Mohon tunggu...
Norman Meoko
Norman Meoko Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis

Menulis Tiada Akhir...

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Disiplin Verifikasi, Masihkah Dipatuhi Jurnalis?

24 Juli 2021   06:31 Diperbarui: 24 Juli 2021   07:18 596
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Jantung atau esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi. Masalahnya apakah para jurnalis di zaman now masih memegang esensi jurnalisme itu? Mereka masih ingat itu atau demi kecepatan informasi maka esensi jurnalisme itu ditanggalkan atau pura-pura dilupakan demi keterbaruan berita; demi lebih dulu tayang sehingga dapat pujian sebagai media yang duluan memberitakan kejadian atau peristiwa ini atau itu.

Jujur saja tren yang berkembang di Indonesia seiring dengan perkembangan pesat media siber adalah jurnalisme "hit and run" (seperti dalam olahraga tinju) yang lebih mengutamakan kecepatan pemberitaan dan cenderung menghakimi serta mengabaikan verifikasi. Tiba-tiba saja verifikasi menjadi barang langka di tengah-tengah pesatnya perkembangan jurnalisme.

Karakter media sosial yang secepat kilat bisa jadi telah merasuki jurnalis di media arus utama untuk bermain dalam tatanan kecepatan penyampaian berita. Bahkan, hanya dengan wawancara satu nara sumber maka berita itu bisa langsung tayang. Cover both side dibuang jauh-jauh. Persetan dengan itu. Yang penting berita tayang dulu deh. Masa bodoh soal verifikasi atau cover both side.

Masih ingat kasus aktivis Ratna Sarumpaet? Ketika muncul berita itu, seorang teman di sebuah portal berita utama di negeri ini sempat bercerita bagaimana mereka sempat terhanyut ketika muncul berita aktivis Ratna Sarumpaet dikabarkan babak-belur dihajar sekelompok pemuda di Bandung, Jawa Barat pada 21 September 2018 lalu. Wajahnya nggak keruan. Berita itu booming dan ditanggapi pelbagai kalangan apalagi oleh para politikus. Belakangan ternyata kejadian itu sama sekali tak ada alias hoax dan Ratna Sarumpaet sendiri sudah menerima hukuman atas kasus hoax tersebut.

Teman saya itu mengatakan, portal beritanya sempat tidak ingin menurunkan berita soal Ratna Sarumpaet itu karena memang belum ada konfirmasi dari yang bersangkutan dan informasinya masih simpang-siur. Namun, karena terpancing media sosial dan belakangan media arus utama ikut memberitakan itu akhirnya verifikasi dan cover both side ditinggalkan dan akhirnya terbukti bahwa berita penganiayaan Ratna Sarumpaet hanya isapan jempol belaka.

Di masa pandemic Covid-19 seperti sekarang ini jujur kondisinya lebih parah lagi. Belum lagi hoaks yang bertubi-tubi muncul di media sosial. Segala hal yang belum diverifikasi tayang melalui jari-jari tangan di telepon genggam yang kini sudah serba canggih. Melalui media sosial, warga bisa menjadi pemred, redpel, editor dan reporter yang bisa kapan saja dan di mana saya mengabarkan kejadian atau peristiwa yang terjadi termasuk isu yang berseliweran di jaga media sosial dan kadang di-share melalui twitter, facebook dan Instagram.

Hak dan Tanggung Jawab Media Rapuh

Dalam kasus aktivis Ratna Sarumpaet menunjukkan bagaimana "hak dan tanggung jawab" media kini begitu rapuh. Karena kepancing media sosial dan media siber yang memburu kecepatan, semua aturan baku yang menjadi ciri utama media arus utama tinggal kenangan. Memang di era internet seperti sekarang ini diaminkan bahwa hampir setiap orang dapat memproduksi konten informasi dan berita.

Warga bukan lagi konsumen pasif seperti pada era sebelumnya. Kini, mereka dapat secara bebas mencipta, membangun dan mengembangkan media sendiri melalui internet. Setiap orang dapat menjadi penulis via blog, membuat berita video lewat Youtube atau Vimeo serta mengomentari dan menyebarkan berita lewat jejaring sosial seperti facebook atau twitter.

Secara tidak langsung "kelakuan" media arus utama yang terbawa gaya media sosial melunturkan mutu berita. Mutu berita terabaikan. Hal itu tentunya menjadi tantangan bagi pengelola media arus utama untuk mengembalikan "rohnya" yang telah hilang tersebut. Jangan sampai media siber perlahan tapi pasti terus menggerogoti sosok keberadaan media arus utama terutama media cetak.

Menarik apa yang diusulkan Bill Kovach dan Tom Resenstiel terkait menjaga mutu berita. Penulis buku The Element of Journalisme: What Newspeople Should Know and the Public Should Expect itu mengingatkan bagaimana seharusnya media berfungsi di masa mendatang.

Pertama, media harus berfungsi sebagai otentikator (penyahih), Idealnya, semua fakta dan bukti dari berita yang dikeluarkan media sudah melalui pemeriksaan lebih dahulu. Fungsi demikian sangat fundamental sekaligus tantangan berat bagi media ketika kecepatan dalam penyampaian informasi menjadi hal utama atau menjadi "dewa". Karena itu, media perlu menerangkan informasi yang disajikan bisa lebih dipercaya dibanding informasi dari media lain. Media yang mengumbar sensasi memang dapat menarik perhatian pembaca namun itu hanya sesaat dan segera ditinggalkan.

Kedua, media harus berperan sebagai sense maker (penuntut akal). Banjir informasi tentu membuat khalayak sulit menemukan dan memilih informasi yang benar dan tidak benar. Di sinilah fungsi dan peran media dalam menerangkan apakah informasi dimaksud masuk akal atau tidak dengan meletakkan pada konteksnya dan mengaitkannya dengan informasi lain. Hal itu sangat penting karena derasnya informasi dan keharusan menurunkan berita secepat mungkin membuat wartawan nyaris tak mempunyai waktu untuk menjelaskan sekaligus mengaitkan konteks informasi.

Ketiga, media harus tetap menjalankan fungsi sebagai investigator. Peran lama jurnalisme sebagai "anjing penjaga" masih sangat relevan pada zaman now seperti sekarang ini. Jurnalisme yang mengekspos dan membongkar apa yang dirahasiakan dan disembunyikan oleh penguasa masih sangat penting dan esensial bagi proses demokratisasi. Investigasi adalah jantung jurnalisme.

Keempat, media harus menjadi witness bearer (penyaksi). Wartawan mesti berada di tempat tertentu untuk menjadi saksi sebuah peristiwa. Untuk menjalankan fungsi sebagai penyaksi jika kekurangan sumber daya manusia, media dan wartawan dapat menjalin kerja sama dengan warga untuk menginformasikan suatu kejadian (citizen reporter).

Kelima, media berfungsi sebagai smart aggregator (aggregator yang cerdas). Warga butuh bantuan media dan wartawan yang bisa memberi informasi yang bermutu dari sumber yang dapat dipercaya. Ia harus membantu dan melayani para konsumen berita yang berorientasi ke depan serta mengarahkan khalayak ke situs internet yang dinilai penting. Media massa juga harus menelisik lanskap informasi serta mewakili publik dalam mengawasi lalu lintas informasi tersebut.

Keenam, media selayaknya berfungsi sebagai forum organizer (penyedia forum). Media dan wartawan mesti membantu terbentuknya diskusi dan wacana dengan melibatkan warga secara aktif. Dan terakhir, ketujuh, fungsi media sebagai role model (panutan). Media zaman sekarang tak dapat mengelak dari fungsi sebagai "panutan" warga yang ingin membawakan kesaksian sendiri dan sekaligus sebagai wartawan warga. Ketika hal itu terjadi maka setiap jurnalis seharusnya menyadari dan memahami bahwa warga bukan sekadar "melihat" berita yang disajikan tetapi juga memperhatikan tingkah laku para wartawan.

Kini pilihan itu berada di tangan media dan wartawan. Terserah apa maunya? Jangan lagi karena memburu kecepatan melupakan habitatnya yang sesungguhnya dari media itu sendiri. Dan ingat publik menanti jawaban itu!(*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun