Dalam konteks ini maka bersepeda datang sebagai interupsi di antara hingar-bingar berita politik yang belakangan membanjiri negeri ini. Ibarat panah yang terus melesat mencari sasaran. Meski sebenarnya kita tahu siapa mereka dan siapa yang disasar! Itulah politik! Seperti kata Pak Harto: dalam politik tidak akan pernah ada sahabat sejati!
Di sepeda selalu melahirkan persahabatan. Di sepeda selalu ada tawa-canda. Di sepeda selalu ada keakraban dan di sepeda selalu ada kebersamaan: saling membantu: menolong karena perasaan senasib: mengowes sepeda.
Di balik itu semua: bersepeda apalagi di kota-kota besar ternyata membawa aura positif. Bukan rahasia umum lagi jika banyak kota-kota besar di dunia yang dipusingkan dengan tingkat polusi yang luar biasa beratnya.
Jakarta misalnya. Jakarta dengan gedung jangkungnya yang seakan ingin mencakar langit dibikin susah karena asap kendaraan bermotor. Merujuk penelitian Universitas Indonesia, misalnya, disebutkan bahwa 57,8 persen pasien di rumah sakit Jakarta mengalami komplikasi pernapasan akibat polusi udara. Dari keseluruhan pasien 1,2 juta atau 12,6 persen di antaranya memiliki keluhan asma atau bronchitis. Dengan perkiraan biaya Rp173.000 hingga Rp4,4 juta per pasien maka total ongkos pengobatan akibat asma dan bronchitis bisa mencapai Rp210 miliar hingga Rp5,3 Triliun. Sebuah angka yang luar biasa besarnya.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat, biaya berobat akibat pencemaran udara di Jakarta mencapai Rp38,4 Triliun. Studi ini menyebutkan, 57,8 persen warga Jakarta terkena penyakit akibat pencemaran udara seperti asma, infeksi saluran pernapasan akut, pneumonia, penyempitan saluran pernapasan dan penyakit arteri korona.
Karena itu momen pandemi Covid-19 yang kemudian melahirkan new normal berupa gencarnya masyarakat untuk bersepeda, setidaknya dapat ikut menyumbang udara Jakarta yang lebih bersih. Masyarakat akhirnya sadar bahwa ruang-ruang Ibu Kota harus diisi dengan ruang terbuka hijau sebanyak mungkin. Penggunaan kendaraan bermotor mulai dikurangi.
Selalu ada hal positif di balik sesulitnya kondisi seperti ketika pandemi Covid-19 berkecamuk. Ibarat pepatah: selalu ada pelangi yang indah selepas badai seganas apapun. (*)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI