Mohon tunggu...
Norman Meoko
Norman Meoko Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis

Menulis Tiada Akhir...

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Masih Perlukah Profesi Jurnalis?

23 Juli 2021   06:45 Diperbarui: 23 Juli 2021   06:50 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Mengapa abang masih bertahan menjadi jurnalis hingga kini? " pertanyaan itu muncul dari seorang mahasiswa ketika saya memulai diskusi di sesi akhir berbagi dengan mahasiswa dalam kuliah daring di penghujung kuliah sebelum ujian akhir semester minggu depan.

Saya kaget. Pertanyaan itu juga pernah merasuki saya di tahun 1990-an ketika baru menapaki hidup sebagai jurnalis. Saya gelisah. Setiap malam menjelang dijemput peraduan, pertanyaan itu ibarat rentetan meriam yang dimuntahkan tiada henti. Saya di ujung jalan: terus di profesi ini atau banting stir!

Pertengahan 1990, saya ditugasi mencari feature oleh redaktur saya. Tanpa arahan sama sekali. Ibarat anak ayam yang dibiarkan induknya untuk mencari makan.

Hari nyaris dijemput petang. Kaki saya masih terus melangkah di kawasan Lodan Ancol Jakarta Utara. Karena pertolongan Tuhan, saya mendapati sekolah darurat: hanya beratapkan asbes bolong di sana-sini. Ternyata itu sekolah yang muridnya adalah anak-anak pemulung. Orangtua mereka menitipkan anak-anak di sana. Baju mereka apa adanya. Bahkan ada anak yang tak berpakaian. Mereka berbaur dengan seorang guru relawan.

Mereka menyambut saya dengan senang hati. Sang guru relawan itu bercerita tentang sekolah darurat untuk anak-anak pemulung. Bertutur tentang pelbagai soal yang membelitnya. Padahal antusiasme anak-anak itu luar biasa.

"Ya beginilah kami. Serba minim tapi saya tetap bertahan karena anak-anak ini. Mereka ingin belajar di tengah keterbatasan itu, " kata sang guru yang bajunya juga sangat sederhana: teramat sangat!

Lama kami ngobrol setelah anak-anak pemulung itu bubar jalan. Hati saya tersentuh. Bahan feature sudah di depan mata. Saya izin mengambil gambar suasana sekolah darurat anak pemulung itu. Ada tiang bendera di sana Sang Merah Putih berkibar. Pekarangan yang tidak terlalu luas. Tapi cukup untuk anak-anak pemulung itu berolahraga.

Singkat kata: saya pamit dan bergegas balik ke kantor untuk memuntahkan isi perut soal sekolah darurat buat anak-anak pemulung itu.

Di kantor saya laporkan itu. Redaktur saya senang banget. Hasil jepretan saya berikan ke teman-teman di kamar gelap. Maklum masih pakai kamera analog. Lantas feature pun saya tulis. Gaya human interest saya mainkan. (Kalau sekarang mungkin disebut Story Telling).

Waktu sudah mendekati pukul 20.00 WIB malam. Feature itu pun kelar. Redaktur membacanya dan oke katanya. Saya pun balik kanan setelah memilih foto pendukung dan membuat teksnya. Hari kian malam. Jalan-jalan Jakarta sudah sepi. Malam mengantarkan saya kembali ke rumah.

Esok harinya saya kaget. Ternyata feature saya dimuat di halaman utama. Persis di kaki bawah dengan foto sekolah darurat dengan tiang bendera Sang Merah Putih.

Saya tak pusingkan soal feature itu. Namun betapa kagetnya saya ketika tahu bahwa feature saya itu didesposisi Gubernur Jakarta Wiyogo Atmodarminto untuk dibantu. Klipingan feature saya disertakan di sebuah lembar surat. Saya senang dan bangga.

Dua bulan setelah itu saya pun main ke sekolah darurat bagi anak-anak pemulung itu. Belum sampai kaki saya tiba di sana. Sang guru yang saya wawancara dulu sudah berlari dan memeluk saya. Air matanya jatuh. Saya kaget bukan kepalang. Ternyata karena feature saya itu, sekolah mereka dibenahi. Buku-buku diberikan. Sang guru dan anak-anak pemulung itu bahagia. Setidaknya jika hujan turun mereka tak kebasahan. Ada senyum mereka.

"Terima kasih Mas. Karena tulisan Mas, kami kini diperhatikan. Kami dibantu. Terima kasih ya Mas, " kata sang guru.

Kami sempat ngobrol. Saya pun mendatangi anak-anak pemulung itu. Satu per satu memeluk saya. Pantang bagi saya untuk terhanyut dalam air mata bahagia itu apalagi di depan anak-anak.

Akhirnya kami pun berpisah karena hari sudah petang.

Kejadian itulah yang saya sampaikan kepada mahasiswa saya: mengapa hingga usia senja, saya masih menapaki prosesi sebagai jurnalis. Paling tidak menulis dan menulis. Tidak kaya memang. Tapi lebih mulia karena menjadi berkat bagi banyak orang.

Mahasiswa saya pun diam. Waktu sudah di ujung. Kelas melalui google meet dan gooegle class room pun bubar! Di balik jendela ruang kerja hujan mulai menangis. Hujan kembali turun dan bau tanah basah menyeruak di antara semilir angin menuju senja. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun