Tetapi soal intelektualitas nanti dulu. Penampilannya dalam acara talkshow tersebut membuktikan minimnya pengetahuan tentang perjalanan sejarah bangsanya sendiri.Â
Segala argumentasinya, sudah barang tentu bukan hanya membuat geli narasumber lain (pejabat, politisi, dan akademisi) yang rata-rata mantan aktifis mahasiswa '98, akan tetapi bisa membuat prihatin publik Indonesia yang paham sejarah.
Memang belakangan ada selentingan "pembelaan", bahwa ketidaktahuan akan sejarah itu adalah hal wajar, mengingat sang koordinator aksi adalah Mahasiswa Matematika. Lha, apakah untuk jadi seorang aktifis itu harus seorang Mahasiswa Sejarah, atau FISIPOL?
Soekarno itu masa mudanya adalah mahasiswa teknik, tepatnya Technische Hoogeschool te Bandoeng (sekarang ITB), namun wawasan sejarah, sosial, dan politiknya di atas rata-rata.Â
Budi Utomo yang tanggal pendiriannya diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional itu, dirintis dan diprakarsai oleh para pelajar STOVIA (Sekolah Pendidikan dokter pribumi). Mereka contoh tentang betapa spesifikasi jurusan, bukanlah "penjara wawasan". Jadi orang eksak tak otomatis menghentikan gairah pemburuan ilmu untuk meluaskan cakrawala berpikir.Â
Pada akhirnya sejarah membuktikan, mereka muncul sebagai kaum terpelajar dan menjadi aktifis menonjol di zamannya dalam memperjuangkan nasib rakyat dan membangkitkan bangsa dari keterpurukan. Fenomena serupa tentu juga jamak terjadi di era-era berikutnya, baik pada aktifis mahasiswa/pelajar angkatan '45, '66, maupun '98.
Pertanyaannya, mengapa hal itu--maaf---kurang terlihat pada tokoh aktifis mahasiswa di kekinian? Ketidaktahuan akan sejarah mengindikasikan tentang minimnya (untuk tidak mengatakan gagalnya) proses literasi bagi pembentukan intelektualitas generasi muda sekarang.Â
Apakah fenomena ini sebagai output dari hasil tempaan diri yang tak lagi berupa rasa dahaga akan ilmu, dengan telaah mendalam pada buku-buku dan bacaan-bacaan lain?
Selaras napas zamannya, kaum muda sekarang tentu lebih banyak mengakses produk-produk internet yang serba instan nan menghibur, seperti konten-konten youtube, tiktok, instagram, facebook, twiter, dan media sosial lain.Â
Pembentukan intelektualitas mereka sedikit banyaknya tentu juga dipengaruhi serbuan link berita atau artikel ala share-an di grup-grup WA. Rentan hoaks, dan tanpa ampun kerap "mengkorup" kebenaran dan obyektifitas. Ironisnya, informasi sejarah pun kerap tampil dalam format seperti ini.
Jika "kurangnya" aspek intelektualitas, khususnya dalam hal pemahaman sejarah, merepresentasikan kondisi mahasiswa secara umum, sungguh ini sesuatu yang patut kita resahkan. Betapa tidak? Sebab, merekalah pengambil kendali kepemimpinan bangsa kita di masa depan.Â