Aristides Katoppo sudah tenang di sorga. Tokoh pers yang dikenal gigih berseberangan dengan rezim Orde Baru itu berpulang 29 September 2019 lalu dalam usia 81 tahun. Â Tokoh yang tetap menerapkan prinsip "sersan" -- serius tapi santai dalam bekerja. Irama hidupnya memang berubah-ubah antara serius dan santai.
Bahkan, Â ketika ia masih aktif terlibat pengelolaan koran sore Sinar Harapan, bak seperti jenderal, ia terus menerus memberi komando kepada stafnya. Sambil hilir-mudik, dengan tangan dimasukkan ke saku celana, ia terus mengontrol seluruh pekerjaan yang dilakukan anak buahnya.
Pria Kelahiran Tomohon, Minahasa, Sulawesi Utara, 14 Maret 1938 itu memang tetap energik. Tides memang tidak pernah berubah. Gaya pakaiannya tidak terlalu formal. Jarang ia mengenakan dasi dan pakaian formal.
Ada satu hal yang tidak pernah berubah. Itu berkaitan dengan idealisme, sesuatu yang berkaitan dengan cita-cita besar. Jika di era Soeharto, aspek demokrasi yang ia perjuangkan maka di era keterbukaan ini, ia memperjuangkan idealisme pers perdamaian dan pers harapan.
Idealisme Tides tersebut bukannya tanpa tantangan. Di tengah komersialisasi media yang begitu luar biasa saat ini, cita-cita Tides tersebut jelas berisiko. Ia sadar untuk mengimplementasikan pers perdamaian (peace jurnalisme) dan pers harapan itu bukan hal mudah. Media, tegas Tides, ikut terpuruk dengan kegamangan yang terjadi di masyarakat.
Sementara itu, media nasional baik cetak dan elektronik terjebak dalam kapitalisasi. Materi pemberitaan sebagian besar bersifat hiburan. Program Infotainment menjadi menu utama masyarakat. "Sekarang ada kecenderungan media semata-mata untuk hiburan yang celakanya tidak mencerdaskan, " katanya suatu ketika.
Di tengah kegalauan dan cuaca mendung itulah, Tides berpesan agar ada guyuran pikiran-pikiran jernih dan cerah. Bukannya menggomel, menggerutu, mencari kambing hitam, menyalahkan keadaan dan cuci tangan.Â
Ia ingin media massa menurunkan berita dan artikel yang memunculkan perdamaian dan harapan bagi bangsa ini. "Saya akui, pesan saya, bukan masalah tiras tapi kualitas pemberitaan," ujarnya.
Katanya, "Datanglah ke Jembrana, Kebumen atau Merauke. Â Di sana ada hal-hal positif yang bisa membangkitkan harapan. Bagikan itu kepada pembaca."
Sang tokoh boleh pergi tetapi mimpinya untuk terus menularkan jurnalisme harapan tidak akan pupus dimakan zaman. Dia akan selalu abadi di dunia pers nasional, setidaknya!(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H