Mohon tunggu...
Norman Meoko
Norman Meoko Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis

Menulis Tiada Akhir...

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Pertarungan Terakhir Media Arus Utama

27 Juli 2021   08:43 Diperbarui: 27 Juli 2021   09:00 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Akankah media arus utama terutama cetak tinggal kenangan atau masih eksis di tengah membanjirnya informasi apalagi dengan kehadiran media sosial yang makin menggila.

Sahabat saya Paulus C Nitbani jurnalis senior menyebutkan, media arus utama akan tinggal kenangan jika tidak menyiapkan siasat jitu menghadapi persaingan ekstra ketat dengan media sosial.

Dia menyebutkan sejumlah kiat agar media arus utama terutama cetak bisa tetap bertahan. Antara lain disebutkan, perubahan penyajian misalnya dengan memperbanyak indepth reporting atau investigasi reporting, re-focusing terkait topik atau tema peliputan.

Pendapat berbeda datang dari fotografer senior Bang Gino Hadi. Katanya, media arus utama game of death. Karena digilas media sosial yang note bene dikelola para pensiun jurnalis dan publik figur hebat.

Pertanyaannya kini: apakah media arus utama terutama cetak benar-benar sayonara atau masih bertahan? Pertanyaan klasik yang agaknya masih pantas diajukan kembali untuk saat ini.

Kehadiran media baru (new media) menyebabkan perubahan dalam bidang yaitu perubahan dari modernity ke postmodernity, meningkatan aktivitas proses globalisasi, di mana adanya pergantian pemikiran di dunia barat, dari era industri manufaktur oleh posindustrial ke era digitalisasi komputer oleh kaum kapitalis.

Semua dilakukan untuk memberikan pembaharuan terhadap gaya hidup yang diinginkan oleh masyarakat modern saat ini.

Efek dari media baru ini menyebabkan pertumbuhan media di Indonesia berkembang pesat. Dalam beberapa tahun belakangan ini terjadi lonjakan pemanfaatan media internet. Hal ini terjadi internet sudah meluas. Mulai terjangkau ke wilayah terpencil dan biayanya murah. Pada tahun 2011 jumlah pengguna internet di Indonesia telah mencapai 55,23 juta, meningkat dari 42,16 juta di tahun 2010. Itu artinya, seperempat penduduk Indonesia sudah mengenal internet.

Berdasarkan hasil riset dari Tetra Pak Index 2017, Indonesia merupakan rumah bagi lebih dari 132 juta pengguna internet yang 40 persen di antaranya pengguna aktif media sosial. Jika dibandingkan dengan tahun 2016, pertumbuhan pengguna internet di Indonesia mencapai 51 persen atau sekitar 45 juta pengguna, diikuti dengan pertumbuhan sebesar 34 persen pengguna aktif media sosial. Konsumen yang mengakses media sosial melalui smartphone juga meningkat sebesar 39 persen.

Data Kementerian Komunikasi dan Informatika per 10 Juli 2017, total ada 34,4 juta follower/subscriber akun media sosial pemerintah. Dengan rincian Twitter: 29,1 juta follower, Facebook 4,5 juta subsriber dan Instagram 727,081 follower. Angka ini jauh di atas data tahun 2016 sebanyak 19,7 juta follower/subscriber. Mungkin data terbaru sudah berubah dan bukan tidak mungkin angkanya jauh melesat.

Melihat kondisi di atas tersebut maka tidak salah jika media arus utama harus berbenah diri. Media arus utama tidak bisa lagi hanya mengandalkan satu saluran komunikasi saja. 

Para pengelola media harus juga berbaur menjadi sebuah newsroom di mana sekat-sekat keredaksian menjadi cair. Dalam konteks ini tepat istilah konvergensi media. Penggabungan media-media yang ada dan diarahkan kedalam satu titik tujuan.

Tidak ada lagi istilah saya jurnalis cetak atau jurnalis online. Semua berita dilihat dari waktu penyampaian ke publik. Jika berita itu bersifat breaking news maka dapat disalurkan melalui siber media. Jika perlu pendalaman lebih jauh maka dapat dikembangkan sebagai sebuah peliputan mendalam atau investigasi reporting jika berita itu terkesan ada upaya ditutup-tutupi pihak-pihak tertentu atau oleh penguasa. Dan publik harus tahu soal itu.

Persoalnya apakah media arus utama cukup pada pembenahan hal itu. Jawabannya tidak! Karena media arus utama harus kembali kepada sosok media yang sesungguhnya. 

Tidak saja hanya menyampaikan berita secara kasat mata seperti halnya siber media yang selalu mengagungkan kecepatan informasi tetapi kerap mengabaikan akurasi fakta. 

Di sini sebenarnya kiat yang bisa dilakukan media arus utama yakni menjadi berita yang benar-benar berita; lengkap; mendalam dan menyodorkan solusi dengan tetap mengedepankan verifikasi fakta demi fakta dan membuang jauh-jauh menjadi alat propaganda pihak-pihak tertentu. Media harus berpihak kepada khalayak. Itu sudah harga mati!

Pemilihan topik atau tema liputan juga menjadi hal lain yang patut menjadi pertimbangan. Keterpaduan tema liputan dalam konteks konvergensi media menjadi sesuatu yang mutlak; tak bisa ditawar-tawar lagi agaknya. Dalam konteks ini lagi-lagi kepentingan publik menjadi acuan dasar. Dengan demikian media tetap tidak akan rapuh dari mitos bahwa pers adalah "pilar ke-4" dalam demokrasi.

Goenawan Mohamad dalam kolomnya "Media dan Interpretasi" menuliskan begini: "Suatu media yang mendistribusikan informasi tak bisa berasumsi bahwa ia bagaikan sang pemanah ulung yang seringkali, malah selalu, mengenai apa yang dibidiknya. Dengan bahasa,  media punya dinamika lain. Informasi tersebar mirip benih atau virus: tak selamanya bisa diketahui di mana ia jatuh, di mana ia tumbuh - dan apakah benar tumbuh."

Semoga bukan pertarungan terakhir media arus utama.(*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun