Mohon tunggu...
Nor Pikriadi
Nor Pikriadi Mohon Tunggu... -

Seorang pembelajar sejarah yang coba menulis sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kenapa Pahlawan Harus Ditulis*

9 November 2011   15:10 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:52 542
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Orang-Orang Kalah

Dari sekian sejarah revolusi di dunia, mungkin tak banyak kisah sukses seperti yang terjadi pada diri George Washington, Pahlawan Amerika. Pada masa pra revolusi ia seorang petani kaya dan tokoh terkemuka di Virginia. Sedangkan pada masa revolusi ia menjadi Panglima Tertinggi Pasukan Amerika. Pasca revolusi ia menjadi Presiden AS pertama dan terpilih untuk dua kali masa jabatan. Ia pensiun dan meninggal sebagai orang terhormat, dan senantiasa dikenang sebagai Founding Father bagi orang Amerika.

Sementara pada revolusi Indonesia, ribuan korban dalam Pertempuran Surabaya hanya sedikit dari banyak kasus tentang kaum revolusioner yang tak sempat menikmati hasil perjuangannya. Kalau pun hidup, banyak di antara mereka--bukan hanya dari Surabaya--yang karena lugu, tak terdidik dan tak terampil dalam memanfaatkan situasi pasca revolusi, harus masuk dalam kelompok yang termarjinalkan secara sosial. Bagi mereka seolah berlaku ungkapan: “Revolusi seringkali memakan anak kandungnya sendiri.” Sebaliknya, tak sedikit orang yang sama sekali tidak turut berjuang namun karena sebelumnya berpengalaman dalam birokrasi kolonial (sipil dan militer), justru lebih mudah mengakses kesempatan. Sejalan mentalitas bunglon khas politisi, mereka bertingkah seolah paling republiken dan paling revolusioner, meski sebetulnya mereka berasal dari “tatanan lama” (Tentu saja hal semacam ini bisa jadi bersifat kasuistik dan tidak bisa begitu saja digeneralisir).

Tetapi sejauh yang terungkap oleh fakta yang ada, fenomena tersebut bukan cerita baru dalam sejarah ibu pertiwi. Perlawanan terhadap kolonialisme Belanda yang marak pada abad ke-19 misalnya, juga sarat dengan kisah pejuang bangsa yang berguguran di medan perang, ditipu dalam perundingan, dikhianati bangsa sendiri, atau dibuang jauh dari tanah kelahiran. Pandangan jujur akan hal ini mengharuskan kita berjiwa besar untuk mengakui bahwa yang namanya pahlawan itu ternyata kebanyakan adalah “orang-orang kalah” secara realitas. Dalam arti, tidak berkesempatan menikmati hasil perjuangannya. Namun hakikat kepahlawanan memang bukan soal menikmati, melainkan tentang kerelaan berkorban--dengan nyawa sekalipun--demi memperjuangkan sesuatu yang dianggap sebagai sebuah kebenaran.

Diponegoro, Antasari, Imam Bonjol, Pattimura atau pejuang lain pada abad ke-19, boleh saja dianggap sebagai pahlawan yang gagal dalam realitas. Namun kekalahan--atau bahkan kematian--mereka tidak lantas mencegah hidupnya spirit kepahlawanan mereka pada generasi berikutnya. Kepahlawanan para pendahulu itu justru menginspirasi kaum pergerakan sejak awal abad ke-20 untuk diambil spiritnya, dipadu dan disempurnakan dengan nilai-nilai modernitas. Perjuangan yang bersifat kedaerahan mulai ditinggalkan, dan puncaknya ketika bangsa ini berada pada masa revolusi fisik 1945-1949. Saat itu, orang Sumatra, Jawa, Borneo, Sulawesi, Maluku, dan lainnya tidak lagi berperang untuk daerah, suku, atau agama masing-masing, melainkan demi entitas tunggal bernama Indonesia. Ini yang terjadi di Surabaya, 10 November 1945.

Teladan

Mungkin karena tengah mengalami krisis keteladanan, maka pahlawan masa lalu kerap dihadirkan dalam konteks kekinian sebagai “penuntun” bangsa ini untuk melangkah ke tahap sejarah berikutnya. Jadi, keteladananlah kata kunci yang tepat kenapa pahlawan dan kepahlawanan harus tetap ditulis, yaitu sebagai bagian dari upaya penghadiran tadi. Jika di dunia nyata nasib pahlawan seringkali tersisihkan, apa mereka harus tergusur pula dari dunia wacana?

Lepas dari bagaimana nilai akademisnya, karya sejarah yang bertema kepahlawanan harus tetap diberi tempat sebagai sarana bagi kita untuk selalu ingat, bahwa bangsa ini pernah memiliki generasi pemberani. Generasi yang meski dengan segala keterbatasannya, tak kekurangan nyali ketika berhadapan dengan tembok kokoh bernama kolonialisme. Siapa tahu lewat cara ini kita akan terinspirasi untuk berkeberanian dan bernyali seperti mereka ketika hendak memulihkan kondisi bangsa yang tengah babak belur karena luberan lumpur, kepungan asap, hentakan gempa, terjangan tsunami, dan terutama hantaman badai korupsi. Ibarat tembok, bencana itu bisa jadi sama kokohnya dengan kolonialisme dalam mengungkung gerak maju bangsa.

Selamat Hari Pahlawan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun