Namun, perlu diingat soal dampak lingkungan termasuk di dalamnya aspek keamanan di pantura Jakarta. Jujur saja, ketika aspek bisnis dengan melibatkan pihak swasta masuk dalam proyek pengembangan, sebenarnya yang terjadi kemudian adalah petaka bagi warga di sekitar pantura Jakarta. Banyak contoh di depan mata untuk mengaminkan hal itu.
Kini reklamasi telah terwujud. Faktanya, banyak pelanggaran yang terjadi di sana. Bahkan, kasusnya sampai ranah hukum segala. Rencana yang digagas telah berubah sehingga menambah runyam pengembangan reklamasi di utara Jakarta tersebut. Sampai kapan selesai. Belum ada yang tahu!
Mengakhiri tulisan ini sebaiknya kita merenung kalimat yang ditulis Jane Jacobs, penulis buku klasik "The Life and Death of Great American Cities". Ia menulis begini: Kota adalah manusia-manusianya. Kota memiliki kemampuan memberikan sesuatu kepada warganya, hanya kalau, dan hanya ketika ia diciptakan untuk semua orang.
Apa yang dituliskan Jane Jacobs itu patut menjadi renungan. Apakah reklamasi benar-benar untuk mengantisipasi kemungkinan Jakarta tenggelam atau hanya untuk menambah wilayah dengan konsep water front city sehingga kemudian Pemerintah Pusat menggagas untuk mencari Ibu Kota baru di Kawasan Kabupaten Penajam Paser Utara Kalimantan Timur dengan alasan Jakarta sudah sumpek dan macet pula. Ditambah lagi persaoalan tingkat pencemaran udara.
Perhitungan matang dan detail menjadi hal yang tidak bisa diabaikan begitu saja agaknya. Pilihannya: reklamasi, Ibu Kota dipindah atau sama sekali tak bergerak alias diam di tempat menunggu Jakarta tenggelam!(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H