"Piye kabare mas, " sapa Rizki dengan senyuman khasnya.
Selain sajian makanan sederhana dengan rasa pas di lidah, sikap ramah Rizki menjadi daya tarik mengapa warteg ini banyak dikunjungi orang.
Ia bercerita sebelum pandemi Covid-19, warteg Siliwangi ramai dibanjiri pelahap makanan. Banyak siswa SMA Mardi Yuana yang mampir dan santap siang. Belum lagi para pengantar anak sekolah. Sopir angkot pun kerap mengisi amunisi di warteg Siliwangi.
Namun pandemi Covid-19 mengubah keadaan. Pengunjung melorot hingga 50 persen. Alhasil pendapat pun turun.
"Pernah dapat Rp6 juta per hari sebelum pandemi. Tapi kini melorot separuhnya Mas. Itu pendapatan kotor ya, " ungkap Rizki.
Bertahan! Adalah salah satu kiat untuk menjalankan bisnis warteg ini. Ibarat perang di medan laga ketika musuh memborbardir peluru maka salah satu cara menghadapi kondisi itu adalah tiarap dan bertahan!
Waktu berlalu hampir dua tahun. Pandemi Covid-19 belum reda juga. Namun, kata Rizki kini warteg Siliwangi mulai bergeliat. Perlahan tetapi pasti pelanggan mulai berdatangan. Bangku-bangku yang dulu kosong mulai terisi. Dia dan teman-temannya mulai tersenyum lebar.
"Sekarang sudah lumayan Mas. Walau belum memperoleh pendapatan seperti sebelum pandemi namun kini mulai membaik. Semoga saja benar-benar pulih, " tuturnya.
Rizki bersyukur di tengah pandemi banyak warteg yang gulung tikar. "Kawan saya di Jakarta pada balik ke Tegal Mas karena wartegnya tutup. Saya bersyukur warteg Siliwangi masih tetap buka mulai pukul 8 pagi hingga pukul 9 malam, " ia menambahkan.
Warteg Siliwangi adalah sosok warung makanan yang tetap bertahan dalam kondisi sekarang ini yang belum benar-benar pulih. Rizki dan teman-temannya tetap yakin selalu ada pelangi selepas badai. Selalu ada harapan di tengah serumitnya hidup ini.
Soal aturan 20 menit dan hanya boleh diisi tiga orang yang makan di warteg, Rizki cuma bisa tersenyum. Katanya, semua berpulang kepada pelanggan saja."Kan kita nggak mungkin ngusir. Masa lagi makan lantas kita usir sih. Nggak mungkinlah!" ujarnya.