Sudah hampir setahun kita dilanda bencana, bencana kemalangan berupa virus yang katanya hasil titipan negeri tirai bambu. Virus yang juga katanya menyerang saluran pernapasan yang pada awalnya berasal dari hewan "Kelelawar", dan lebih menakutkan lagi virus ini bisa ditularkan dari manusia satu ke manusia lain dengan berbagai sebab, salah satu yang paling besar dampaknya saat bersentuhan langsung dengan pasien yang dinyatakan terjangkit virus ini, para penderitanya terbagi kedalam beberapa golongan, ODP, PDP, OTG.
Penulis merasa ketiga istilah tersebut tidak harus dijelaskan satu persatu. Karena penulis yakin bahwa pembaca sudah sangat tidak asing lagi dengan istilah-istilah diatas, karena informasi tentang virus ini sudah menjadi langganan bagi media massa entah dalam bentuk cetak maupun elektronik. Bukan hanya dipahami golongan tua tapi juga para kaum milenial, cobalah sesekali bertanya kepada anak SD bahkan anak TK sekalipun tentang apa itu Corona, mereka akan menjawab sesuai dengan apa yang mereka ketahui, virus yang telah merampas waktu belajar, bermain, dan berkumpul mereka, bahkan beberapa dari mereka menganggap virus ini sebagai penjahat yang berwujud seperti yang ditayangkan diserial-serial televisi.
Kerumunan sebagai alasan utama mengapa aktivitas manusia saat ini dibatasi, pasar ditutup, sekolah ditutup, tempat wisata ditutup, bandara ditutup, bahkan tempat-tempat ibadah pun ditutup. Itulah yang pernah atau bahkan masih terjadi hingga sekarang walaupun beberapa ditoleransi oleh protokol kesehatan, memakai masker, mecuci tangan, menjaga jarak dan sebagainya.
Pertanyaannya kemudian seberapa efektifkah? Dan sampai kapan manusia sebagai makhluk yang memang kodratnya untuk beraktifitas dibatasi? Dari pertanyaan ini kemudian timbul solusi untuk melakukan kegiatan yang tadinya dilakukan di sekolah dan di tempat kerja, sekarang boleh dilakukan diatas kasur. Namun bagaimana dengan Pak Karman seorang tukang parkir di depan salah satu toko swalayan, dan Bu Tini seorang buruh pabrik melakukan pekerjaannya? Apakah mereka harus "dikurung" di dalam rumah juga seperti mereka yang sedang Work From Home? rasanya sulit membayangkan jika seorang buruh pabrik harus bekerja tanpa menyentuh alat-alat pabrik. Mungkin berbeda ceritanya jika Bu Tini punya kekuatan supranatural seperti memindahkan barang dari satu tempat ke tempat lain, atau Pak Karman mengatur parkiran melalui sambungan telepon,
Sangat tidak mungkin mereka dipaksa menikmati keadaan seperti itu, yang ada mereka hanya menatap dinding kamar dalam keadaan lapar. Mereka harus bekerja demi menyambung hidup, bukan hanya untuk diri mereka sendiri tapi juga orang-orang yang menggatungkan hidupnya di pundak-pundak mereka. Seperti itulah kondisi dan kenyataan yang harus dihadapi bangsa kita sekarang, bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, namun pada kenyataannya justru orang-orang yang dipercaya mengelola dan mengendalikan kondisi manusia di dalamnya merampas hak-hak mereka sebagai manusia.
Lagi-lagi persoalan korupsi. Dana bantuan sosial untuk mereka yang terdampak covid-19 justru dinikmati secara pribadi, kemudian dibagi-bagi bukan kepada mereka yang seharusnya menerima bantuan ini namun justru kepada para golongan elit yang bisa dibilang sangat jauh dari kata "Terdampak covid-19" secara finansial. Sangat miris.
Penulis bukan pembenci terhadap penguasa, sebab penguasa seharusnya dihormati dan ditaati selama masih dalam koridor dan batas wajar, penulis hanya anti terhadap praktik-praktik korupsi, sebab korupsi menimbulkan kesengsaraan dan penderitaan bagi masyarakat khususnya golongan yang lemah. Penulis merasa bahwa para pembaca pun sependapat. bahwa tidak ada ruang untuk praktik-praktik korupsi di negeri ini, sebagaimana yang pernah dikatakan oleh Presiden Indonesia Joko Widodo "Kalau ada yang masih membandel, niat untuk korupsi, ada mens rea, silahkan bapak ibu 'gigit dengan keras'. Uang negara harus diselamatkan, kepercayaan rakyat harus kita jaga,".
Saat ini kita dihadapkan pada kenyataan bahwa praktik-praktik korupsi masih saja bisa terjadi, dalam kondisi pandemi sekalipun, dimana orang-orang berupaya bertahan hidup dari penularan virus covid-19 namun disamping itu mereka "para koruptor" justru sibuk memuaskan hasratnya akan harta demi tuntutan gaya hidup mewah dan bermegah-megahan.
Lagi-lagi inilah kondisi bangsa kita sekarang. Beberapa dari mereka yang dahulu pernah mengeluarkan sikap anti terhadap korupsi namun yang terjadi sekarang justru sebaliknya, seakan mereka menelan ludahnya sendiri. Mengatasnamakan kepentingan rakyat katanya, tapi pada kenyataannya hanya untuk memperkaya diri pribadi. Yang menjadi tugas kita sekarang adalah tanamkan pada diri sendiri dan kepada anak-anak kita sikap jujur dan amanah dengan harapan terhindar dari praktik-praktik korupsi walaupun penulis menyadari bahwa sikap tersebut belum sepenuhnya menjamin hilangnya hasrat untuk korupsi disebabkan berbagai macam tuntutan dan gaya hidup tapi setidaknya ada celah untuk kita bisa menutup ruang-ruang korupsi.
Â
Irham Adriansyah