Stunting, sebuah permasalahan yang sering diabaikan, kini telah berkembang menjadi ancaman yang mengkhawatirkan bagi generasi emas di banyak negara. Ini menunjukkan bahwa masalah tersebut telah meningkat dalam tingkat keparahannya, yang memerlukan perhatian serius dan tindakan segera. Di era di mana kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan begitu pesat, tantangan-tantangan yang menghadang potensi generasi mendatang masih tetap relevan, dan di antara mereka adalah stunting, suatu permasalahan yang sering diabaikan, tetapi berdampak yang signifikan terkait pertumbuhan dan perkembangan anak-anak.
Stunting, merupakan suatu keadaan di mana pertumbuhan tubuh dan perkembangan otak anak terhambat, disebabkan oleh kombinasi faktor gizi yang tidak mencukupi dan lingkungan yang tidak memadai untuk mendukung pertumbuhan yang optimal. Stunting terjadi pada masa pra-natal, yang dimulai sejak janin berkembang dalam kandungan hingga usia 2 tahun, yang merupakan periode kritis dalam pembentukan dan pertumbuhan fisik serta kognitif manusia. Anak-anak yang mengalami stunting ditandai dengan pertumbuhan tubuh yang terhambat, sehingga tinggi badan mereka berada di bawah rata-rata. Kondisi ini sering kali menyebabkan berbagai masalah kesehatan, seperti rentan terhadap infeksi dan penyakit, serta mengakibatkan kesusahan dalam mempelajari hal-hal baru dan mengikuti perkembangan intelektual sebaya mereka.
Data terbaru yang dirilis oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2022, lebih dari 149 juta anak di seluruh dunia, berusia di bawah lima tahun, mengalami stunting. Ini menandakan bahwa stunting tetap menjadi masalah serius dalam kesehatan anak-anak di seluruh dunia, dengan dampak yang dapat memengaruhi perkembangan fisik dan mental mereka. Meskipun terjadi penurunan angka stunting secara global, tantangan seperti ini masih menjadi masalah serius, terutama di negara-negara berkembang. Di Indonesia, sebagai contoh, data yang diinfokan oleh Kementerian Kesehatan di tahun yang sama menunjukkan bahwa prevalensi stunting masih tinggi, mencapai 27,7%. Angka ini menunjukkan bahwa stunting tetap menjadi perhatian utama dalam upaya peningkatan kesejahteraan anak-anak di negara ini.
Stunting tidak hanya memengaruhi kesehatan fisik, tetapi juga membawa konsekuensi serius dalam jangka panjang yang meliputi berbagai aspek kehidupan anak dan masa depan mereka. Anak yang mengalami stunting berisiko mengalami gangguan perkembangan kognitif, yang menghambat kemampuan belajar, pemahaman, dan penyelesaian masalah mereka. Selain itu, stunting juga terkait dengan masalah kesehatan mental seperti kecemasan, depresi, dan gangguan perilaku lainnya, yang mempengaruhi kualitas hidup mereka secara menyeluruh.
Anak-anak yang mengidap stunting juga berisiko lebih tinggi untuk mengembangkan penyakit kronis seperti diabetes dan penyakit jantung di masa dewasa, yang dapat mengurangi harapan hidup dan kualitas hidup mereka secara keseluruhan. Selain dampak kesehatan, stunting juga memiliki dampak ekonomi yang signifikan, dengan produktivitas rendah di masa dewasa yang dapat membatasi peluang ekonomi dan menyebabkan kemiskinan jangka panjang.
Terlebih lagi, stunting dapat menghambat potensi anak untuk mencapai impian dan ambisi mereka. Keterbatasan dalam perkembangan fisik dan kognitif dapat menjadi penghalang bagi mereka untuk mencapai puncak prestasi dalam pendidikan, karier, dan kehidupan secara umum.
Dengan demikian, stunting merupakan isu multidimensional yang memiliki dampak yang luas pada kehidupan anak dan masa depan mereka, bukan hanya terbatas pada masalah kesehatan fisik semata. Anak-anak stunting memiliki risiko yang lebih tinggi mengalami gangguan dalam perkembangan kognitif mereka, menghadapi tantangan dalam kesehatan mental mereka, dan menderita berbagai penyakit kronis seperti diabetes dan penyakit jantung saat mereka dewasa. Selain itu, stunting juga memiliki dampak ekonomi yang signifikan bagi suatu negara karena dapat mengurangi produktivitas dan kualitas angkatan kerja di masa depan, yang pada akhirnya dapat menghambat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan yang berkelanjutan.
Stunting disebabkan oleh faktor-faktor seperti gizi yang tidak mencukupi, kurangnya akses terhadap makanan bergizi, sanitasi yang tidak memadai, serta praktik pemberian makanan dan perawatan yang tidak sesuai oleh orang tua. Faktor lingkungan seperti kemiskinan, konflik, dan perubahan iklim juga ikut berperan dalam meningkatkan risiko stunting.
Untuk mengatasi stunting, diperlukan pendekatan komprehensif yang melibatkan sektor-sektor seperti kesehatan, pendidikan, sosial, dan ekonomi. Langkah-langkah pencegahan yang dapat diambil termasuk meningkatkan akses terhadap gizi yang berkualitas, memberikan pendidikan kesehatan kepada masyarakat, memperbaiki infrastruktur sanitasi, serta memberdayakan perempuan dalam pengambilan keputusan terkait gizi keluarga dan perawatan anak.
Tidak hanya merupakan masalah kesehatan publik, tetapi juga menjadi tantangan pembangunan yang rumit secara keseluruhan. Kerjasama antara pemerintah, masyarakat, dan organisasi internasional diperlukan untuk menangani stunting dan memberikan prospek masa depan yang lebih cerah bagi generasi mendatang.
Kesimpulan :