Mohon tunggu...
Norman Meoko
Norman Meoko Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis

Menulis Tiada Akhir...

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Di Mana Independensi Media?

28 Juli 2021   10:53 Diperbarui: 28 Juli 2021   11:20 408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang teman lama - mantan jurnalis - suatu kali berkirim WhatsApp dengan saya. Entah mengapa tiba-tiba saja dia mengeluarkan uneg-unegnya. Begini katanya: media massa sekarang parah. Sudah tidak netral lagi."Di mana independensi media," dia menggugat.

Saya agak kaget juga. Tumben lama tidak bersua. Tiba-tiba sohib lama yang pernah bareng liputan di Papua mempertanyakan independensi media. Gugatan serupa juga sering saya terima ketika mengajar di kampus. Di masa pandemi Covi-19, mengajar memanfaatkan daring. Ya google meet atau google class room. Setiap di penghujung kelas, selalu saja ada pertanyaan mirip-mirip teman saya itu.

Saya jadi teringat ketika TvOne telat menayangkan kasus menimpa Nia Ramadhani dan suaminya Ardi Bakrie beberapa waktu lalu. Nitizen gemas karena stasiun televisi yang satu tidak menayangkan "taruna" yang (istilah kejadian atau peristiwa di kalangan serse di lapangan). Bagi media lain kejadian itu mempunyai nilai berita yang tinggi. Ada publik figur yang tersangkut dalam kasus narkoba itu. Ya nama besar!

Bagi saya apa yang dilakukan TvOne yang akhirnya telat sah-sah saja. Dalam konteks ilmu komunikasi bukan sesuatu yang dianggap salah. Sebab bagaimana  media massa (seperti halnya TvOne) mempunyai sikap terhadap isu apapun yang berseliweran di jaga raya ini. Inilah yang disebut sebagai framing.

Eriyanto dalam Analisis Framing Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media menyebutkan, analisis framing merupakan salah satu alternatif model analisis yang dapat mengungkap rahasia di balik semua perbedaan (bahkan pertentangan) media dalam mengungkap fakta. Analisis framing dipakai untuk mengetahui bagaimana realita dibingkai oleh media.

Melalui analisis framing akan dapat diketahui siapa yang mengendalikamengendalikan siapa, siapa lawan siapa, mana kawan mana lawan, mana patron dan mana klien, siapa diuntungkan dan siapa yang dirugikan, siapa menindas dan seterusnya.

Dalam konteks berita Nia Ramadhani dan Ardi Bakrie maka sah-sah saja jika TvOne memilih untuk tidak langsung menayangkan kejadian tersebut. Karena memang itulah framing TvOne dalam kasus narkoba yang melibatkan Nia Ramadhani dan Ardi Bakrie.

Bagi stasiun televisi swasta yang satu ini: berita penangkapan itu jelas tak sesuai dengan konstruksi, ideologi dan politik medianya. Tidak mungkin memberikan sesuatu yang berkaitan dengan sang pemilik modal tentunya. Semua orang pun tahu!

Apalagi sekarang kondisi sudah berubah. Sekarang ini adalah era banjir informasi. Pembaca kini tidak lagi menjadi patung yang dijejali dengan pelbagai informasi tetapi pembaca kini bahkan sudah menjadi pemred, redpel, editor bahkan reporter dalam melahirkan berita demi berita melalui media sosial yang dimilikinya: bisa melalui twitter, facebook atau Instagram. 

Modalnya cuma melihat (bisa juga mendengar) lalu dengan jari-jari ini melaporkan apa yang dilihat bahkan dialaminya atau kata orang dan kemudian dalam hitungan detik atau menit muncul di media sosial. Dalam banyak hal media arus utama keteteran dengan serangan bertubi-tubi media sosial.

Saya punya pengalaman ketika masih bekerja sebagai jurnalis di Harian Angkatan Bersenjata. Ketika itu ada rekan saya (saya tidak sebut namanya karena yang bersangkutan telah lama berpulang) terpaksa harus "menginap" di Mabes ABRI Cilangkap hanya karena mengangkat berita yang dianggap keliru terkait Panglima ABRI Jenderal Faisal Tanjung dalam sebuah kunjungan ke Pondok Pesantren Gontor Jawa Timur.

Rekan saya itu ternyata memuat hasil door setop dengan Panglima ABRI Jenderal Faisal Tanjung dan itu yang dijadikan lead beritanya. Sementara sambutan sang panglima ditaruh deretan kalimat terakhir dalam berita yang dibuatnya itu. Sontak saja itu dianggap keliru. Garis kebijakan redaksional Harian Angkatan Bersenjata sudah jelas bahwa sambutan sang panglima ABRI harus menjadi lead berita. Lead tidak boleh dari hasil wawancara door setop. Titik!

Teman saya akhirnya "menginap" di Mabes ABRI Cilangkap setelah dia mengikuti jumpa pers di sana. Dengan alasan pimpinan akan "ngobrol", sahabat saya harus tidur di sana semalam. Beruntung esok harinya Pemimpin Redaksi Nasrudin Hars yang dikabari soal rekan saya itu datang menjemputnya.          

Bagi saya sikap koran tempat saya bekerja itu adalah framing. Masa bodoh dengan isu atau topik terhangat sekalipun di luar jagat informasi. Jika tidak sesuai dengan ideologi media yang bersangkutan: jangan harap beritanya turun! Hanya akan menjadi robek kertas yang akhirnya masuk di tong sampah. Waktu itu menulis berita masih menggunakan mesin tik, bukan komputer atau laptop apalagi handphone seperti zaman sekarang. Intinya nilai berita bukan kata orang tetapi apa yang menjadi garis kebijakan redaksional media.

Ketika Pilpres beberapa tahun lalu banyak media massa (media arus utama) yang secara terbuka mendukung salah satu pasang calon. Bahkan, ada sebuah koran berbahasa Inggris yang terbit di Jakarta secara terang-terangan mendukung jagonya dalam sebuah tajuk rencana. Ini sah dan sangat sah. Karena mengutip pernyataan teman saya: seorang jurnalis senior di negeri ini. Katanya, media massa harus bersikap dan sikap itu tidak salah diwujudkan dengan framing pemberitaannya. Sedikit malu-malu teman saya itu lalu menyinggung soal dapur ngebul di rumahnya; termasuk istri dan anak-anaknya yang masih butuh dana untuk sekolah. Pahamlah!

Namun mungkin ada baiknya direnungkan dan diingat bahwa kewajiban utama media adalah menjunjung tinggi kebenaran serta mengangkat aspirasi pihak yang lemah dan tak mampu bersuara sendiri termasuk mengatakan merah itu merah atau putih itu putih tanpa rantai kekangan apapun. Pers dan media massa harus menjadi watch-dog yang senantiasa menyalak bila penguasa menyelewengkan kekuasaan. Persoalannya: bagaimana idealisme fungsi tersebut diwujudkan secara nyata!

Bill Kovach dan Tom Resenstiel dalam Blur: How to Know What's True in the Age of Information Overload mengatakan, ketika berita datang dari beragam sumber dengan aneka gaya dan bentuk baik dari wartawan maupun non-wartawan (baca: media sosial), kita butuh sesuatu yang lebih. Kita perlu mengetahui mengapa layak mempercayai sumber-sumber yang menawarkan atau mengomentari fakta. Kita pun harus menyudahi cara pandang lama bahwa melalui berita menyatakan: "percayalah kepada saya" dan menggantinya dengan cara pandang baru di mana khayalak menyatakan kepada media "tunjukkanlah kepada saya" atau "buktikanlah kepada saya".

Dalam konteks ini agaknya sepatutnya media massa mengabarkan secara utuh dan bermain cantik di antara framing dan ideologi media. Menyatakan sikap itu boleh tetapi berkata jujur dengan fakta yang sesungguhnya jauh lebih berharga. Setidaknya menghilangnya prasangka buruk dengan kebenaran yang sesungguhnya terjadi karena bagaimana juga tugas media massa adalah melayani pembacanya.  Pelajaran berharga bagi media massa di era banjir informasi.(*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun