Mohon tunggu...
Munawir Aziz
Munawir Aziz Mohon Tunggu... -

Kajian-kajian kenegaraan dan keagamaan

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Museum Tionghoa di Indonesia

13 November 2014   01:02 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:57 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Museum Tionghoa

Oleh: Munawir Aziz*

Pada peresmian Museum Tionghoa-Hakka Indonesia, saya berkesempatan untuk mengikuti prosesi bersejarah ini. Pada acara peresmian yang dihadiri oleh pejabat negara dan jaringan pengusaha Tionghoa di Indonesia, tampak betapa kontribusi Tionghoa dalam sejarah Indonesia. Museum Tionghoa-Hakka ini dibangun di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta. Museum ini diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), pada Sabtu (30/8/2014). Ide pembangunan ini, sejak 2012, sebagai dokumentasi historis dan jejak kontribusi orang-orang Tionghoa di negeri ini.

Arsitektur museum ini terinspirasi dari pola rumah Tulou milik Suku Hakka di Tiongkok, yang berbentuk bundar. Gedung museum ini terdapat tiga bangunan utama, yang terdiri dari 3 lantai: Museum Tionghoa Indonesia, Museum Hakka, dan Museum Yongdin Hakka Indonesia. Pada lantai 2, bagian utama museum Tionghoa, terdapat artefak dan foto dokumentatif untuk menggambarkan perjalanan orang-orang Tionghoa dari Tiongkok ke kawasan Nusantara. Peta migrasi dan aktifitas ekonomi orang-orang Tionghoa ke seluruh penjuru dunia, menjadi bagian pembuka.

Peta jalur sutra dan jalur keramik orang Tiongkok masa lampau, menjadi jembatan memori untuk menghubungkan Tiongkok dengan Nusantara. Selain itu, peta kondisi kota pecinan di seluruh kawasan Indonesia mendapat perhatian utama, dengan pelbagai nuansa dan pengaruhnya. Setidaknya, museum ini dapat menggambarkan kontribusi orang-orang Tionghoa dalam sejarah Indonesia masa kini. Pada bagian lain, Museum Hakka dan Yongdin Hakka, merujuk pada sebuah komunitas besar bernama suku Hakka yang masuk ke wilayah Nusantara, dengan segenap tradisi, kultur dan visi mereka. Dari gambaran yang ada di Museum Tionghoa-Hakka, orang Indonesia masa kini dapat belajar bagaimana ‘melihat dan memahami’ orang-orang Tionghoa di negeri ini.

Lalu, apa makna museum Tionghoa-Hakka pada 69 tahun kemerdekaan Indonesia dan 16 tahun reformasi? Dalam sejarah Nusantara, orang-orang Tionghoa menjadi bagian penting dalam setiap fase sejarah, mulai zaman Majapahit, VOC, kolonialisme Belanda dan Jepang, hingga masa kemerdekaan. Akan tetapi, pada setiap fasenya, hubungan antara orang Tionghoa dan warga pribumi negeri ini tidak sepenuhnya stabil. Ada titik-titik sejarah, di mana orang Tionghoa terdiskriminasi dengan latar belakang politik maupun kolonialisme. Kebijakan kolonial Belanda yang menggunakan orang Tionghoa sebagai alat ekonomi, menjadikan kelompok ini tidak disukai warga kecil di pedesaan. Namun, orang Tionghoa juga tidak mendapat keistemewaan di lingkup elit politik kolonial. Inilah dilema orang Tionghoa, yang kemudian mereka terfokus pada bidang ekonomi, karena ruang politik dan kebudayaan dibatasi.

Pada masa perjuangan kemerdekaan, peran orang Tionghoa tidak bisa dianggap kecil. Kiprah Siaw Giok Tjan, John Lie, Laksamana Liem Koen Hian, dan beberapa pejuang lain, menjadi kontribusi penting untuk bangsa ini. Pada masa kemerdekaan, kiprah menteri Tan Kiem Liong, Lie Kiat Teng, Oei Tjoe Tat, dan Ong Eng Die, patut dikenang untuk memajukan bangsa ini. Akan tetapi, rezim Orde Baru kembali mendiskriminasi orang Tionghoa, dengan Inpres No. 14, 1967. Meski demikian, Soeharto masih menjalin hubungan dengan Lim Swie Liong dan kelompok CSIS, Harry Tjan Silalahi, Jusuf Wanandi dan Sofjan Wanandi. Meski, kemudian diakui oleh Jusuf Wanandi bahwa Soeharto tetap memandang sebelah mata terhadap peran orang-orang Tionghoa di Indonesia.

Kemudian, 1998 menjadi fase tragis yang menimpa orang Tionghoa. Meski 1998 bukan didasari oleh sentimen rasial, namun kasus ini mengingatkan pada kekerasan-kekerasan yang terjadi sebelumnya, pada 1740 (Batavia), 1825 (Ngawi), 1912 (Solo), 1918 (Kudus), 1965, dan beberapa kasus lain. Inilah fragmen tragis yang menimpa orang-orang Tionghoa di negeri ini. Sentimen Tionghoa ini kemudian dihapus ketika Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi presiden. Melalui Keppes No. 6/2000, Gus Dur mencabut Inpres No. 14/1967, yang membawa angin segar bagi orang-orang Tionghoa di Indonesia. Dari titik politik inilah, orang-orang Tionghoa kemudian mendapat ruang untuk berkiprah di dunia politik, pendidikan dan kebudayaan, tidak hanya di bidang ekonomi semata. Pemerintahan Megawati dan SBY, kemudian juga mendukung orang-orang Tionghoa untuk semakin mengekspresikan diri di ruang publik.

Partisipasi orang-orang Tionghoa dalam sejarah Indonesia perlu dicatat sebagai pelajaran untuk toleransi bagi generasi muda, untuk saat ini dan mendatang. Kemunculan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai pemimpin di DKI Jakarta, merupakan buah dari proses panjang orang-orang Tionghoa di negeri ini. Museum Tionghoa-Hakka merekam dinamika orang-orang Tionghoa dan kontribusinya bagi negeri ini. Museum, menjadi penanda ingatan, dan jembatan sejarah, dari masa lalu, masa kini, ke masa mendatang.

*Munawir Aziz. Peneliti, sedang menulis tentang Jaringan Tionghoa-Nusantara.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun