekat dengan Paulus, suaminya sekarang, yang sebelumnya berbeda agama.Â
Tentu ini tidak mudah untuk dilalui seorang diri di negara yang cukup individualis seperti Jerman. Hingga pada satu titik Gita mulai mengenal Islam sebagai agama yang penuh dengan toleransi melalui liqo dan memutuskan untuk berhijab.
Selain itu, kita akan diajak untuk mendefinisikan ulang kata ‘berlomba-lomba’ dalam hidup. Bagi beberapa orang disekelilingnya, hidup adalah berlomba dalam mengejar segala hal yang dapat menunjukkan sukses sesuai pandangan materialis, namun baginya, berlomba adalah bagaimana manusia dapat menikmati setiap kejutan yang Allah berikan dan bukan mengejar hal-hal materil. Menjadi sebaik-baik hamba, dan menjaga kewarasan dengan selalu mendekatkan diri pada Allah.
Seperti yang Gita sampaikan pada akhir bukunya, memang buku ini bukan ditulis untuk menggambarkan bagaimana kesuksesan seorang Gita Savitri Devi, justru buku ini adalah pengingatnya.Â
Kala mungkin pada satu waktu dia salah arah atau kembali mengejar sesuatu yang tidak pantas untuk dikejar. Tentunya, pada bagian ini saya dibuat takjub, sebab baru pertama kali saya membaca tulisan yang begitu jujur.Â
Gita mengedepankan realitas yang mungkin terjadi bukan hanya pada kehidupannya di depan, namun juga para pembacanya. Bahwa manusia diciptakan dengan beragam latar belakang yang menuntutnya, sadar atau tidak, melakukan hal-hal yang ada di luar nalarnya.
Over all, buku ini sangat menggugah untuk dibaca oleh kita: Manusia yang akan selalu belajar untuk menjadi manusia dan memanusiakan manusia.Â
Di bagian akhir, Gita juga banyak menyinggung soal kampanye nikah muda, sedikit menyindir generasi tutorial, bagaimana kehidupan berdiaspora, menjadi introver, juga kehidupan muslim di Negara non-Muslim. Semua ini merupakan kumpulan dari tulisan yang pernah ia unggah di halaman blognya.
Sarat dengan nilai toleransi yang ditujukan untuk diri sendiri, orang tua, hingga lingkungan sekitar dalam buku ini mengajak kita untuk berdamai dengan keadaan. Jika saja penggambaran suasana pada beberapa halaman buku dapat menggunakan ilustrasi foto yang relevan, atau sedikitnya berwarna, tentu itu akan menjadikan nilai tambah bagi penerbit dan semakin menarik minat pembaca pada umunya.