Mohon tunggu...
Norman Meoko
Norman Meoko Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis

Menulis Tiada Akhir...

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Biden, Reklamasi dan Jakarta (Katanya) Tenggelam

30 Juli 2021   13:23 Diperbarui: 30 Juli 2021   13:43 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tiba-tiba saja Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden mengusik soal rencana pemindahan Ibu Kota Jakarta. Ia menyatakan hal itu menyusul ancaman tenggelamnya Jakarta 10 tahun mendatang.

Pernyataan soal Indonesia itu disampaikan Biden saat mengunjungi Kantor Direktur Intelijen Nasional. Dikutip dari situs resmi White House, Jumat (30/7/2021), pernyataan itu disampaikan dalam sambutannya di depan para pemimpin badan intelijen di AS.

Biden mulanya berbicara mengenai ancaman terbesar yang dihadapi AS. Dia mengatakan, Departemen Pertahanan mengungkapkan bahwa perubahan iklim merupakan ancaman terbesar bagi AS.

"Kita berada dalam situasi di mana - pikirkan ini. Pikirkan tentang ini: Saya tidak akan pernah melupakan pertama kali saya terjun ke tank sebagai Wakil Presiden, setelah saya terpilih. Departemen Pertahanan mengatakan apa ancaman terbesar yang dihadapi Amerika: perubahan iklim," katanya.

Ia mengatakan, kini permukaan air laut terus meningkat. Dia mengungkapkan, ke depannya, akan banyak orang bermigrasi dan memperebutkan tanah yang subur. Biden mencontohkan Afrika Utara.

Namun kemudian Biden menyinggung Indonesia. Menurutnya, jika apa yang diproyeksikan benar maka dalam 10 tahun ke depan Indonesia harus memindahkan ibu kota karena akan tenggelam."Tapi apa yang terjadi - apa yang terjadi di Indonesia jika proyeksinya benar bahwa, dalam 10 tahun ke depan, mereka mungkin harus memindahkan ibu kotanya karena mereka akan berada di bawah air?" katanya.

Bukan Isapan Jempol Belaka

Ancaman Jakarta bakal tenggelam bukan isapan jempol belaka. Instusi air laut kabarnya sudah mencapai Kawasan Tugu Monas Jakarta Pusat. Sebagian permukaan wilayah di Jakarta Utara sudah turun. Maka kemudian lahirnya rencana reklamasi pantai utara sebagai upaya untuk menambah wilayah sekaligus mengantisipasi kemungkinan tenggelam.

Benarkah itu?

Menengok kembali belakang jujur saja wacana reklamasi pantura Jakarta bukan barang baru. Reklamasi pantura Jakarta merupakan proyek lama yang digagas saat Jakarta dipegang Gubernur Surjadi Soedirdja (1992-1997). Rencana itu bahkan dipaparkan Bang Sur, sapaan akrab Surjadi Soedirdja kepada Presiden Soeharto di Bina Graha pada 28 Februari 1995.

Surjadi Soedirdja menyebutkan, reklamasi pantai utara Jakarta seluas 2.700 hektar. Proyek itu diperkirakan menelan biaya antara Rp 100 miliar hingga Rp 200 miliar untuk lima tahun pertama. Jika reklamasi sepanjang 32 kilometer dengan lebar 1,5 kilometer itu selesai maka wajah Jakarta dari sebelah utara berubah total. Pantai Ancol akan berada di tengah daratan.

Masih menurut Bang Sur di hadapan Presiden Soeharto, di atas urukan tanah yang dahulunya laut itu akan didirikan pusat bisnis 400 hektar (di antaranya sekitar 80 hektar untuk pusat bisnis modern), selebihnya untuk perumahan.

Untuk membuat lahan olahan seluas 2.700 hektar diperlukan tanah sekitar 200 juta meter kubik untuk menguruk laut, teluk dan sungai. Untuk tanah urukan akan diambil pasir dari laut, lumpur dari 13 sungai di Jakarta. Jadi akan diadakan pendalaman pelabuhan dan sungai-sungai yang perlu dibersihkan. Biayanya tidak membebani APBN maupun APBD.

Untuk mematangkan proyek itu, sejumlah anggota DPRD DKI Jakarta bahkan telah mengadakan studi banding ke beberapa kota pantai di kawasan Asia Tenggara. DPRD DKI Jakarta yang ketika itu diketuai MH Ritonga mantan Kapolda Metro Jaya. Dia  pun mengeluarkan Keputusan DPRD Jakarta Nomor 30 Tahun 1994 tentang Pokok-pokok Pikiran DPRD DKI Jakarta mengenai Pembangunan Kota Pantai Utara Jakarta.

Krisis ekonomi 1997 yang melanda negeri ini mengakibatkan mega proyek itu pun sirna ditelan bumi. Baru ketika Fauzi Bowo menjabat gubernur DKI Jakarta, proyek reklamasi dihidupkan kembali. Pemprov DKI Jakarta menggelar seminar khusus bertopik "Awal Kajian Lingkungan Hidup Strategis Pantura Jakarta" di Balai Kota Jakarta pada 14 April 2009. Kepala Dinas Tata Ruang DKI Jakarta ketika itu, Wiryatmoko memberi kata pengantar membuka seminar khusus itu.

Didahului Pengembang Swasta

Sayangnya, dalam pembangunan, Pemprov DKI Jakarta selalu kalah cepat dengan pihak pengembang swasta. Proyek reklamasi belum bergulir tetapi nyatanya pengembang telah melakukan reklamasin dan membangun perumahan mewah.

Contoh saja ketika Ciputra membangun Pantai Indah Kapuk di Kapuk Jakarta Utara. Yang terjadi akses jalan tol ke Bandara Soekarno-Hatta tergenang air sehingga banjir. Lalu saat PT Mandara Permai membangun perumahan elite Pantai Mutiara di Muara Karang, PLTU Muara Karang pun terganggu. Padahal, pasokan listrik untuk Jakarta dan sekitarnya termasuk kawasan Istana Negara berasal dari PLTU Muara Karang, Jakarta Utara.

Karena itu tidak salah ketika Gubernur DKI Jakarta Wiyogo Atmodarminto (1987-1992) dalam bukunya "Catatan Seorang Gubernur" menyebutkan, dalam masalah pertanahan (sebagai salah satu contoh), Pemda mempunyai bargaining position yang lemah jika berhadapan dengan pihak swasta.

Dalam kasus reklamasi pantai utara Jakarta yang muncul belakangan ini tampak sekali bagaimana Pemprov DKI Jakarta sama sekali tidak berdaya di hadapan pengembang. Pengembang dengan leluasa "menguasai" semua proyek reklamasi dengan membangun 17 pulai di lahan hasil reklamasi. Bahkan, rumah toko (ruko) yang terbukti dibangun di lahan reklamasi dan tidak memiliki surat izin mendirikan bangunan (IMB), Pemprov DKI Jakarta pun tak punya nyali untuk membongkarnya. Kondisi yang berbeda dengan pembongkaran Kampung Luar Batang.

Namun lepas dari itu, reklamasi pantura Jakarta membuktikan lemahnya akses publik terhadap setiap perencanaan tata ruang di Ibu Kota. Nelayan yang menjadi penghuni pantai pun tidak memiliki akses untuk mengetahui setiap jengkal pembangunan di atas lahan hasil reklamasi bahkan termasuk soal reklamasi tersebut. Sebagai catatan saja sedikitnya 10 ribu nelayan di Jakarta yang bakal tergusur akibat reklamasi pantai utara Jakarta itu. Sedikitnya 2.500 perahu pelbagai jenis pun lenyap.  Padahal ikan hasil nelayan setiap hari dilelang di dua tempat pelelangah ikan di Pelabuhan Muara Baru dan Muara Angke.

Menghidupkan kembali kejayaan masa lalu Jayakarta (nama lama Jakarta di masa Batavia) dengan menjadikan Jakarta sebagai kota pantai atau apapun namanya itu. Presiden Joko Widodo menggunakan nama Proyek Tanggul Garuda Raksasa dengan melanjutkan proyek reklamasi pantura Jakarta. Ya silakan saja.

Namun, perlu diingat soal dampak lingkungan termasuk di dalamnya aspek keamanan di pantura Jakarta. Jujur saja, ketika aspek bisnis dengan melibatkan pihak swasta masuk dalam proyek pengembangan, sebenarnya yang terjadi kemudian adalah petaka bagi warga di sekitar pantura Jakarta. Banyak contoh di depan mata untuk mengaminkan hal itu.

Kini reklamasi telah terwujud. Faktanya, banyak pelanggaran yang terjadi di sana. Bahkan, kasusnya sampai ranah hukum segala. Rencana yang digagas telah berubah sehingga menambah runyam pengembangan reklamasi di utara Jakarta tersebut. Sampai kapan selesai. Belum ada yang tahu!

Mengakhiri tulisan ini sebaiknya kita merenung kalimat yang ditulis Jane Jacobs, penulis buku klasik "The Life and Death of Great American Cities". Ia menulis begini: Kota adalah manusia-manusianya. Kota memiliki kemampuan memberikan sesuatu kepada warganya, hanya kalau, dan hanya ketika ia diciptakan untuk semua orang.

Apa yang dituliskan Jane Jacobs itu patut menjadi renungan. Apakah reklamasi benar-benar untuk mengantisipasi kemungkinan Jakarta tenggelam atau hanya untuk menambah wilayah dengan konsep water front city sehingga kemudian Pemerintah Pusat menggagas untuk mencari Ibu Kota baru di Kawasan Kabupaten Penajam Paser Utara Kalimantan Timur dengan alasan Jakarta sudah sumpek dan macet pula. Ditambah lagi persaoalan tingkat pencemaran udara.

Perhitungan matang dan detail menjadi hal yang tidak bisa diabaikan begitu saja agaknya. Pilihannya: reklamasi, Ibu Kota dipindah atau sama sekali tak bergerak alias diam di tempat menunggu Jakarta tenggelam!(*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun